KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, taufik, hidayah, serta
inayah-Nya kepada kita semua. Shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah mengantarkan kita pada nikmat agama Islam.
Dengan
atas pertolongan dan hidayahnya ,makalah yang berjudul : (universitas pertama
dan tertua di dunia),Al Azhar dan zaitunnah. Makalah ini dibuat dan diajukan
untuk tugas kelompok diskusi yang berkaitan dengan SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM ,Tersusunya makalah ini juga berkat dukungan dari pihak-pihak terkait,
untuk itu kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Kartini
S,Ag,M.Ag. selaku Dosen Pengampu mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam.
2. Seluruh
teaman yang membantu dalam kelompok ini
Semoga
jasa mereka diterima oleh Allah SWT, dan dibalas denga pahala yang berlipat
ganda, dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya.Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
kita miliki sangat kurang. Oleh karena itu saya harapkan kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
makalah ini.
Pontianak,
September 2016
Pemakalah
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR
ISI .......................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A. Latar
Belakang.................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah............................................................................... 1
BAB
II PEMBAHASAN........................................................................................ 2
A. Sejarah
Berdirinya Al-Azhar dan Zaitunnah...................................... 2
a) Sejarah
Berdirinya Al-Azhar......................................................... 2
b) Sejarah
Berdirinya Zaitunnah....................................................... 2
B. Perkembangan
Al-Azhar dan Zaitunnah............................................. 3
a) Perkembangan
Al-azhar................................................................ 3
-
Masa Dinasti Fatimiyyah........................................................ 3
-
Masa Dinasti Ayyubi.............................................................. 4
-
Masa Dinasti Mamalik............................................................ 5
b) Perkembangan
Zaitunnah.............................................................. 7
-
Masa Dinasti Umayyah........................................................... 7
-
Masa Dinasti Aglabiah............................................................ 7
-
Masa Dinasti Al-Muwahidun.................................................. 8
-
Masa Dinasti Hafsiah.............................................................. 8
-
Masa Dinasti Usmaniyah........................................................ 8
C. Metode
dan Kurikulum yang Diajarkan di Al-Azhar dan Zaitunnah. 9
a) Metode
dan Kurikulum Zaitunnah................................................ 9
b) Metode
dan Kurikulum Al-Azhar................................................. 9
D. Kemajuan
dan Kemunduran Al-Azhar dan Zaitunnah..................... 11
a) Kemajuan
dan Kemunduran al-Azhar......................................... 11
b) Kemajuan
dan Kemunduran Zaitunnah....................................... 13
-
Tata letak kota Tunisia.......................................................... 13
E. Pembaharuan
Al-Azhar..................................................................... 15
F.
Peranan Al-Azhar mencetak Ulama.................................................. 17
G. Kontribusi
Al-Azhar untuk Indonesia.............................................. 17
BAB
III Penutup................................................................................................... 19
Kesimpulan.......................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Berbicara tentang pendidikan Islam pasti dalam benak
kita tak lepas dari Universitas Al Azhar dan Zaitunnah .pandangan kita tertuju
pada sebuah lembaga pendidikan Islam tertua yang hingga saat ini masih menjadi
rujukan masyarakat untuk menimba ilmu-ilmu keislaman secara khusus dan
ilmu-ilmu umum secara global.Sebagai institusi pendidikan,Al Azhar dan
Zaitunnah,memiliki banyak peran penting mencetak dan mengantarkan mahasiswa
menjadi orang-orang penting dalam berbagai bidang kehidupan.
Jatuh bangun, perubahan dan penyempurnaan sesuai
dengan dinamika perubahan zaman. Kondisi pasang surut, dalam pertumbuhan dan
perkembangan madrasah yang ada pada saat itu tidak lepas dari peranan penguasa.
Makalah ini akan memaparkan sejarah madrasah tingkat tinggi yang tertua, ada
dua madrasah az-Zaitunah di Tunisia dan madrasah al-Azhar di Mesir yang sangat
perperan dalam perkembangan ilmu pengetahuan, terlebih ilmu-ilmu keislaman. perlu
dikaji untuk melihat, mempelajari dan mengambil aspek-aspek penting yang dapat
digunakan pada lembaga-lembaga pendidikan kita saat ini. Dalam makalah penulis
akan memaparkan tentang sejarah berdirinya al-Azhar dan Zaitunnah.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana
sejarah pendirian al-Azhar dan zaitunnah ?
2. Bagaimana
perkembangannya al –Azhar dan Zaitunnah ?
3. Bagaimana
metode dan kurikulum al –Azhar dan Zaitunnah ?
4. Bagaimana
kemajuan dan kemunduran al –Azhar dan Zaitunnah ?
5. Bagaimana
pembaharuan al-Azhar?
6. Apa
saja kontribusi al Azhar untuk Indonesia?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
SEJARAH BERDIRINYA AL AZHAR DAN
ZAITUNNAH
a) Sejarah
berdirinya al –Azhar
Setelah
selesai membangun kota Kairo lengkap dengan istananya, Jauhar al-Siqili
mendirikan masjid Al-Azhar pada tanggal 17 ramadhan tahun 359 H (970). Kemudian
hari masjid ini berkembang ini berkembang menjadi sebuah universitas besar pada
akhir masa al-Mu’iz li Dinillah al-Fatimi pada bulan Shafar 365 H (Oktober 975
M) yang sampai sekarang masih berdiri megah. Nama Al-Azhar diambil dari
al-Zahra, julukan Fatimah, putri Nabi Muhammad SAW. Dan merupakan istri Ali ibn
Abi Thalib, imam pertama Syi’ah. Sumber lain menyebutkan Dinasti Fatimiyah
adalah sebuah dinasti yang terletak di Tunisia yang dibangun pada tahun 909 M.
Pada waktu kaum Fatimiyyin menaklukan Mesir pada tahun 330 H, panglima perang
Dinasti Fatimiyah, kalifah Mauizuddin li Dinillah, membangun masjid dengan nama
al-Azhar, pada tanggal 24 Jumadil Ula 359 H/390 M dan selesai pembangunan pada
bulan Ramadhan 361 H (972 M), merupakan masjid pertama di Kairo dan masjid keempat
di Mesir. Sebelumnya nama masjid ini al-Qahirah yang berarti sama dengan nama
kota Cairo, dan dikaitkan dengan kata-kata al-Qohiroh al-Zahirah yang berarti
kota cemerlang. (suwito 2005 :179)
Masjid
al-Azhar adalah sebagai pusat ilmu pengetahuan, tempat diskusi bahasa, dan juga
mendengarkan kisah dari orang yang ahli bercerita. Baru setelah pemerintahan
dipegang oleh Al-Aziz Billah mengubah fungsi masjid al-Azhar menjadi
universitas. Presiden Mesir Mohammad Husni Mubarak dalam sambutannya pada
perayaan hari ulang tahun Universitas al-Azhar yang ke 1000 menjelaskan bahwa
Universita al-Azhar merupakan lembaga pendidikan tertua didunia islam, sebagai
pioner kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan, menjadi referensi umat islam
dari berbagai negara.
b) Sejarah
berdirinya Zaitunnah
Pada
masa pemerintahan Dinasti Bani Umayyah terkenal sebagai suatu era agresif,
dimana perhatian tertumpu pada usaha perluasan wilayah dan penaklukan, yang
terhenti sejak zaman kedua khulafaur rasyidin terakhir. Hanya dalam jangka waktu
90 tahun, banyak bangsa di empat penjuru mata angin berramai-ramai masuk ke
dalam kekuasaan Islam, yang meliputi tanah Spanyol, seluruh wilayah Afrika
Utara, Jazirah Arab, Syiria, Palestina, dan lainnya.
Ekspansi
inilah terus menerus dari generasi ke generasi, kemudian tiba masa kekuasaan
Al-Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-714 M) memerintah 10 tahun lamanya. Pada
masa pemerintahanya, kekayaan dan kemakmuran melimpah ruah. kekuasaan Islam
melangkah ke spanyol di bawah pimpinan pasukan Thariq bin Ziyad, ketika Afrika
dipegang oleh gubernur Musa bin Nushair. Karena kekayaan melimpah maka ia
sempurnakan pembangunan masjid-masjid, gedung-gedung, pabrik-pabrik, dan
jalan-jalan yang dilengkapi dengan sumur untuk kafilah yang berlalu lalang
dijalan tersebut.
Pada
zaman pemerintahan Al-Walid bin Abdul Malik masjid Umawiyah didirikan antara
tahun 88-96 H (705-714) yang merupakan universitas terbesar di zaman Umawiyah.
Pada zaman ini juga didirikan Masjid Zaitunah di Tunisia yang dianggap sebagai
universitas tertua di dunia yang masih hidup sampai sekarang yang didirikan
oleh Ubaidillah bin al-Habhab pada tahun 114 H. Juga didirikan Masjid
Al-Qairawan oleh Uqbah bin Nafi yang
menaklukan Afrika Utara pada tahun 50 H.
Universitas
az-Zaitunah selain sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai pengembangan
ilmu pengetahuan dan kebudayaan, seperti halnya masjid-masjid lainnya. Di
universitas az-Zaitunah memberikan pengajaran Ilmu Agama Islam sejak tahun 120
H, Masjid az-Zaitunah merupakan perguruan tinggi Arab-Islam tertua dan terus
berlanjut mempunyai peran pendidikan selama 13 abad. Fakta ini ditujukan oleh
sejarawan Hasan Husni Abdul Wahab yang menegaskan: “Masjid Zaitunah secara
sejarah adalah pengajaran paling awal dan tertua yang didirikan di dunia Arab.” Dalam kapasitas ganda sebagai universitas dan
tempat ibadah mengalami kejayaan sampai akhir masa Dinasti Hafsiah (634-981
H/1237-1537 M).
B. PERKEMBANGAN
AL AZHAR DAN ZAITUNNAH
a) Perkembangan
al-Azhar
Ø Masa
Dinasti Fatimiyah
Al-Azhar
dan kota Kairo merupakan bukti monumental sebagai produk peradaban Islam di
Mesir yang tetap eksis sampai saat ini. Pada awalnya al-Azhar bukanlah sebagai
sebuah perguruan tinggi melainkan hanya sebuah masjid yang oleh khalifah
Fatimiyah dijadikan sebagai pusat untuk menyebarkan dakwah mereka. Pada masa
ini intervensi pemerintah terhadap al-Azhar sangat besar, seperti seorang guru
tidak boleh mengajar, sebelum mendapat izin dari khalifah. Pada masa itu sistem
pengajaran terbagi menjadi empat kelas, yaitu:
-
Kelas umum diperuntukan bagi orang yang
datang ke al-Azhar untuk mempelajari Al-Qur’an dan penafsirannya.
-
Kelas bagi para mahasiswa Universitas
al-Azhar kuliah dengan para dosen yang ditandai dengan mengajukan pertanyaan
dan mengkaji jawabannya.
-
Kelas Darul Hikam, kuliah formal ini
diberikan oleh para mubalig seminggu sekali pada hari senin yang dibuka untuk
umum dan pada hari Kamis dibuka khusus bagi mahasiswa pilihan.
-
Kelas non-formal yaitu kelas untuk
pelajar wanita. (ibid :9)
\masmPada masa ini pula muncul Ya’qub
bin Kalas, seorang Menteri Khalifah al-Aziz Billah. Ya’qub bin Kalas pernah
juga mengajukan kepada khalifah al-Aziz, bahwa Jami al-Azhar tidak hanya
terbatas untuk mendirikan sholat dan penyebaran dakwah Fatimiyah, tetapi
dijadikan sebagai lembaga pendidikan. Tidak lama kemudian akhirnya muncul
pemikiran tentang studi di Jami al-Azhar pada bulan Shafar 365 H (Oktober 975
M). Ketika itu duduk sebagai pengajar Abu Hasan Ali bin Nu’man al-Maghribi di
Jami al-Azhar. Ya’qub bin Kalas menjadikan al-Azhar sebagai universitas Islam
yang mengajarkan ilmu-ilmu agama, ilmu akal (logika) dan ilmu umum lainnya.
Ø Masa
Dinasti Ayyubi
Selanjutnya,
menurut Dr. Jamaluddin Surur, bahwa al-Azhar telah menduduki posisi untuk
membangkitkan kehidupan peradapan Mesir terutama hal-hal yang berkaitan dengan
dakwah Fatimiyah sejak masa Khalifah al-Aziz Billah. Pada saat itu umat manusia
mulai bangkit semangatnya untuk mempelajari ilmu-ilmu munadzarah dan mengkaji
fikih syi’ah. Setelah Daulat Fatimiyah jatuh ke tangan Shalahuddin al-Ayyubi
pada tahun 567 H (1171 M), al-Azhar yang sebelumnya sebagai alat tunggangan
politik dan propaganda paham syi’ah oleh Daulah Fatimiyah harus menghentikan
segala aktivitasnya sebagai tempat untuk melaksanakan peribadatan dan
pendidikan.[Nata,: 93.]
Sebab
Salahuddin Al-Ayyubi menganut paham sunni dengan demikian al-Azhar ditutup
sebagai universitas dan tempat sholat jum’at, maka al- Azhar menjadi sunyi dan
senyap. Shalahuddin mengambil kebijakan baru untuk menghilangkan aliran syi’ah
yang telah tumbuh dan berkembang sekian lama. Bahkan sembahyang jum’atpun
dilarang dalam al-Azhar apalagi mengajarkan mazhab Syi’ah dan ilmu filsafat.
Sedangkan tempat pendidikan dan pengajaran dipindahkan ke madrasah-madrasah
Shalahiyah.[Yunus 175-176]
Terutama
melalui sarana al-Azhar untuk digantikan dengan aliran Sunni. Beberapa
peristiwa penting yang terjadi pada masa Shalah uddin al-Ayyubi adalah:
-
Pembekuan kegiatan khutbah di al-Azhar
selama hampir seratus tahun, yaitu sejak tahun 567 H (1171 M) sampai masa
Sultan al-Mamluki al-Dzahir pada tahun 665 H (1266 M).
-
Melakukan renovasi pembangunan al-Azhar
oleh Amir Edmir dan Sultan Berbes
atau Sultan al-Dzohir Berbes.
-
Al-Azhar menjadi pusat studi Islam yang
amat penting, terutama ketika Kairo menjadi kiblat bagi para ulama, fuqaha dan
mahasiswa.
Ø Masa
Dinasti Mamalik
Pada
masa ini terjadi serbuan besar-besaran dari bangsa Mongol ke Timur dan jatuhnya
Islam di Barat menyebabkan banyak ulama dan ilmuwan muslim yang mencari
perlindungan ke al-Azhar. Hal ini menyebabkan posisi al-Azhar menjadi penting.
Disamping itu, menambah mansyur nama al-Azhar dimata dunia Islam. Sejak saat
itu banyak pelajar dan negara-negara Islam yang tertarik menjadi mahasiswa dan
belajar di al-Azhar. Para orientalis menyebutnya zaman keemasan dalam sejarah
al-Azhar.
Al-Azhar
mengalami banyak pembaharuan, khususnya setelah penjajahan Bonaparte di Mesir
dan gerakan modernisasi oleh Mohammad Ali pada permulaan abad ke-19.
Mahasiswa-mahasiswa al-Azhar yang telah
dikirim untuk belajar di negara-negara Eropa, seperti Rifa’at
al-Thatawi, Ayyad al-Thatawi, kemudian Mohammad Abduh dan Saad Zaghloul,
melakukan perubahan dan memberikan sumbangan bagi proses pembaharuan.
Setelah
Sultan Balbars memerintah Mesir tahun 665 H(1266 M), lalu diperintahkannya
supaya didirikan sembahyang jum’at di al-Azhar. Kemudian Balbars membuka
al-Azhar kembali untuk tempat pendidikan dan pengajaran seperti pada masa
Fatimiyah dahulu. Tetapi ilmu fiqh yang diajarkan pada mulanya adalah mahzab
Syafi’i, kemudian baru dimasukkan mahzab-mahzab yang lain. Pada masa ini
ilmu-ilmu yang diajarkan al-Azhar ialah ilmu-ilmu agama dan bahasa arab.
Sedangkan ilmu aqliyah, seperti ilmu pasti dan ilmu lainnya diajarkan juga
tetapi pelajar yang menuntut ilmu itu sedikit sekali bilangannya.
Tatkala Mesir hilang kemerdekaannya pada tahun
922 H (1517 M). Mundurlah pendidikan dan pengajaran di al-Azhar khususnya dan
di madrasah-madrasah lain umumnya. Pada masa itu ilmu-ilmu yang diajarkan di
al-Azhar hanya ilmu-ilmu agama dan bahasa arab saja. Sedangkan
ilmu-ilmuAqliyah, seperti ilmu pasti,
filsafat, ilmu bumi dan sebagainya dianggap haram hukumnya. Dengan demikian
lenyaplah ilmu-ilmu Aqliyah dari al-Azhar dan mencangkupkan hanya ilmu-ilmu
agama dan bahasa arab saja. Pada tahun 1304 H(1886 M) Syekh al-Azhar, syekh
Al-Indaby mengeluarkan fatwa, bahwa mempelajari ilmu-ilmu Aqliyah itu tidak
haram, bahkan boleh untuk dipelajari. Disini patut diperingatkan, Misalnya
Syekh Ahmad Abdul Mun’im Ad-Damanhury, Syekh Al-Azhar (wafat tahun 1192 H= 1778
M). Dalam ijazahnya disebutkan diantara ilmu-ilmu yang telah dipelajari ialah :
berhitung, miqat (hisab falaki), aljabar, ilmu ukur, ilmu falak, sebab-sebab
penyakit dan ilmu kesehatan, ilmu hewan, ilmu tumbu-tumbuhan, ilmu tasyrih
(otnatomi), sejarah dan lain-lain).
Diantara
ulama-ulama terkenal baik dari luar Mesir yang datang ke al-Azhar maupun
ulama-ulama dari Mesir sendiri, yang dalam sejarah Mesir belum pernah berkumpul
begitu banyak ilmuan dan ulama dalam berbagai bidang dalam suatu waktu. Diantara
nama-nama itu, antara lain:
-
Ibnu Khaldun (w. 808 H/1406 M)
-
Abu al-Abbas Ahmad al-Qalqasyandi (w.
821 H/1418 M).
-
Taqiyuddin Ahmad al-Magrizi (w. 645
H/1441 M).
-
Ibn Hajar al-Asqallani (w. 852 H/1448
M).
-
Badruddin Mahmud al-‘Aini (w. 855 H/1451
M).
-
Sirajuddin al-Balqimi (w. 868 H/1464 M).
-
Syarifuddin al-Mennawi (w. 871 H/1467
M).
-
Abu al-Mahasin bin Taghi Bardi (w. 874
H/1470 M).
-
Syamsuddin al-Sakhawi (w. 902 H/1497 M).
-
Jalaluddin al-Suyuti (w. 911 H/1505 M).
-
Muhammad bin Ahad bin Ilyas (w. 930
H/1523 M).[Hasan Langgulung, Op. Cit, hlm.45.]
b) Perkembangan
Zaitunnah
Ø Masa
Dinasti ummayah
Kota
Tunis pertama kali dibangun Kaisar Romawi, Augustus, pada abad pertama Masehi.
Ajaran Islam mulai menyebar di kota itu, ketika Dinasti Umayyah yang berpusat
di Damaskus mulai memperluas kekuasaannya ke wilayah Maghrib yang dikuasai
Kekaisaran Bizantium. Khalifah Muawiyah bertekad untuk merebut wilayah itu dari
genggaman Bizantium.
Sejak
itulah, Islam mulai berkembang di kota Tunis. Suku Barbar yang menghuni kota
itu menerima kehadiran agama Islam. Menurut Prof Hodgson, suku Barbar pun mulai
berasimilasi dengan bangsa Arab yang datang ke kota itu.
Ketika
Kekhalifahan Umayyah yang berpusat di Damaskus tumbang pada 748 M, kekuasaan
dunia Islam mulai digenggam Dinasti Abbasiyah. Peralihan kekuasaan ini
menyebabkan kota Tunis dan seluruh wilayah Tunisia sempat terlepas dari
pengawasan pusat kekhalifahan. Namun, pada 767 kota Tunis kembali dapat
dikuasai Dinasti Abbasiyah pada 767 M.
Ø Masa
Dinasti Aglabiah
Tiga
tahun kemudian, Khalifah Abbasiyah yang berpusat di kota Baghdad menunjuk
Ibrahim Ibnu Aghlab sebagai gubernur Afrika Utara yang berpusat di Qairawan.
Mulai saat itu, peradaban Islam mencapai era kejayaan di Tunisia dan kawasan
Arab Maghrib.
Dinasti
Aglabiah yang menjalin hubungan yang erat dengan Kekhalifahan Abbasiyah banyak
menerapkan meniru kebijakan dinasti yang berpusat di Baghdad itu. Salah
satunya, Dinasti Aglabiah turut mendirikan Bait Al- Hikmah, seperti yang
dilakukan Dinasti Abbasiyah di Bagdad. Ketika itu, penguasa Dinasti Aghlabiah
pada masa Abu Ishak, memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahannya dari
Qairawan ke Tunis. Saat Dinasti Ahglabiah berkuasa, di Tunis berdiri dengan
megah istana kerajaan. Selain itu, ilmu pengetahuan pun mulai berkembang di
kota itu.
Memasuki
tahun 910 M, kejayaan Aghlabiah memudar. Kota Tunis terpuruk dalam kubangan
huru-hara ketika bangsa Normandia menginvasi wilayah Maghrib. Bangsa Normandia
berhasil dipukul Kekhalifahan Fatimiyah yang berpusat di Mesir.
Ø Masa
Dinasti Al-Muwahidun
Tunis
kembali mulai bergeliat ketika Dinasti Almohad atau Al-Muwahidun yang berasal
dari suku Barbar Islam berkuasa pada abad ke-12 M. Pada era kejayaan Almohad,
ilmu pengetahuan berkembang pesat di wilayah Maghrib.
Salah
seorang sarjana terkemuka pada era itu, Abu Yusuf Yakub, membangun sejumlah
perpustakaan di Tunis dan wilayah Maghrib lainnya. Dinasti ini juga mendukung
aktivitas para sarjana Muslim, seperti Ibnu Tufail dan Ibnu Rushd untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan. Salah satu arsitektur peninggalan dinasti ini
adalah bangunan Giralda of Seville.
Ø Masa
Dinasti Hafsiah
Puncak
kejayaan kota Tunis berlangsung di era kekuasaan Dinasti Hafsiah. Pada masa
itu, di Tunis berdiri sebuah perguruan tinggi pertama di Afrika Utara. Tunis
pun menjadi kota yang berpengaruh. Kota itu berkembang menjadi kota perdagangan
dan ilmu pengetahuan. Para pedagang dari Venesia dan berbagai belahan dunia
lainnya datang ke Tunis untuk berniaga.
Kemakmuran
yang dicapai kota Tunis masih dapat disaksikan pada abad akhir awal abad ke-16
M. Seorang pelaut dari Turki, Pipi Reis, dalam catatan perjalanannya melukiskan
kemegahan dan keindahan kota itu. Menurut Reis, di kota itu berdiri sekitar
5.000 rumah yang gaya arsitekturnya meniru istana kerajaan. Sepanjang kota itu
dihiasi dengan kebun
Ø Masa
Dinasti Usmaniyah
Ketika
orang-orang Spanyol menaklukan Tunisia antara 940 dan 981 Hijirah / 1534 dan
1574 Masehi, mereka menjarah Masjid-Masjid dan perpustakaan di sana, serta
mengambil banyak dari koleksi buku dan manusktip perpustakaan yang sangat
berharga. Kekhalifahan Turki (Utsmaniyah) yang merebut kembali Tunisia dari
tangan orang-orang Spanyol memperbaiki kembali bahkan juga memperbesar Masjid
Zaytuna, perpustakaan dan juga madrasahnya. Usaha yang dilakukan oleh
Kekhalifahan Utsmaniyah itu membuat Masjid Zaytuna kembali menjadi pusat
kebudayaan Islam. Bangsawan Turki (Bey), Ahmad Pasha I, tidak hanya
me-revitalisisasi Perpustakaan Ahmadiyya, dia juga mengorganisasi dan dengan
baik hati mendukung pendidikan di Zaytuna, selain menyumbangkan dalam jumlah
buku pada perpustakaan masjid. Ilmu baru diperkenalkan pada 1896 termasuk
fisika, ekonomi politik dan Bahasa Prancis. Di Al-Zaytuna lah di mana beberapa
tokoh kebudayaan Islam Arab dicetak, di antara mereka yang terkenal adalah
Taufik al-Madani, dan tentu saja termasuk Abdul-Hamid Ibnu Badis sosok yang
mengembalikan identitas Islam di Aljazair pada 1940an.
C. METODE
DAN KURIKULUM YANG DI AJARKAN DI AL-AZHAR DAN ZAITUNNAH
a)
Metode dan kurikulum Zaitunnah
Pertama–tama,
tradisi Islam sangat mewarnai pendidikan di Tunisia. Pemahaman kandungan
kandungan al-Quran menjadi prioritas, disamping ilmu pengetahuan lainnya,
seperti; bahasa, sastra, ilmu sosial, ilmu kedokteran, sejarah dan sebagainya. Proses
pembelajarannya bisa dikatagorikan menjadi tiga metode, antara lain:
-
Pertama, metode talqin, yakni pembacaan
materai pelajaran oleh guru, lalu langsung dihafalkan oleh murid.
-
Kedua, metode halaqoh,yakni para murid
melingkari guru yang sedang mengajar. Para murid haris mendengarkan
penjelasannya tanpa dituntut menjelaskannya. Metode ini hamper
mendominasisetiap tempat-tempat pendidikan, baik masjid maupun rumah-rumah
syikh selama berabad-abad, hingga pada zaman al-Muwahidun.
-
Ketiga, pada masa dinasti Hafsiah sistem
halaqoh dirumbak menjadi sistem madrasah. Sedangkan pada masa Turki Usmani sekolah-sekolah
dibangun, dilengkapi serta disediakannya asrama bagi guru maupun murid.
b) Metode
dan kurikulum al –azhar
Pada
mulanya pengajaran di Universitas al-Azhar sama dengan institusi pendidikan
yang lain, yaitu sistem ber-halaqah (melingkar); seorang pelajar bebas memilih
guru dan dan pindah sesuai dengan kemauan. Umumnya guru atau syaikh yang
mengajar itu duduk bersama para pelajar, tetapi kadang guru duduk dikursi
ketika menerangkan kitab yang diajarkannya. Disamping itu, metode diskusi
sangat dikembangkan sebagai metode dalam proses pembelajaran antar pelajar,
seorang guru hanya berperan sebagai fasilitator dan memberikan penajamandari
materi yang didiskusikan.
Pada
masa Fatimiyah, materi pelajaran yang diberikan di al-Azhar, disamping tentang
ke-Fatimiyah-an, juga dipelajari ilmu naqliyah atau Syar’iyyah, antara lain:
Ilmu Tafsir, Qira’at, Ilmu Hadits, Fikih, Ilmu Kalam, Nahwu, Lughat,al-Bayan,
dan adab. Sedangkan ilmu aqliah, antara
lain: Filsafat, Arsitektur, Nujum, Musik, kedokteran, sihir, sejarah dan
geografi.[24] Diantara ulama yang turut belajar di al-Azhar pada masa ini
adalah:
a. Hasan
ibn Ibrahim, yang lebih dikenal dengan Ibnu Zulaq (w. 387 H). Karena
kecerdasaannya, ia diberi penghargaan untuk menjadi tenaga kerja di al-Azhar.
Diantara karangannya adalah Kitab Fadhailu Mishr, Kitab Qudhatu Mishr, al-’Uyun
al-Da’j.
b. Al-Amir
al-Mukhtar ‘Izzul Mulk Muhammad ibn Abdillah (w. 450 H). Ia seorang pakar dalam
bidang politik, administrasi, dan sejarah. Diantara karyanya adalah Kitab
al-Tarikh al-Kabir, yang dikenal dengan Tarikh Mishr.
c. Abu
Abdillah al-Qudha’I (w. 454 H). Diantara karyanya adalah Manaqib al-Imam
al-Syafi’i.
d. Abu
Ali Muhammad ibn al-Hasan ibn al-Hitsam(w.436 H). Ia ilmuan dalam bidang teknik
dan filsafat, dan matematika.
Pada masa Ayyubiyah semua kegiatan di
al-Azhar ditutup, karena menganut mazhab yang berbeda, maka hak-hak yang telah
diberikan Dinasti Fatimiyah dihentikan pada masa Dnasti Ayyubiyah, diantaranya
pencabutan hak menyampaikan khutbah.Di dalam buku Salaby (1954) ada disebutkan sekolahan-sekolahan
termasuk di Mesir, Jarusaalem, Damsyik, dan lain-lain, malahan termasuk juga
sekolah-sekolah ikhtisas seperti kedokteran.
Pada masa Mamalik, sistem pembelajaran
di al-Azhar adalah para mahasiswa diberi kebebasan memilih mata kuliah yang
dipelajarinya, sesuai dengan disiplin ilmu yang dikuasai oleh masing-masing
dosen. bagi mahasiswa yang sudah menyelesaikan kuliahnya kepada seorang dosen,
maka ia akan diberi syahadah (ijazah), yang berisi nama mahasiswa, dosen,
mazhab, dan tanggal ijazah dikeluarkan. Diantara ulama yang bertugas di
al-Azhar pada masa Mamalik adalah:
1.
Ali Ibn Yusuf Ibn Jarir al-Lakhmi (W.
713 H/1313 M), sebagai dosen dalam penelitian.
2.
Qiwamuddin al-Kirmani, sebagai dosen
dalam ilmu fikih dan ilmu qira’at.
3.
Syamsuddin al-Ashbahani, sebagai dosen
dalam bidang pemikiran.
4.
Syarifuddin al-Zawawi al-Maliki.
5.
Qunbur ibn Abdillah al-Sibziwani (W. 801
H), sebagai dosen dalam ilmu-ilmu aqliyah.
6.
Badruddin Muhammad ibn Abi Bakar
al-Dimamaini (W. 827 H/1424 M), sebagai dosen dalam ilmu nahwu, nujum, dam
fikih.
Demikianlah al-Azhar di masa
kejayaannya. Sebagai sebuah universitas pertama di dunia. yang mencetak
ilmuwan-ilmuwan dan ulama-ulama Muslim. Sebuah kesatuan ilmu pengetahuan yang
barang kali belum bisa dicapai umat Muslim setelahnya sampai saat ini.
D. KEMAJUAN
DAN KEMUNDURAN AL AZHAR DAN ZAITUNNA
a) Kemajuan
dan kemunduran al Azhar
Kemajuan
pada masa Fatimiyyah, antara lain: Pertama,
khalifah dan wazir memperbanyak buku ilmu pengetahuan sehingga
perpustakaan istana menjadi perpustakaan yang terbesar pada masa itu, yang
diberi nama “Dar al-Ulum” yang berisi 600.000 jilid buku. Kedua, Mendirikan
jamiah ilmiah akademik (lembaga riset) pada tahun 309 H, bangunan yang disebut
rumah kebijaksanaan (Bait al-Hikmah) para mahasiswa bebas memimjam dan menyalin
buku yang diinginkan dan para mahasiswa tanpa harus sibuk mencari rezeki, sebab
semuanya sudah dijamin pemerintah.
Pada
masa Ayyubiyyah, walaupun segala aktivitas al-Azhar ditutup, tetapi khalifah
Ayyubiah mendirikan madrasah-madrasah yang menjadi pusat studi Islam yang amat
penting, karena al-Azhar sebagai induk madrasah yang tidak ada rifalnya
dimanapun, para ulma dari berbagai Negara mengunjungi al-Azhar untuk belajar.
Pada
masa Mamalik, kebijaksanaan dan perhatian pemerintah terhadap al-Azhar sangat
kondusif untuk pengembangan al-Azhar sebagai perguruan tinggi. Diantaranya
mendapatkan wakaf dari para sultan dan umara yang tujuannya ilmu pengetahuan.
Harta wakaf sampai saat ini digunakan untuk membayar gaji para dosen dan
karyawan, pemberian beasiswa baik dari dalam maupun dari luar.
Prof
Dr. Azyumardi Azra berpendapat, sebagai sebuah perguruan tinggi yang sudah
berusia tua, al-Azhar pun mengalami pasang dan surut dalam perkembangannya.
sejak Dinasti Usmani (1517-1798 M) pamor al-Azhar mulai menurun , sehimgga
menjadi alasan kuat bagi penguasa pembaru seperti Muhammad Ali untuk campur
tangan lebih jauh dalam pembenahan al-Azhar sejak paroan pertama abad ke-19.
Kenyataan inilah yang menjadi preseden lenyapnya independensi al-Azhar sebagai
lembaga akademis, yang pada gilirannya mempengaruhi otoritas atau
kewibawaannya, khususnya dalam kekuasaan politik, hingga dewasa ini.
Stagnasi
keilmuwan yang terjadi kurang lebih 200an tahun tentu membuat ilmu pengetahuan
aqliyah umat Islam tertinggal jauh. Stagnasi yang terus berlanjut hingga
beberapa puluh tahun hingga sampailah pada masa kepemimpinan Muhammad Ali,
seorng perwira Turki, yang berhasil menjadi penguasa tunggal Mesir setelah
berhasil mengusir tenara Perancis. Dilanjutkan dengan perjuangan Muhammad
Abduh, yang melakukan perubahan karena berangkat ketertarikan terhadap
pemikiran Jamaluddin al-Afghani, dan akhirnya Muhammad Abduh Abdullah Nadzim
dan beberapa alumni al-Azhar lain melakukan gerakan pembaharuan.
Ridwan
Sayyed membagi kemodern-an al-Azhar ke dalam 3 fase, yakni fase Muhammad Abduh,
Fase Abad 20 dan Fase 21. Pada fase Muhammad Abduh merupakan fase rintisan yang
telah dilakukan al-Azhar dalam rangka melakukan pembaharuan sistem pendidikan
dan rasionalisasi pendidikan Islam. Muhammad Abduh memandang perlunya integrasi
pendidikan Islam dengan pendidikan umum. Beliau menganggap perlunya diajarkan
ilmu pengetahuan modern di al-Azhar, di samping memperkuat ilmu-ilmu agama. Hasil
dari perjuangan beliau, maka pada masa ini mulai dimasukkan kurikulum modern,
seperti fisika, ilmu pasti, filsafat, sosiologi, dan sejarah. Di samping masjid
didirikan Dewan Administrasi al-Azhar (‘idarah al-Azhar) dan diangkat beberapa
orang sekretaris untuk membantu kelancaran tugas Syaikh. Juga dibangun Rauq
al-Azhar yang dapat memenuhi kebutuhan pemondokan untuk guru dan mahasiswa.
Kedua,
fase abad ke- 20. Pada fase ini,
al-Azhar sudah memulai untuk mengintegrasikan diri dengan pemerintah. Al-Azhar
juga mulai beradaptasi dengan menjawab beberapa isu kontemporer dalam kaitan
dengan isu modern dan modial. Pada masa ini pendidikan menjadi 4 jenjang, (1)
pendidikan rendah selam 4 tahun; (2) pendidikan menengah selama 5 tahun; (3)
pendidikan Tinggi selama 4 tahun; (4) Pendidikan Tinggi Keterampilan selama 5
tahun.
Ketiga,
fase abad 21. Pada fase ini, al-Azhar secara ekspisit menjadikan dirinya
sebagai gerakan moderat. Salah satu tuntunan yang harus segera
diimplementasikan adalah ijtihad dan pengaturan metodologi konklusi hukum, yang
memadukan antara teks-teks klassik dengan perangkat-perangkat pengetahuan
modern. Pada fase ini, al-Azhar mulai mempelajari sistem penelitian yang
dilakukan universitas barat, dan mengirim alumni terbaiknya ke Eropa dan Amerika.
b) Kemajuan
dan kemunduran Zaitunnah
Ø Tata
letak kota Tunisia
Tata
Kota di Era Kejayaan Lainnya sebuah kota modern, pada abad ke-13 Tunis telah
tampil sebagai kota yang cantik dan elegan. Penataan kotanya begitu terencana
dengan baik. Tunis adalah cerminan nilai budaya dan sosial Islam yang
sesungguhnya. Kota Muslim itu ditata berdasarkan fungsi sosial-budaya tanpa
melupakan nilai ekonominya.
Kota
Tunis yang megah dan indah itu ditopang beberapa elemen penting yang membuatnya
begitu kental bernuansa Islam. Elemen penting itu, antara lain: Masjid Tempat
beribadah umat Islam itu berdiri di tengah-tengah kota. Masjid menjadi pusat
aktivitas kegamaan dan keilmuan. Masjid tak hanya menjadi tempat untuk
beribadah, namun juga menjadi pusat menimba ilmu pengetahuan. Di sekitar masjid
berdiri universitas dan perpustakaan. Kota Zaytuna memiliki sebuah perpustakaan
bernama al-Abdaliyah yang memiliki dalam jumlah besar koleksi manuskrip langka,
tentu saja hal itu menarik banyak orang dari pelbagai lokasi untuk mempelajarinya.
Pusat
perdagangan Di sekitar kompleks Al-Zaituna terdapat sebuah jaringan pusat
perbelanjaan, seperti pasar, bazar, dan tempat belanja di pinggir jalan. Pusat
perdagangan ini mencerminkan denyut perekonomian di jantung kota. Bangunan
rumah di era itu juga sudah sangat bagus dan modelnya mengikuti bentuk istana
raja. Infrastuktur transportasi Jalan-jalan yang bagus menghiasi kota Tunis.
Jalanan ini menghubungkan satu tempat ke tempat lainnya. Sarana transportasi
seperti kuda sudah tersedia. Kasbah Kota Tunis dikelilingi oleh tembok yang
sangat kuat. Tembok ini menjadi benteng pertahanan.
Ø Tata
letak kota Tunisia
Meski
era kejayaannya telah berlalu delapan abad silam, sejarah peradaban Islam tetap
mencatat kota Tunis sebagai pusat ilmu pengetahuan. Aktivitas keilmuan
menggeliat di kota itu seiring berdirinya Universitas Al-Zaituna perguruan
tinggi pertama di Afrika Utara.
Universitas
Al-Zaitunah mulai menjadi perguruan tinggi berpengaruh pada awal abad ke-13 M.
Saat itu, kota Tunis menjadi ibu kota kekhalifahan Hafsiah. Universitas itu
berhasil meluluskan seorang sarjana Muslim tersohor bernama Ibnu Khaldun. Sejak
saat itulah mahasiswa dari berbagai penjuru datang dan menimba ilmu di
perguruan tinggi yang mampu mencetak seorang ahli sejarah sosial pertama itu.
Orang
Spanyol tak hanya menjarah kitab-kitab dan manuskrip yang penting, namun juga
menghancurkan bangunan Masjid Al- Zaituna buah karya arsitektur kota Tunis di
era kejayaan. Untunglah, para pengacau dari Spanyol itu segera diusir oleh
pasukan tentara Muslim dari Kekhalifahan Utsmani Turki. Bangunan masjid yang
diporak-porandakan kembali dipercantik. Gubernur Ustmani Turki yang ditempatkan
di kota Tunis juga memulihkan perpustakaan yang dijarah dan mengembalikan
geliat studi di Universitas Al-Zaituna.
Di
perguruan tinggi itu, para mahasiswa mempelajari beragam ilmu, seperti Alquran,
ilmu hukum, sejarah, tata bahasa, sains, dan kedokteran. Begitu banyak kitab
dan manuskrip yang dihasilkan para ilmuwan di Universitas Al-Zaitunah.
Sayangnya,
ketika orang-orang Spanyol menaklukan Tunisia antara (940 dan 981 H/1534 dan
1574 M), mereka menjarah Masjid-Masjid dan perpustakaan di sana, serta
mengambil banyak dari koleksi buku dan manusktip perpustakaan yang sangat
berharga. Kekhalifahan Turki (Utsmaniyah) yang merebut kembali Tunisia dari
tangan orang-orang Spanyol memperbaiki kembali bahkan juga memperbesar Masjid
Zaitunah, perpustakaan dan juga madrasahnya. Usaha yang dilakukan oleh
Kekhalifahan Utsmaniyah itu membuat Masjid Zaitunah kembali menjadi pusat
kebudayaan Islam. Bangsawan Turki (Bey), Ahmad Pasha I, tidak hanya
me-revitalisisasi Perpustakaan Ahmadiyya, dia juga mengorganisasi dan dengan
baik hati mendukung pendidikan di Zaitunah, selain menyumbangkan dalam jumlah
buku pada perpustakaan masjid. Ilmu baru diperkenalkan pada 1896 termasuk
fisika, ekonomi politik dan Bahasa Prancis.
Di
Al-Zaitunah lah di mana beberapa tokoh kebudayaan Islam Arab dicetak, di antara
mereka yang terkenal adalah Taufik al-Madani, dan tentu saja termasuk
Abdul-Hamid Ibnu Badis sosok yang mengembalikan identitas Islam di Aljazair
pada 1940an.
Perpustakaan
Zaitunah di Tunisia, adalah yang paling kaya di antara lainnya. Memiliki
beberapa bagian koleksi yang bila beberapa bagian itu dijumlah total semuanya
akan mencapai ribuan koleksi. Saat itu kebanyakan pemimpin dari dinasti
kekhalifahan Hafsid saling berkompetisi satu sama lainnya untuk menjadi
pemimpin yang paling prestisius dalam merawat dan memperbesar koleksi buku pada
perpustakaan Masjid; yang mana pernah pada suatu masa salah satu pimpinan
mereka koleksi buku mencapai jumlah 100,000 volume.
Salah
satu faktor yang mendorong kota Tunis menjadi kota ilmu pengetahuan adalah
hijrahnya para ilmuwan dari Spanyol Muslim. Ilmuwan dari Spanyol Muslim yang
mengembangkan ilmunya di Tunis itu, salah satunya, Abu Salt Umaiya. Abu Salt
dikenal sebagai seorang dokter, matematikus, serta astronom. Ia lahir di Denia,
Andalusia, pada 1067 M dan meninggal di Tunis pada 1134 M.
E. PEMBAHARUAN
AL AZHAR
Pembaharuan administrasi pertama Al-Azhar dimulai
pada masa pemerintahan Sultan Ad-Dhahir Barquq (784 H. / 1382 M.) dari dinasti
Mamalik. Ketika ia mengangkat Amir Bahadir At-Thawasyi sebagai direktur pertama
Al-Azhar tahun 784 H. / 1382 M. Upaya ini merupakan usaha awal untuk menjadikan
Al-Azhar sebagai yayasan keagamaan yang mengikuti pemerintah.
Sistem ini terus berjalan hingga pemerintahan Usmani
menguasai Mesir di penghujung abad 11 H. Ditandai dengan pengangkatan “Syaikh
Al-‘Umumy” yang digelar dengan Syaikh Al-Azhar sebagai figur sentral yang
mengatur berbagai keperluan pendidikan, pengajaran, keuangan, fatwa hukum,
termasuk tempat mengadukan segala persoalan. Pada fase ini terpilih Syaikh
Muhammad Al-Khurasyi (1010 – 1101 H.) sebagai Syaikh Al-Azhar pertama. Secara
keseluruhan ada 44 Syaikh yang telah memimpin Al-Azhar selama 49 periode, dan
kini dipegang oleh Syaikh Ahmad Thayyeb.
Masa keemasan Al-Azhar terjadi pada abad 9 H. (15
M.). Banyak ilmuwan dan ulama Islam bermunculan di Al-Azhar saat itu, seperti
Ibnu Khaldun, Al-Farisi, As-Suyuthi, Al-’Aini, Al-Khawi, Abdul Latif
Al-Baghdadi, Ibnu Khalqan, Al-Maqrizi dan lainnya yang telah mewariskan banyak
ensiklopedi Arab. Iklim kemunduran kembali hadir ketika dinasti Usmani berkuasa
di Mesir (1517 – 1798 M.). Al-Azhar mulai kurang berfungsi disertai kepulangan
para ulama dan mahasiswa yang berangsur-angsur meninggalkan Kairo. Meski
begitu, tambahan berbagai bangunan tetap diupayakan atas prakarsa amir-amir
Usmani dan kaum Muslimin sedunia.
Kepemimpinan Muhammad Ali Pasha di Mesir pada tahap
selanjutnya telah membentuk sistem pendidikan yang paralel tapi terpisah, yaitu
pendidikan tradisional dan pendidikan modern. Ia juga berusaha menciutkan
peranan Al-Azhar sebagai lembaga yang berpengaruh sepanjang sejarah, antara
lain dengan menguasai Badan Wakaf Al-Azhar yang merupakan urat nadinya.
Seterusnya, pada masa pemerintahan Khediv Ismail Pasha (1863 – 1879 M.)
mulailah usaha reorganisasi pendidikan, dan dari sini pendidikan tradisional
mulai bersaing dengan pendidikan modern. Serangan terhadap pendidikan
tradisional sering tampak dari usaha yang menginginkan perbaikan Al-Azhar
sebagai pusat pendidikan Islam terpenting. Sejak awal abad 19, sistem
pendidikan Barat mulai diterapkan di sekolah-sekolah Mesir. Sementara Al-Azhar
masih saja menggunakan sistem tradisional. Dari sini muncul suara pembaharuan.
Di antara pembaharuan yang menonjol adalah
dicantumkannya sistem ujian untuk mendapatkan Ijazah Al-’Alimiyah (kesarjanaan)
Al-Azhar pada Februari 1872. Juga pada tahun 1896, buat pertama kali dibentuk
Idarah Al-Azhar (Dewan Administrasi). Usaha pertama dari dewan ini adalah
mengeluarkan peraturan yang membagi masa belajar di Al-Azhar menjadi dua
periode: Pendidikan dasar 8 tahun serta pendidikan menengah dan tinggi 12
tahun. Kurikulum Al-Azhar ikut diklasifikasikan dalam dua kelas: Al-’Ulum
Al-Manqulah (bidang studi agama) dan Al-’Ulum Al-Ma’qulah (studi umum).
Kalau bicara pembaharuan di Al-Azhar, kita jangan
lupa dengan Muhammad ‘Abduh (1849 –
1905). Ia mengusulkan perbaikan sistem pendidikan Al-Azhar dengan memasukkan
ilmu-ilmu modern ke dalam kurikulumnya. Gagasan tersebut mulanya kurang
disepakati oleh Syaikh Muhammad Al-Anbabi. Baru ketika Syaikh An-Nawawi
memimpin Al-Azhar, ide Muhammad ‘Abduh bisa berpengaruh. Berangsur-angsur mulai
diadakan pengaturan masa libur dan masa belajar. Uraian pelajaran yang
berulang-ulang, atau yang dikenal dengan syarah Al-Hawasyi pun disederhanakan.
Sementara itu kurikulum modern seperti
fisika, ilmu pasti, filsafat, sosiologi dan sejarah, telah menerobos Al-Azhar.
Bersamaan dengan ini pula direnovasi ruwaq Al-Azhar sebagai pemondokan bagi
guru dan mahasiswa.
F. PERANAN
AL AZHAR MENCETAK ULAMA
Al-Azhar sebagai lembaga pendidikan tinggi saat itu,
telah banyak melahirkan ulama yang tidak diragukan lagi dari aspek keilmuannya,
dan telah banyak menyumbangkan khasanah ilmu pengetahuan terutama keislaman,
baik dari Mesir maupun ulama yang berasal dari daerah lain. Diantara mereka
ialah Izauddin bin Abdissalam, Imam Subki, Jalaluddin As-Suyuti, Al-Hafiz Ibnu
Hajar Al-Asqolani, dan lain-lain dan karya monumental dari para ulama tersebut
masih dapat dipelajari dan disaksikan sampai sekarang ini.[Abuddin Nata,
Sejarah Pendidikan Islam pada Periode Klasik dan Petengahan, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2012), 96.]
G. KONTRIBUSI
AL AZHAR UNTUK INDONESIA
Masa terpenting al-Azhar bagi kemajuan umat Islam
adalah di bidang pengetahuan, pendidikan dan kebudayaan. Sejak pemerintahan
Dinasti Fatimiyyah, Kairo telah menjadi pusat intelektual muslim dan kegiatan
ilmiah dunia Islam. Al-Azhar sebagai
lembaga pendidikan tinggi saat ini, telah banyak melahirkan ulama yang tak
dapat diragukan lagi dari aspek keilmuwannya, dan telah menyumbangkan khazanah
keilmuwan terutama keislaman. Diantaranya adalah Imam Subkhi, Jalaluddin
as-Suyuti, al-Hafidz Ibnu Hajar al-Atsqolani.
Bidang ilmu pengetahuan adalah bidang yang paling
dominan pengaruhnya, termasuk di Indonesia sendiri. Transmisi keilmuwan
al-Azhar ke Indonesia, pada periode kontemporer, mengalir setidaknya pada tiga
jalur. Pertama, kepulangan mahasiswa
dari sana yang kemudian sedikit banyak menularkan ilmu yang diperolehnya, baik
melalui aktifitas mengajar, menulis buku atau artikel di media. Kedua, masuknya
buku-buku karya pemikir Timur Tengah, khususnya al-Azhar yang dibawa oleh mahasiswa
dan alumni maupun tenaga kerja ynag meskipun tidak tersebar luas tetapi
kemudian banyak diterjemahkan dan banyak beredar di tanah air. Ketiga,
kedatangan para da’i dan guru dari al-Azhar, baik atas undangan orang
Indonesia, maupun inisiatif sendiri. Lulusan-lulusan al-Azhar tak hanya disebar
ke Indonesia saja, akan tetapi juga negara-negara Muslim di seluruh dunia.
Dari ketiga faktor yang dipaparkan di atas, faktor
pertamalah yang dominan. Hal ini dikarenakan dalam aktifitas pendidikan inilah
ada proses mengkonstruk maupun merekonstruk pemikiran seseorang. Bagaimana
seorang pendidik memiliki peranan penting dalam membuka wacana, mengenalkan
bahkan mendoktrin siswa. Apalagi jika dipadukan dengan posisi penting dalam
dunia pendidikan maupun pemerintahan. Tentunya akan mudah sekali bagi sosok
tertentu untuk mentransmisi keilmuwan dari al-Azhar.
Setidaknya peran transmisi, alumni al-Azhar memiliki
peranan yang dapat dibedakan menjadi tiga yakni kelompok dosen dan ustadz,
muballigh atau pembicara, dan penulis. Corak pemikiran yang dibawa oleh
alumni al-Azhar secara garis besar
dibagi menjadi tiga, kelompok revivalis, kelompok tradisionalis, dan kelompok
reformis.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Awal dari unversitas baik az-Zaitunah maupun al-Azhar
merupakan sebuah masjid, namun pada perkembangannya berubah menjadi universitas
tertua di dunia. Hal ini merupakan bukti historis sebagai produk kemajuan
peradaban Islam di afrika utara, baik itu Tunisia maupun Mesir. Banyak
ulama-ulama yang berasal dari kedua universitas itu, seperti Ibnu Khaldun, Abu
Ali Muhammad, Abdilldh al-Qudha’I, Hasan bin Ibrahim, dan masih banyak lagi
para ulama-ulama lainnya. Universitas ini juga sangat perperan dalam kemajuan
ilmu pengetahuan, terlebih ilmu-ilmu keislaman yang di kunjungi oleh para
muslim dunia yang ingin belajar disana dari dahulu sampai sekarang.
DAFTAR
PUSTAKA
Suwito. Sejarah Sosial
Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media, 2005.
Nata, Abuddin. Sejarah
Pendidikan Islam pada Periode Klasik dan Petengahan. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2012.
Maksum. Madrasah:
Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
http://pendidikan-kita-semua.blogspot.co.id/2014/05/makalah-al-azhar.html