PEMIKIRAN PENDIDIKAN menurut KH.Abdul Wahid Hasyim



PEMIKIRAN PENDIDIKAN MENURUT KH. ABDUL WAHID HASYIM











A.   
Kelahiran KH. Abdul Wahid Hasyim
N

ama KH. Abdul Wahid Hasyim barangkali identik dengan tokoh-tokoh muda yang mempunyai prestasi yang luar biasa, dimana pada masa peralihan penjajahan Jepang menuju kemerdekaan Indonesia mempunyai posisi yang sangat vital, ketika itu gonjang-ganjing perselisihan antara kekuatan muda dan kekuatan kaum tua yang di wakili Soekarno, sementara semangat untuk mendirikan ideologi Negara masih menjadi perselisihan antara golongan nasionalis dan agama, yang pada akhirnya di menangkan golongan nasionalis, dalam hal ini KH. Abdul wahid Hasyim termasuk kelompok yang menghendaki agar negara yang dibentuk berdasarkan Islam mengingat Islam agama mayoritas penduduk Indonesia, tetapi Islam bukan harga mati bagi Wahid Hasyim, ia terbukti menerima setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia KH. Abdul Wahid Hasyim salah satu perwakilan dari golongan Islam menerima. KH. Abdul Wahid Hasyim adalah salah satu dari sedikit tokoh NU yang menonjol dan ketokohannya tidak hanya diakui kalangan NU, tetapi juga kalangan diluar NU. Ada beberapa faktor yang menyebabkan ia menjadi seperti itu, selain karena putra KH Hasyim Asyari, ia juga lebih dikenal-sangat cerdas dan gemar sekali membaca. Berkat kecerdasan dan kegemarannya tersebut ia mempunyai pemikiran yang maju terlebih jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh NU pada masa itu. Ia mampu mengikuti perkembangan yang terjadi sehingga dapat “duduk sejajar” dengan tokoh-tokoh nasional yang mendapat kesempatan belajar di bangku sekolah modern (Yanto dan Retno, 2009:409).
KH. Abdul Wahid Hasyim adalah putra dari pasangan KH. M. Hasyim Asy’ari-Nyai Nafiqah binti Kiai Ilyas (Madiun) yang di lahirkan pada Jum’at legi, 5 Rabi’ul Awal 1333 H./1 Juni 1914 M. Ayahandanya semula memberinya nama Muhammad Asy’ari, diambil dari nama kakeknya. Namun, namanya kemudian diganti menjadi Abdul Wahid, diambil dari nama datuknya. Dia anak kelima dan anak laki-laki pertama dari 10 bersaudara.
Silsilah Keluarga
KH. Abdul Wahid Hasyim merupakan salah seorang dari sepuluh keturunan langsung KH. Hasyim Asy’ari. Ulama yang termasyhur dan pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi keagamaan yang terbesar di Indonesia. Silsilah dari jalur ayah ini bersambung hingga Joko Tingkir, tokoh yang kemudian lebih dikenal dengan Sultan Hadiwijaya yang berasal dari kerajaan Demak. Sedangkan dari pihak ibu, silsilah itu betemu pada satu titik, yaitu Sultan Brawijaya V, yang menjadi salah satu raja Kerajaan Majapahit. Sultan Brawijaya V ini juga dikenal dengan sebutan Lembu Peteng (Amin, 2010:65). Ketika menginjak usia 25 tahun, KH. Abdul Wahid mempersunting gadis bernama Solichah, putri KH. Bisri Syansuri, yang pada waktu itu baru berusia 15 tahun. Pasangan ini dikarunai enam anak putra, Putra-putri
KH.Abdul Wahid Hasyim kemudian tumbuh dan berkembang menjadi tokoh dan miniatur dari Indonesia dengan lingkungan yang berbeda-beda, putra Pertama, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah salah satu mantan presiden RI yang ke-4, sosoknya yang penuh kontroversi. Kedua, Aisyah Hamid Baidlowi menjadi politisi Partai Golkar. Ketiga, KH Salahuddin
Wahid penjelajah lintas ilmu disiplin ilmu dan aktivis HAM dan kini menjadi pengasuh pondok pesantren Tebuireng. Keempat dr. umar Wahid seorang dokter professional murni. Kelima, Lily Chotijah Wahid kini menjadi anggota legeislatif dari PKB (Risalah, 1430 H:77).

Menuntut Ilmu
Sejak kecil Abdul Wahid sudah masuk Madrasah Tebuireng dan sudah lulus pada usia yang sangat belia, 12 tahun. Selama bersekolah, ia giat mempelajari ilmu-ilmu kesustraan dan budaya Arab secara outodidak. Dia juga mempunyai hobi membaca yang sangat kuat. Dalam sehari, dia membaca minimal lima jam. Dia juga hafal banyak syair Arab yang kemudian disusun menjadi sebuah buku. Ketika berusia 13 tahun, Abdul Wahid mulai melakukan pengembaraan mencari ilmu. Awalnya ia belajar di Pondok Siwalan, Panji, Sidoarjo. Di sana ia mondok mulai awal Ramadhan hingga tanggal 25 Ramadhan (hanya 25 hari). Setelah itu pindah ke Pesantren Lirboyo, Kediri, sebuah pesantren yang didirikan oleh KH. Abdul Karim, teman dan sekaligus murid ayahnya. Antara umur 13 dan 15 tahun, pemuda Wahid menjadi Santri Kelana, pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Tahun 1929 dia kembali ke pesantren Tebuireng.
Ketika kembali ke Tebuireng, umurnya baru mencapai 15 tahun dan baru mengenal huruf latin. Dengan mengenal huruf latin, semangat belajarnya semakin bertambah. Ia belajar ilmu bumi, bahasa asing, matematika, dll. Dia juga berlangganan koran dan majalah, baik yang berbahasa Indonesia maupun Arab. Pemuda Abdul Wahid mulai belajar Bahasa Belanda ketika berlangganan majalah tiga bahasa, ”Sumber Pengetahuan” Bandung. Tetapi dia hanya mengambil dua bahasa saja, yaitu Bahasa Arab dan Belanda. Setelah itu dia mulai belajar Bahasa Inggris. Pada tahun 1932, ketika umurnya baru 18 tahun, Abdul Wahid pergi ke tanah suci Mekkah bersama sepupunya, Muhammad Ilyas. Selain menjalankan ibadah haji, mereka berdua juga memperdalam ilmu pengetahuan seperti nahwu, shorof, fiqh, tafsir, dan hadis. Abdul Wahid menetap di tanah suci selama 2 tahun.




Memimpin Pondok Pesantren Tebuireng



 


Wahid Hasyim saat berusia 20 tahun

Sepulang dari tanah suci, KH. Abdul Wahid (biasa dipanggil KH. Wahid Hasyim) bukan hanya membantu ayahnya mengajar di pesantren, tapi juga terjun ke tengah-tengah masyarakat. Ketika usianya menginjak 20-an tahun.
Kiai Wahid mulai membantu ayahnya menyusun kurikulum pesantren, menulis surat balasan dari para ulama atas nama ayahnya dalam Bahasa Arab, mewakili sang ayah dalam berbagai pertemuan dengan para tokoh.
Bahkan ketika ayahnya sakit, ia menggantikan membaca kitab Shahih Bukhari, yakni pengajian tahunan yang diikuti oleh para ulama dari berbagai penjuru tanah Jawa dan Madura.
Dengan bekal keilmuan yang cukup, pengalaman yang luas serta wawasan global yang dimilikinya, Kiai Wahid mulai melakukan terobosan-terobosan besar di Tebuireng. Awalnya dia mengusulkan untuk merubah sistem klasikal dengan sistem tutorial, serta memasukkan materi pelajaran umum ke pesantren.
Usul ini ditolak oleh ayahnya, karena khawatir akan menimbulkan masalah antar sesama pimpinan pesantren. Namun pada tahun 1935, usulan Kiai Wahid tentang pendirian Madrasah Nidzamiyah, dimana 70% kurikulumnya berisi materi pelajaran umum, diterima oleh sang ayah.
Madrasah Nidzamiyah bertempat di serambi masjid Tebuireng. Siswa pertamanya berjumlah 29 orang, termasuk adiknya sendiri, Abdul Karim Hasyim. Dalam bidang bahasa, selain materi pelajaran Bahasa Arab, di Madrasah Nidzamiyah juga diberi pelajaran Bahasa Inggris dan Belanda.

Untuk melengkapi khazanah keilmuan santri, pada tahun 1936, Kiai Wahid mendirikan Ikatan Pelajar Islam yang kemudian diikuti dengan pendirian taman bacaan (perpustakaan) yang menyediakan lebih dari seribu judul buku.
Perpustakaan Tebuireng juga berlangganan majalah seperti Panji Islam, Dewan Islam, Berita Nahdlatul Ulama, Adil, Nurul Iman, Penyebar Semangat, Panji Pustaka, Pujangga Baru, dan lain sebagainya. Langkah ini merupakan terobosan besar yang saat itu belum pernah dilakukan pesantren manapun di Indonesia.
Pada tahun 1947, ketika sang ayah meningal dunia, Kiai Wahid terpilih secara aklamasi sebagai pengasuh Tebuireng. Pilihan ini berdasarkan kesepakatan musyawarah keluarga Bani Hasyim dan Ulama NU Kabupaten Jombang. Terpilihnya Kiai Wahid sebenarnya sekadar ”formalisasi”, karena kenyataannya beliau sudah lama ikut membantu sang ayah mengelola Tebuireng.

Pada tahun 1950, Kiai Wahid diangkat menjadi Menteri Agama dan pindah ke Jakarta. Keluarga Kiai Wahid tinggal di Jl. Jawa (kini Jl. HOS Cokroaminoto) No. 112, dan selanjutnya pada tahun 1952 pindah ke Taman Matraman Barat no. 8, di dekat Masjid Jami’ Matraman.

Pernikahan KH. Abdul Wahid Hasyim




 






KH. Abdul Wahid Hasyim dan Solehah. Menikah pada usia 24 tahun






Pada hari Jumat, 10 Syawal 1356 H./1936 M., Kiai Wahid menikah dengan Munawaroh (lebih dikenal dengan nama Sholichah), putri KH. Bisyri Sansuri (Denanyar Jombang).
Ada peristiwa menarik dalam prosesi pernikahan ini. Mempelai lelaki hanya berangkat seorang diri ke Denanyar. Kiai Wahid datang hanya memakai baju lengan pendek dan bersarung. Tidak ada yang mengiringinya. Bukan tidak ada yang mau mengantar, akan tetapi Kiai Wahid sendiri yang meninggalkan para pengiringnya di belakang
Dari pernikahan itu, pasangan Wahid-Sholichah dikaruniai enam orang putra-putri, yaitu Abdurrahman, Aisyah, Salahuddin, Umar, Lily Khodijah, dan Muhammad Hasyim.

Masuk NU






Di tengah-tengah kesibukannya mengelola Tebuireng, Kiai Wahid aktif menjadi pengurus NU (1938). Karier di NU dimulai dari bawah. Mula-mula menjadi Sekertaris NU Ranting Cukir, kemudian tahun 1938 terpilih sebagai Ketua Cabang NU Kabupaten Jombang.
                                       ( Rekan Kerja bersama Jepang dalam organisasi)
Lalu tahun 1940 masuk kepengurusan PBNU bagian ma’arif (pendidikan). Di tubuh Ma’arif NU, Kiai Wahid mengembangkan dan melakukan reorganisasi terhadap madrasah-madrasah NU di seluruh Indonesia. Kiai Wahid juga giat mengembangkan tradisi tulis-menulis di kalangan NU, dengan menerbitkan Majalah Suluh Nahdlatul Ulama. Beliau juga aktif menulis di Suara NU dan Berita NU. Tahun 1946 Kiai Wahid terpilih sebagai Ketua Tanfidiyyah PBNU menggantikan Kiai Achmad Shiddiq yang meninggal dunia.
Nahdlatul ‘Ulama





            Telah kita ketahui bahwa KH. Abdul Wahid Hasyim adalah anak Dari seorang tokoh yang terkenal yaitu  Hasyim Asy’ari dan Nyai Nafiqoh binti M. Ilyas. Namun dibalik ketenaran yang ia punyai, ia bertekat tidak ingin melibatkan ketenaran yang ia miliki untuk masuk Nahdlatul Ulama. Ia tinggalkan soall perasaan dan pertimbangan keturunan. Akibatnya butuh 4 tahun bagi dia untuk menimbang, melihat dan mendengarkan organisasi seta perhimpunan mana yang akan ia masuki sebagai srana perjuangan menyebarkan dan menegakkan nilai-nilai agama. Sepulang dari mekkah, April 1934, Wahid Hasyim menerima tawaran masuk berbagai organisasi termasuk Nahdlatul Ulama.

Ada beberapa anggapan lain yang menjadi kendala minat masyarakat bergabung dengan Nahdlatul Ulama. Sebagai organisasi berbasis tradisional, Nahdlatul Ulama dipandang terlaly disiplin soal agama dan Moral. Menurut Wahid Hasyim, tuntunan kepada anggotanya supaya berdisiplin  menjalankan kewajiban agama dianggap menakutkan dan menghalangi orang terutama pemuda, masuk Nahdlatul Ulama.



 


(kantor pengurus Besar Nahdlatul Ulama )



Organisasi ini mampu menjalar cepat dan menjangkau 60% wilayah Indonesia hanya dalam kurun waktu 10 tahun. Pada saat yang sama, perhimpunan lain hanya bisa mengembangkan 20 cabangg di tempat berdekatan. Menurut dia, berjuang dalam perhimpunan bukan soal gagah-gagahan dengan label radikal dan intelek, tapi harus melihat hasil akhir perjuangannya.

Mendirikan Masyumi





Pada bulan November 1947, Wahid Hasyim bersama M. Natsir menjadi pelopor pelaksanaan Kongres Umat Islam Indonesia yang diselenggarakan di Jogjakarta. Dalam kongres itu diputuskan pendirian Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebagai satu-satunya partai politik Islam di Indonesia. Ketua umumnya adalah ayahnya sendiri, Kiai Hasyim Asy’ari. Namun Kiai Hasyim melimpahkan semua tugasnya kepada Wahid Hasyim.
Dia dalam Masyumi tergabung tokoh-tokoh Islam nasional, seperti KH. Wahab Hasbullah, KH. Bagus Hadikusumo, KH. Abdul Halim, KH. Ahmad Sanusi, KH. Zainul Arifin, Mohammad Roem, dr. Sukiman, H. Agus Salim, Prawoto Mangkusasmito, Anwar Cokroaminoto, Mohammad Natsir, dan lain-lain.
Sejak awal tahun 1950-an, NU keluar dari Masyumi dan mendirikan partai sendiri. Kiai Wahid terpilih sebagai Ketua Umum Partai NU. Keputusan ini diambil dalam Kongres ke-19 NU di Palembang (26-April-1 Mei 1952). Secara pribadi, Kiai Wahid tidak setuju NU keluar dari Masyumi. Akan tetapi karena sudah menjadi keputusan bersama, maka Kiai Wahid menghormatinya. Hubungan Kiai Wahid dengan tokoh-tokoh Masyumi tetap terjalin baik

Pahlawan Nasional



Pada tahun 1939, NU masuk menjadi anggota Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI), sebuah federasi partai dan ormas Islam di Indonesia. Setelah masuknya NU, dilakukan reorganisasi dan saat itulah Kiai Wahid terpilih menjadi ketua MIAI, dalam Kongres tanggal 14-15 September 1940 di Surabaya.
Di bawah kepemimpinan Kiai Wahid, MIAI melakukan tuntutan kepada pemerintah Kolonial Belanda untuk mencabut status Guru Ordonantie tahun 1925 yang sangat membatasi aktivitas guru-guru agama. Bersama GAPI (Gabungan Partai Politik Indonesia) dan PVPN (Asosiasi Pegawai Pemerintah), MIAI juga membentuk Kongres Rakyat Indonesia sebagai komite Nsional yang menuntut Indonesia berparlemen.
Menjelang pecahnya Perang Dunia ke-II, pemerintah Belanda mewajibkan donor darah serta berencana membentuk milisi sipil Indonesia sebagai persiapan menghadapi Perang Dunia. Sebagai ketua MIAI, Wahid Hasyim menolak keputusan itu. Ketika pemerintah Jepang membentuk Chuuo Sangi In, semacam DPR ala Jepang, Kiai Wahid dipercaya menjadi anggotanya bersama tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya, seperti Ir. Soekarno, Dr. Mohammad Hatta, Mr. Sartono, M. Yamin, Ki Hajat Dewantara, Iskandar Dinata, Dr. Soepomo, dan lain-lain. Melalui jabatan ini, Kiai Wahid berhasil meyakinkan Jepang untuk membentuk sebuah Badan Jawatan Agama guna menghimpun para ulama. Pada tahun 1942, Pemerintah Jepang menangkap Hadratusy Sayeikh Kiai Hasyim Asy'ari dan menahannya di Surabaya. Wahid Hasyim berupaya membebaskannya dengan melakukan lobi-lobi politik. Hasilnya, pada bulan Agustus 1944, Kiai Hasyim Asy'ari dibebaskan. Sebagai kompensasinya, Pemerintah Jepang menawarinya menjadi ketua Shumubucho, Kepala Jawatan Agama Pusat. Kiai Hasyim menerima tawaran itu, tetapi karena alasan usia dan tidak ingin meninggalkan Tebuireng, maka tugasnya dilimpahkan kepada Kiai Wahid.
Bersama para pemimpin pergerakan nasional (seperti Soekarno dan Hatta), Wahid Hasyim memanfaatkan jabatannya untuk persiapan kemerdekaan RI. Dia membentuk Kementerian Agama, lalu membujuk Jepang untuk memberikan latihan militer khusus kepada para santri, serta mendirikan barisan pertahanan rakyat secara mandiri. Inilah cikal-bakal terbentuknya laskar Hizbullah dan Sabilillah yang, bersama PETA, menjadi embrio lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pada tanggal 29 April 1945, pemerintah Jepang membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyooisakai atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan Wahid Hasyim menjadi salah satu anggotanya. Dia merupakan tokoh termuda dari sembilan tokoh nasional yang menandatangani Piagam Jakarta, sebuah piagam yang melahirkan proklamasi dan konstitusi negara. Dia berhasil menjembatani perdebatan sengit antara kubu nasionalis yang menginginkan bentuk Negara Kesatuan, dan kubu Islam yang menginginkan bentuk negara berdasarkan syariat Islam. Saat itu ia juga menjadi penasihat Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Di dalam kabinet pertama yang dibentuk Presiden Sukarno (September 1945), Kiai Wahid ditunjuk menjadi Menteri Negara. Demikian juga dalam Kabinet Sjahrir tahun 1946. Ketika KNIP dibentuk, Wahid Hasyim menjadi salah seorang anggotanya mewakili Masyumi dan meningkat menjadi anggota BPKNIP tahun 1946.
Setelah terjadi penyerahan kedaulatan RI dan berdirinya RIS, dalam Kabinet Hatta tahun 1950 dia diangkat menjadi Menteri Agama. Jabatan Menteri Agama terus dipercayakan kepadanya selama tiga kali kabinet, yakni Kabinet Hatta, Natsir, dan Kabinet Sukiman.
Selama menjabat sebagai Menteri Agama RI, Kiai Wahid mengeluarkan tiga keputusan yang sangat mepengaruhi sistem pendidikan Indonesia di masa kini, yaitu :
1.      Mengeluarkan Peraturan Pemerintah tertanggal 20 Januari 1950, yang mewajibkan pendidikan dan pengajaran agama di lingkungan sekolah umum, baik negeri maupun swasta.
2.      Mendirikan Sekolah Guru dan Hakim Agama di Malang, Banda-Aceh, Bandung, Bukittinggi, dan Yogyakarta.
3.       Mendirikan Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) di Tanjungpinang, Banda-Aceh, Padang, Jakarta, Banjarmasin, Tanjungkarang, Bandung, Pamekasan, dan Salatiga.
Jasa lainnya ialah pendirian Sekolah Tinggi Islam di Jakarta (tahun 1944), yang pengasuhannya ditangani oleh KH. Kahar Muzakkir. Lalu pada tahun 1950 memutuskan pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN)
Sejak didirikan PTAIN mengalami perkembangan pesat baik dari jumlah mahasiswanya maupun dari keluasan bidang kajian ilmu agama Islam yang dipelajari. 6 tahun kemudian tanggal 1 januari 1957, juga berdiri Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) sebagai kelanjutan usaha mendirikan sekolah Guru Agama atas serta sekolah Guru dan Hakim Agama. Dari sini muncul pemikiran untuk menggabungkan kedua lembaga itu ke dalam institut. Pada saat itu rancangan UU Perguruan Tinggi hanya mengenal tiga bentuk: Universitas, institut dan akademik. Kementrian Agama lantas membentuk panitia khusus yang diketuai RH A,Soenarjo, SH, yang tugasnya menyiapkan penyelenggaraan Institut Agama Islam Negeri (IAIN)

Serta mendirikan wadah Panitia Haji Indonesia (PHI). Kiai Wahid juga memberikan ide kepada Presiden Soekarno untuk mendirikan masjid Istiqlal sebagai masjid negara.
( Kampus IAIN Jakarta pada Tahun 1990 )
B.     Pembaruan Pendidikan Islam

Wahid memasukan pelajaran umum ke kurikulum pesantren, bagi dia, selepas mondok, seorang santri tak mesti menjadi ulama.
            (kegiatan belajar-mengajar di Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang)
Bahasa jerman di Pesantren
Wahid hasyim mendirikan adrasah yang 70% kurikulumnya berupa pendidikan non-agama. Pelopor pendidikan modern di pesantren.
Madrasah Nizamiah yang dibentuk pada 1934, menjadi terobosan pendidikan di kalangan NU karena untuk pertama kalinya ada pesantren yang mengembangkan pendidikan umum sampai 70%. Lembaga pendidikan sebelumnya seperti Madrasah Salafiyah, tempat Muchit Muzadi menuntut ilmu, yang berdiri pada 1916, hanya mengajar kitab kuning. “ setelah Nizamiah dilebur, kami mendapat pelajaran umum, seperti bahasa Indonesia,” katanya.
Saat itu belum ada pesantren dalam pendidikan seperti ini. Imam kiai H. Imam Tauhid (87) mengatakan “pesantren yang pelajari pendidikan umum pertama kali adalah Tebuireng”. selama 32 tahun mengurus kesepuhan Pondok Pesantren Tebuireng. Kesepuh ini merupakan tempat Kiai H. Hasyim Asy’ari dan keluarganya tinggal. “Gus Wahid dululah yang masukkan materi  bahasa Jerman, bahasa Inggris, model klasikal”. Saat Nizamiah dibuka, tidak banyak orang tua yang bersedia mengirimkan anaknya ke madrasah ini. Orang tua Muchit Muzadi di antaranya. Muchid kemudian mendaftar dan setelah dites, masuk kelas 3 Tsanawiyah di Madrasah Salafiyah. Saat itu jumlah santri Tebuireng 2.000 orang. Tidak semua santri mengambil kelas madrasah seperti Salafiyah atau Nizamiah. Berbeda dengan para santri Tebuireng lin, muchid memperhatikan para murid Nizamiah tidak merata asalnya. Saat itu gampang sekali membedakan asal para santri karena pengelompokan asrama kampung asal
.
Ruangan kelas Nizamiah sekadar mengambil ruangan-ruangan yang ada di Tebuireng. bangunnya sebagian sudah berdinding tembok, sebagian masih kayu. Meski yang diajarkan berbeda, fasilitasnya tetap sama dengan kelas reguler pesantren.
Penampilan para Murid Nizamiah juga tidak berbeda dengan warga Tebuireng lain, bersarung dan berkopiah. Dimasa itu penampilan itu sangat tertib. Sesuai dengan nama ‘Nizam’ artiny tertib.
Sebagai guru didatangkan dari luar Tebuireng, Wahid Hasyim ikut turun tangan mengajar para santri di Nizamiah. Setelah Nizamiah dilebur, Wahid Hasyim tidak pernah lagi mengajar di Tebuireng karena sibuk ke Surabaya, berorganisasi di NU.

(SMP A.Wahid Hasyim)
Tapi Hasyim Asy’ari tidak setuju ada dua madrasah berbeda, Nizamiah dan Salafiyah, di pesantrennya, karena itu Nizamiah dilebur sehingga hanya menyisakan Salafiyah, madrasah yang jauh lebih tua. Murid-murid Nizamiah masuk ke Salafiyah.
Muchid kemudian sekelas dengan santri bekas Nizamiah, termasuk yang kemudian cukup top di NU, yakni KH Achmad shiddiq dan KH Shodiq Mahmud.
Bubarnya Nizamiah tidak berarti ide modernisasi di Tebuireng berakhir. “setelah Nizamiah bubar dan dilebur ke Salafiyah. Di Salafiyah tampak ada perubahan.” Kata Muchit.
Sejarah Pondok Pesantren
 Pesantren sebagai lembaga pendidikan tempat pengajaran yang baru muncul pada akhir abad ke-18. Pesantren sebagai institusi pendidikan Islam yang dinilai paling tua, pesantren juga memiliki akar sejarah yang jelas. Tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren adalah Maulana Malik Ibrahim, yang dikenal dengan Syaikh Magribi (Saifuddin Zuhri, 2010:134). Akan tetapi data-data tentang bentuk institusi, materi, metode maupun secara umum sistem pendidikan pesantren yang dibangun Syaikh Maghribi tersebut sulit ditemukan. Pesantren dalam pengertian hakiki, sebagai tempat pengajaran para santri meskipun bentuknya sangat sederhana, lebih dari itu kegiatan mengajar santri menjadi bagian terpadu dari misi dakwahnya. Kalau berbicara tentang perkembangan ajaran Islam dalam masyarakat Indonesia, maka perlibatan pesantren menjadi suatu keniscayaan yang sama sekali tidak dapat diabaikan, pesantren sejak awal kemunculannya memang tidak dapat dilepaskan dari masyarakat. Lembaga ini tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat. Ia hadir untuk mengabdikan dirinya mengembangkan dakwah Islam dalam pengertian luas. Pesantren telah diakui sebagai lembaga yang telah ikut serta mencerdaskankan bangsa. Pesantren merupakan suatu komunitas tersendiri, dimana kiai, ustad, santri dan pengurus pesantren hidup bersama dalam satu lingkungan pendidikan berlandaskan nilai-nilai agama Islam lengkap dengan norma-norma dan kebiasaannya. Pondok Pesantren walaupun dikategorikan sebagai lembaga pendidikan tradisional mempunyai sistem pengajaran, kurikulum tersendiri, dan itu menjadi ciri khas pondok pesantren

1.      Metode Pengajaran di Pesantren
Ada beberapa metode pengajaran yang menjadi ciri utama pembelajaran di pondok pesantren salafiyah.
a.      Bandongan
Metode bandhongan dilakukan dengan cara kiai/guru membacakan teks-teks kitab yang berbahasa Arab, menerjemahkan ke dalam bahasa lokal, dan sekaligus menjelaskan maksud yang terkandung dalam kitab tersebut. Sedangkan santri menyimak dan menulis arti kitab yang dibacakan oleh kiai. Dalam metode bandongan ini, hampir tidak pernah terjadi diskusi antara kiai dan santri (Pradjarta, 1999:149-150). Metode Bandongan dilakukan oleh seorang kyai atau ustadz terhadap sekelompok peserta didik atau santri, untuk mendengarkan dan menyimak apa yang dibacanya dari sebuah kitab. Seorang kyai atau ustadz dalam hal ini membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas teks-teks kitab berbahasa Arab tanpa harakat (gundul). Sementara itu santri dengan memegang kitab yang sama, masing-masing melakukan pendhabithan harakat, pencatatan simbolsimbol kedudukan kata, arti-arti kata langsung dibawah kata yang dimaksud, dan keterangan-keterangan lain yang dianggap penting dan dapat membantu memahami teks. Posisi para santri pada pembelajaran
dengan menggunakan metode ini adalah melingkari dan mengelilingi kyai atau ustadz sehingga membentuk halaqah (lingkaran). Dalam penterjemahannya kyai atau ustadz dapat menggunakan berbagai bahasa yang menjadi bahasa utama para santrinya, misalnya: bahasa Jawa, Sunda, atau bahasa Indonesia.
b.      Sorogan
Sorogan, berasal dari kata sorog (bahasa Jawa), yang berarti menyodorkan, yang dimaksudnya disini menyodorkan kitab di hadapan kiai. Sorogan adalah semacam metode CBSA (cara belajar siswa aktif) yang santri aktif memilih kitab, biasanya kitab kuning, yang akan dibaca, kemudian membaca dan menerjemahkannya dihadapan kiai, sementara itu kiai mendengarkan bacaan santrinya dan mengoreksi bacaan atau terjemahannya jika diperlukan (Pradjarta, 1999:149-150). Sistem sorogan ini termasuk belajar secara individual, dimana
seorang santri maju satu per satu untuk membaca dan menguraikan isi kitab di hadapan guru atau Kiai. Metode pengajaran ini termasuk metode pengajaran yang sangat bermakna karena santri akan merasakan hubungan langsung dengan kiai. Santri tidak saja dibimbing dan diarahkan cara membacanya tetapi dapat di evaluasi perkembangan kemampuan membaca kitab. Sistem sorogan ini terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi seorang alim. Sistem ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang murid dalam menguasai bahasa Arab. Dalam metode sorogan, santri membaca kitab kuning dan memberi makna sementara guru mendengarkan sambil memberi catatan, komentar, atau bimbingan bila diperlukan. Akan tetapi, dalam metode ini, dialog antara guru dengan murid belum tentu atau tidak terjadi. Metode sorogan, diduga sangat kuat merupakan tradisi pesantren, mengingat sistem pengajaran di pesantren memang secara keseluruhan. Hal ini lagi-lagi menunjukkan ciri khas pondok pesantren dengan mempertahankan tradisi warisan masa lalu yang cukup jauh.

Bukan hanya mengubah sistemnya, Wahid Hasyim juga mengusulkan memperbanyak pendidikan non-agama. Alasannya sederhana, ia menyebutkan bahwa jikalau muridnya keluar dari pesantren kemungkinan besar hanya sebagian yang menjadi kiai, jadi lebih baik mereka dibekali keterampilan praktis.
Ide itu merupakan lompatan besar dibandingkan pola pikir kalangan pesantren saat itu. Tidak semudah itu untuk mengubah pola pendidikan seperti itu terdapat tidak menyesetujui akan perubahan itu, namun dibalik semua itu pendapat lainnya mengizinkan anak-anaknya yang masih muda untuk membentuk madrasah sendiri di dalam Tebuireng pada 1934. Madrasah itu tak lain adalah Nizamiah.

c.       Metode Bahtsul Masa`il
Metode Bahtsul Masa`il merupakan pertemuan ilmiyah, yang membahas masalah diniyah, seperti ibadah, aqidah dan masalah agama pada umumnya. Metode ini sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan metode musyawarah. Hanya bedanya, pada metode Bahtsul Masa`il pesertanya adalah para kyai atau para santri tingkat tinggi. Dalam forum ini, para santri biasanya membahas dan mendiskusikan suatu kasus di dalam masyarakat sehari-hari untuk kemudian dicari pemecahanannya secara fiqih (yurisprudensi Islam). Pada dasarnya santri tidak hanya belajar memetakan dan memecahkan suatu permasalahan hukum yang perkembang dimasyarakat, namun dalam forum ini para santri juga belajar berdemokrasi dengan menghargai pluralitas pendapat yang muncul dalam forum.
d.      Metode Musyawaroh
Metode musyawaroh ini pertama kali di lakukan oleh Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Dan metode musyawarah banyak dijumpai di pondok pesantren salafiyah. Metode ini dilaksanakan dalam rangka pendalaman atau pengayaan materi-materi yang sudah dipelajari santri (kitab-kitab kuning). Yang menjadi ciri metode ini, santri dan guru biasanya terlibat debat dalam sebuah forum perdebatan untuk memecahkan masalah yang ada. Dalam musyawarah ini santri diperkenankan berdebat secara babas asal tetap memiliki kerangka acuan yakni kitab-kitab utama Kegiatan musyawarah adalah merupakan aspek dari proses belajar dan mengajar di pesantren salafiyah yang telah menjadi tradisi khususnya bagi santri-santri yang mengikuti sistem klasikal. Kegiatan ini suatu keharusan bagi para santri, sama halnya seperti keharusan mengikuti kegiatan belajar kitab-kitab dalam proses belajar mengajar. Bagi santri yang tidak mengikuti atau mengindahkan peraturan kegiatan musyawarah, akan dikenai sangsi, karena musyawarah sudah menjadi
ketetapan pesantren yang harus ditaati untuk dilaksanakan. Beberapa metode diatas banyak diterapkan di pondok-pondok pesantren, dan antara metode yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan erat dan mempunyai kelemahan serta kelebihan masing-masing, sehingga pondok-pondok pesantren sampai sekarang masih mempertahankan metode tersebut, dan itu menjadi lambang supremasi serta ciri khas metode pengajaran di Pondok Pesantren. Metode-metode pembelajaran tersebut tentunya belum mewakili keseluruhan dari metodemetode
pembelajaran yang ada di pondok pesantren, tetapi setidaknya paling banyak diterapkan di lembaga pendidikan pesantren.

Peran Wahid Hasyim dalam Pembaruan Pendidikan Islam
Kontribusi Wahid Hasyim dalam pengembangan sistem pendidikan di Indonesia, khususnya untuk pendidikan Islam. Perubahan dan perkembangan Institusi Pendidikan Islam dikalangan kaum tradisional hamir tidak pernah disentuh. Meskipun ditemukan adanya persamaan diantara institusi yang dikembangkan oleh kaum modernis.wahid Hasyim adalah pimpinan teras Nahdatul Ulama yang mempunyai kepeduliannya yang tinggi terhadap pendidikan kaum muslimin di Indonesia, khususnya kalangan tradisional. Usahanya adalah memperkenalkan ilmu pengetahuan dari Barat ke Pesantren dan mendirikan beberapa institusi pendidikan yang baru, misalnya Madrasah Nizamiyah, PGA ( Pendidika Guru Agama) dan PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri). Melalui usahanya itu, Wahid Hasyim mencoba untuk memperbaiki kelemahan pendidikan umat Islam Indonesia dan mencoba membangun jembatan yang memisahkan dua sistem yang sudah berkembang saat itu, yang sistem Barat (sekolah) dan Islam (Pesantren).
            Sebagai institusi pendidikan islam tradisional di tanah air, Tebuireng memfokuskan pada mata pelajaran agama dengan memberikan perhatian kepada mata pelajaran hadist dan menggunakan, pada mulanya metode Bandongan dan sorogan dalam proses pembelajaran di kelas. Adanya kemiripan dalam kurikulum dan metode yang digunakan di Pesantren disebabkan adanya pola tradisi pendidikan yang berkembang saat itu, terutama sejak kiai biasanya belajar mata pelajaran dibawah bimbingan guru yang sama baik di pesantren maupun ketika melanjutkan studinya di Timur Tengah. Tidak heran kalau sekolah-sekolah khususnya di Jawa mempunyai Pola pendidikan semacam itu juga. Meskipun demikian, ini tidak berarti bahwa institusi pendidikan tradisional berubah terhadap segala bentuk perubahan baik dari segi metodologi maupun mata pelajaran yang diajarkan.
            Pada kasus pesantren Tebuireng, pengenalan ilmu hadist sebagai mata pelajaran baru dapat dianggap, berkaitan dengan metode yang digunakan, Hasyim Asy’ari disamping sorongan dan Bandongan juga mengenal metode musyawarah (seminar). Dibawah pimpinan Hasyim Asy’ari secara langsung, hanya santri senior yang diizinkan mengikuti kelas semilai ini. Tujuan dari kelas ini sebagai memperdalam pengetahuan mereka tentang Islam juga memberi pacuan untuk pemecah permasalahan keagamaan dan keduniaan yang dihadapkan oleh masyarakat dengan berdasarkan ajaran Islam. Dalam pencapaian pemecahan masalah, mereka secara bebas berdebat , walaupun harus tetap mendasarkan pendapatnya pada karya ulama abad pertengahan. Khususnya mazhab Syafi’i. Tampaknya KH Hasyim Asy’ari menerapkan metode tersebut untuk melatih santrinya agar mampu melihat realita dn memberikan alterntif pemecahannya. Banyak santri yang mengikuti kelas ini, dikemudian hari menjadi ulama terkenal, diantaranya KH Manaf Abdul Karim, KH Abbas Buntet dam KH As’ad Syamsul Arifin. Ulama tersebut secara berurutan adalah pemimpin Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Buntet Cirebon, dan Pesantren Asembagus Situbondo.
            Perubahan yang aling monumental di pesantren tebuireng terjadi ketika Wahid Hasyim kembali dari Mekah pada tahun 1833. Wahid Hasyim mulai aktif dalam proses belajar mengajar di Tebuireng. sebagai asisten ayahnya, ia mengajukan beberapa usulan pembaharuan pendidikan di sana, diantaranya metode yang digunakan dalam proses belajar mengajar, tujuan atau harapan santri belajar di pesantren dan pengenalan mata pelajaran dari Barat.
            Mengenai keefektifan metode yang digunakan di pesantren, Wahid Hasyim mengusulkan untuk mengadopsi sistem  tutorial, sebagai ganti dari metode Bandongan . menurutnya metode itu tidak efektif dalam mengembangkan inisiatif santri. Hal ini disebabkan dikelas dimana metode bandongan ditetapkan, santri datang hanya untuk mendengar, menulis dan menghafal pelajaran yang diberikan, tidak ada kesempatan bagi santri untuk mengajukan pertanyaan atau bahkan mendiskusikan pelajaran. Wahid Hasyim secara jelas menyimpulkan bahwa metode bndongan membuat santri pasif.
            Berkaitan dengan peningkatan kebiasaan membaca dan kualitas pengetahuan siswa, Wahid Hasyim mendirikan sebuah perpustakaan. Buku yang tersedia berjumlah kurang lebih 1000 judul yang terdiri dari buku-buku teks dan karya-karya ilmiah populer baik ditulis dalam bahasa Arab, Inggris, Belanda dan Indonesia dan Jawa. Ia juga berlangganan beberapa majalah dan surat kabar, diantaranya Panjiman, dewan Islam, Islam bergerak, Adil, Nurul, Islam, al-Munawwarah, Berita Nahdlatul Ulama, Panji Pustaka, Pustaka Timur, Pudjangga Baru dan Penjebar semangat.
            Manajemen perpustakaan dikelola sepenuhnya oleh para siswa yang terikat dalam IKPI (Ikatan Pelajar-pelajar Islam), sebuah organisasi yang dibentuk oleh Wahid Hasyim. Dengan demikian siswa secara langsung untuk mengelola organisasi dan meningkatkan skill mereka dalam bidang administrasi.
            Pada masa itu sangat sulit sekali untuk menentukan tipe sekolah apa yang dijadikan model bagi Madrasah Nizamiyah. Kreasi yang dikembangkan oleh Wahid Hasyim itu sendiri disebabkan karena tidk ada kemiripan tipe institusi pendidikan yang dibangun di Indonesia sebelum berdirinya Madrasah Nizamiyah
            Dari nama yang dijadikan model, dapat diasumsika bahwa Wahid Hasyim mencoba membangun sebuah institusi meniru model institusi yang didirikan oleh pemimpin Saljuk, Nizam al- Mulk (485/1092), yaitu madrasah Nizamiyah di Baghdad, sama halnya dengan pendidikan pada masa itu, madrasah  Nizamiyah di Bagdad mengajarkan tidak hanya pelajaran agama, tetapi juga tentang pengetahuan Yunani, khususnya filsafat juga diajarkan. Institusi tersebut juga menyediakan beberapa fasilitas pendidikan seperti perpustakaan. Dari sudut pandang kurikulum, pelajaran agama dan umum, dan fasilitas yang tersedia dapat diambil kesimpulan bahwa Wahid Hasyim mencoba meniru sistem yang diterapkan Madrasah Nizamiyah di Bagdad untuk sistem pendidikan yang didirikan di Tebuireng.
            M. Ilyas adalah Sepupu Wahid Hasyim,mengutarakan pandangannya terhadap ide pembaharuan yang diajukan Wahid Hasyim. Sebagai lulusan HIS, M. Ilyas mempunyai pengalaman dengan sistem pendidikan Barat yang memasukan ilmu pengetahuan sekuler, yang kemudian dikenalkan kepada para santri di Tebuireng ketika ia datang dalam rangka mendalami pengetahuan agamanya pada tahun 1920-an. Bisa jadi benar bahwa Wahid Hasyim mengetahui manfaat ilmu pengetahuan yng dikenal oleh saudara sepupunya dan memotivasi dirinya, terlebih setelah ia mampu  membaca huruf latin. Untuk menuntut ilmu pengetahuan  baik yang ditulis dalam bahasa Indonesia, Arab, Inggris dan Belanda. Penjelasan ini dapat menerangkan adanya peniruan model sekolah Barat yang dilakukan oleh Wahid Hasyim bagi institusi pendidikannya yang baru. Namun,  sejak tidak adanya mata pelajaran agama dalam kurikulum sekolah Barat, sedangkan Pesantren hanya memuat pelajaran agama, maka dapat disimpulkan bahwa sistem pendidikan yang ditawarkan Wahid hasyim merupakan model yang unik, yakni model pendidikan yang cukup modern yang mengambungkan dengan model yang di pesantren dengan model yang dikembangkan di sekolah Barat.
            Pembaharuan pendidikan yang digagas oleh Wahid Hasyim tidak luput dari kritik yang tajam dari para ulama dan masyarakat. Ide pembaharuan Wahid Hasyim sering menjadi sasaran kritik yang dilontarkan ulama sebagai upaya mencampuradukan ajaran agama yang suci dengan ilmu-ilmu keduniawian yang mana ilmu-ilmu sekuler tersebut masih diaggap sebagai produk bangsa kolonial. Pada akhirnya, walaupun memakn waktu yang cukup lama, Wahid Hasyim mampu menyakinkan mereka akan manfaat yang akan diperoleh dengan ide pembaharuannya tersebut. Setiap ada kesempatan, ia selalu menggunakannya untuk menjelaskan tujuan dan keuntungan dari ide pembaharuannya. Sebagai bukti, ia menunjukan hasil yang positif dari sistem baru tersebut,menunjukan kemanpuan yang dimiliki para siswa-siswanya, termasuk dalam penggunaan ilmu agama dan sekuler sekaligus kemampuan berbahasa asing yang belajar di Madrasah Nizamiyah. Melalui upaya penyadaran tersebut, kiai dan masyarakat secara perlahan dapat memahami dan menerima gagasan Wahid Hasyim tersebut.
            Keberhasilan Madrasah Nizamiyah sebagai pilot project dalam memodernisasi pesantren merupakan langkah awal bagi Wahid Hasyim dalam mengembangkan reformasi pendidikan dikalangan kaum tradisional. Sejak beberapa kiai mengadopsi sistem madrasah di pesantrennya, kurikulum yang ditetapkan bervariasi disesuaikan dengan keahlian yang dimiliki oleh pesantren tersebut dan tersedianya guru.
Banyak keputusan yang dihasilkan oleh panitia ini, yang kemudian diimplementasikan oleh Wahid Hasyim ketika ia memimpin Departemen Pendidikan di NU (Ma’arif) pada tahun 1940. Salah satu keputusan yang dihasilkan adalah adanya kategori Madrasah NU sebagaimana sebagai berikut:
1.      Madrasah Umum
a.       Madrasah Awaliyah (2 tahun masa belajar)
b.      Madrasah Ibtidaiyah (3 tahun masa belajar)
c.       Madrasah Tsanawiyah (3 tahun masa belajar)
d.      Madrasah Mu’allimin Wusta
e.       Madrasah Mu’allimin ‘Ulya
2.      Madrasah Ikhtisasiyah (sekolah dengan keahlian khusus)
a.       Madrasah Qudat (hukum)
b.      Madrasah Tijarah ( ekonomi)
c.       Madrasah Nijarah ( kehutanan)
d.      Madrasah Zira’ah ( pertanian)
Dari beberapa kategori hanya kategori yang pertama yang dapat dijalankan, kategori kedua belum bisa dilaksanakan karena terbatasnya ahli yang dimiliki oleh NU dalam bidang tersebut. Dan kurikulumnya ditentukan oleh Departemen Pendidikan NU.
Usaha pembaharuan pendidikan Wahid Hasyim sempat berhenti beberapa tahun karena alasan politik, tetapi setelah masa Jepang dan masa perang kemerdekaan lewat, Wahid Hasyim kembali berkiprah daam dunia pendidikan, yakni terlibat dalam upaya peningkatan pendidikan umat islam pada awal tahun 50-an. Penunjukan Wahid Hayim sebagai menteri agama dalam tiga kabinet, yakni kabinet Hatta, Natsir dan Sukiman, secara terus menerus.

Musibah KH. Abdullah Wahid Hasyim
Wahid Hasyim mengembuskan napas terakhir akibat kecelakaan sehari sebelumnya di Jawa Barat. Inilah momen yang tidak pernah lepasndari benak anak sulungnya, Abdurahman ad-Dachil alias Gus Dur. Saat itu ia masih berusia 13 tahun, menjadi saksi sekaligus korban kecelakaan. Gus Dur bertahan, bahkan turut menjaga sampai ada pertolongan.
Musibah ini berawal dari rencana Wahid menghadiri rapat Nahdlatul Ulama di Sumedang, Jawa Barat, Sabtu, 18 April 1953. Perjalanan menggunakan mobil Chevrolet putih milik Wahid yang dihela sopir dari Harian Pemandangan . Gus dur kecil duduk di depan, ayahnya di jok belakang bersama Argo Sutjipto, Sekretaris Jenderal Majalah Gema Muslimin
Pukul satu siang, sampailah mereka di Cimindi. Hujan deras membuat  licin jalan yang ramai itu. Ban Chevrolet selip dan sang sopir tak mampu mengendalikannya. Mobil melaju zigzag. Di depan, sebuah truk mengerem. Bagian belakang mobil wahid membentur truk itu dengan keras.
Sopir dan Gus Dur selamat. Tapi, Wahid Hasyim terpelanting keluar  dan jatuh di bawah truck, Argo turut terlontar keluar. Wahid hasyim terluka parah di bagian kening, mata, pipi, leher dan langsung pigsan seketika.
Lokasi kejadian jauh dari permukiman sehingga pertolongan datang terlambat. Mobil ambulans baru tiba sekitar 3 jam sesudahnya, kedua korban parah diangkat ke Cimahi, kemudian dilarikan ke Rumah Sakit Borromeus, Bandung.
Mendengar kabar itu, istri Wahid Hasyim segera menyusul ke Bandung. Residen Priangan menengok ke rumah sakit. Beberapa alim ulama datang membawa surat Gubernur Jawa Barat untuk pengurus rumah sakit dengan pesan agar Wahid diurus sebaik-baiknya. Tapi maut datang lebih cepat. Argo meninggal pukul 6 sore pada hari kecelakaan. Wahid menyusul pukul 10:30 keesokan harinya. Ahad siang itu juga jenazah Wahid ke Jakarta.
Wahid meninggal pada usia 39 tahun. Duka dan rasa kehlangan terlihat dari suasana perkabungan. Rumah duka di Taman Matraman Barat, sekarang Taman Amir Hamzah  di Jakarta Pusat. Dipenuhi khalayak yang bertakziah sejak jenazah tiba dari Banung sore hari.  Selain masyarakat umum dan alim ulama, tercatat sejumlah pejabat melayat, seperti wakil Perdana Mentri Prawoto, ketua Parlemen Mr Sartono, Menteri Keshatan Dr Leimena, ketua Partai, pemerintah Jakarta, juga perwakilan kedutaan asing.
Kawasan Matraman kian sesak esok paginya saat jenazah akan diterbangkan ke Jawa Timur. banyak yang ingin mengantar sampai Lapangan Terbang Kemayoran. Mobil Buick yang menyangkut jenazah berjalan pelan menembus kerumusan, dikawal barisan polisi bersepeda motor, iring-iringan mobil dam barisan Anshor dari NU.

Setelah upacara penyambutan di Lapangan Terbang perak, Surabaya, jenazah dibawa ke Komplek Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, tempat jenazah akan dimakamkan. Untuk mengangkutnya digunakan mobil ambulans Angkatan Darat Divisi Brawijaya dengan iringan pengawal dan pengantar yang pangjangnya mencapai 2 kilometer.
Rombongan jenazah berjalan pelan karena besarnya perhatian masyarakat. Orang menunggu di pinggir jalan untuk memberi penghormatan terakhir.
Aksi masyarakat ini berulang di kota-kota kecil antara Surabaya dan Jombang. Panitia penyambutan terpaksa menolak permintaan serupa karena takut kemalaman. Akhirnya rombongan baru sampai tujuan sekitar pukul 2 siang dengan ribuan orang menunggunya.
Para pelayat kemudian bergantian salat jenazah, hingga selesai sekitar pukul 4 sore. Proses pemakaman selesai menjelang senja. Di Tebuireng. dikawasan yang diperjuangkan ayahnya. KH. M. Hasyim Asy’ari, sebuah daerah hitam yang kemudan menjadi pusat syiar agama, jenazah Wahid dikebumikan. Ribuan orang mengiringi kepergiannya dengan doa. Sampai beberapa hari sesudah pemakaman, di lokasi yang sama masuh ada kerumunan orang yang berdoa untuknya.
           


Kesimpulan
KH. Abdul Wahid Hasyim merupakan salah satu pemikir pendidikan Islam sekaligus praktisi pendidikan Islam utamanya dalam bidang pondok pesantren. Ia menjadi pengasuh pondok pesantren Tebuireng selama 13 tahun (1947-1950). Semasa hidupnya beliau juga banyak berjasa terhadap dunia pendidikan Islam Indonesia, ia mendirikan Pendidikan Guru AgamaNegeri (PGAN). Jasa lainnya ialah pendirian Sekolah Tinggi Islam di Jakarta (tahun 1944), lalu pada tahun 1950 memutuskan pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kini menjadi IAIN/UIN/STAIN. Selain aktif di dunia pendidikan pesantren KH. Abdul Wahid Hasyim juga aktif di organisasi kemasyarakatan dan partai politik. Pada masa kemerdekaan ia termasuk salah satu founding father bangsa Indonesia. Ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Negara (1945), dan Menteri Agama pada tahun 1950-1952. KH. Abdul Wahid Hasyim merupakan satu-satunya Menteri di Indonesia yang tidak pernah mengenyam pendidikan secara formal.
Dalam pendidikan, keterlibatan Wahid Hasyim dalam proses belajar mengajar dan hasil kontaknya dengan koleganya  baik dari kalangan mdern maupun kalangan sekunder, menyadarkan is bahwa NU pada waktu itu sangat kekurangan orang-orang intelektual, sebagaimana dikatakannya: “menemukan orang akademisi pada bidang non agama di lingkungan NU bagaikan menemukan penjual es pada pukul satu malam hari”. Hal ini dikarenakan sistem pendidikan di pesantren hanya mengajarkan ilmu agama saja. Inilah yang menginspirasikan Wahid Hasyim untuk meningkatkan sistem pendidikan di Pesantren melalui pengenalan, misalnya metode tutorial yang di pandang lebih efektif, memberikan mata pelajaran ilmu pengetahuan yang sekuler dan membentuk sistem pendidikan yang baru yanf dinamakan Madrasah. Tujuan dari pembaharuan adalah meningkatkan kualitas lulusan pesantren agar mereka dapat bersaing dengan koleganya, lulusan sekolah sekuler.
Pilot projeck-nya adalah memodernisasi sitem pendidikan pesantren dengan mendirikan Madrasah Nizamiyah di Tebuireng, dimana kedua ilmu agama dan sekuler diajarkan bersama-sama. Keberhasilan tersebut merupakan langkah awal baginya dalam pengembangan institusi pendidikan diseluruh tanah air. Wahid Hasyim sadar hal itu sangat sulit dilaksanakan karena adanya resistensi dari para kiai yang mempunyai otoritas penuh terhadap pesantren. Oleh karena itu ia menyadari bahwa ia harus melakukan sesuatu agar mereka sadar arti pentingnya pembaharuan dan sebagai bukti, ia menunjukan keberhasilan madrasahnya dalam membekali siswanya dengan berbagai keterampilan. Aspek yanng paling penting dari penerapanide-idenya adalah Wahid Hasyim tidak menghilangkan keberadaan pesantren, tetapi ia berusaha mempertahankannya dan memodernisasi sitemnya yang dirsakan dapat meningkatkan keterampilan santrinya.
Wahid Hasyim juga mendirikan Institusi profesional bagi guru agama dan perguruan tinggi agama. Berdirinya kedua institusi tersebut sangat signifikan sebab yang pertama dibentuk dengan tujuan membekali siswa kemampuan mengajar dengan metode yang modern, sedangkan yang kedua adalah institusi dimana lulusan madrasah dapat melanjutkan program pendidikan yang lebih tinggi. Pada saat yang sama, ia juga menginstruksikan untuk memberikan pelajaran sekuler kepada siswa madrasah dengan harapan mereka dapat mengembangkan bukan hanya kemampuan spiritualnya semata, tetapi juga kemampuan itelektualnya. dengan terbentuknya sistem pendidikan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Wahid Hasyim merupakan jembatan penghubung yang menjembatani dua sistem pendidikan, pesantren dan sekolah, dengan harapan keduanya akan bermanfaat bagi pembangunan Indonesia.
Berkaitan dengan aktivitas politiknyam Wahid Hasyim mempunyai peran yang penting dalam perjuangan merebut kemerdekaan dan pembentukan negara Republik Indonesia. Disegani baik oleh kawan dan lawannya sebagai pemimpin yang cakap, Wahid Hasyim mampu membangan jaringan Pesantren yang digunakan sebagai alat, bersama-sama dengan kelompok pemerintahan kononial, khususnya pada masa jepang ia sangat cerdik dalam membuat manuver terhadapa pemerintahan Jepang untuk memberikan fasilitas yang dapat digunakan untuk  memepersiapkan kader-kader yang siap berjuang merebutkemerdekaan dan kemudian dimanfaatkan melawan Belanda ketika mereka ingin menjajah kembali Indonesia.
Penunjukan kannya sebagai anggota BPUPKI yang menghasilkan Piagam Jakarta, merupakan bukti kemampuannya dalam meyakinkan orang untuk kompromi. Meskipun ia dapat dikatakan sebagai orang fundamentalis karena usulannya bahwa kata-kata “dengan kewajiban menjalankan syari’ah Islam bagi pemeluknya”.harus dimasukan dalam masalah dan kata-kata “ Presiden harus orang Muslim” begitu juga “agama resmi negara adalah agama Islam, “harus dimasukkan dalam pasal 6 atang tubuh UU. Dapat dibantah bahwa ia tidak pernah memaksakan usulannya kepada yang lainnya. Kenyataannya, ia masih terbuka untuk menerima perubahan, khususnya etika panitia mengamandemen dan akhirnya membuang usulannya yang telah disepakati hanya karena agara lebih akomodatif bagi seluruh rakyatn Indonesia yang terdirir dari berbagai agama dan pandangan tentang Islam.
Dilihat dari Perspektif ini, kecurigaan sarjana dari kalangan modernis dan Barat yang melihar ulama tradisional sebagai kaum yang otodoks, konservatif dan resisten terhadap segala hal yang baru dan penolakan terhadap sumbangansih NU terhadapat perjuangan kemerdekaan Indonesia, sudah seharusnya dipertanyakan.
Pembaharuan pendidikan yang dilakukan KH. Abdul Wahid Hasyim meliputi:
a.       Pembaharuan metode pembelajaran, dari Bandongan ke tutorial
b.      Mendirikan instistusi Madrasah Nidzomiyah yang menggunakan sistem pendidikan modern dengan menerapkan sistem klasikal dilingkungan pesantren.
c.       Mencetak santri yang tidak hanya religius tetapi juga berwawasan kebangsaan.
d.      Mendirikan perpustakaan di lingkungan pesantren.
Relevansi pemikiran pembaharuan pendidikan pesantren KH. Abdul Wahid Hasyim dengan pendidikan pesantren KH. Abdul Wahid Hasyim dengan pendidikan pesantren di Indonesia masa sekarang adalah sangat relevan. Hal ini disebabkan karena KH. Abdul Wahid Hasyim meletakkan dasar penting bagi pendidikan sistem klasikal di lingkungan pesantren, mendirikan perpustakaan yang tidak hanya berisikan buku-buku agama namun juga pengetahuan umum serta pencetus awal pendirian madrasah formal di lingkungan pesantren yakni Madrasah Nidhomiyah.












DAFTAR PUSTAKA
Aboe, Bakar. 2011. Sejarah Hidup KH.A Wahid Hasyim .Jakarta: Mizan
Baskoro, dkk. 2011. Wahid hasyim Untuk Republik dari Tebuireng. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia dan Majalah Tempo
Bashri, Yanto. Dkk. 2005. Sejarah Tokoh Bangsa. Yogyakarta: Pustaka Toko Bangsa
 Putra, Haidar, Daulany, 2009. Sejarah Pertumbuhan dan pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24748/3/SYAFIQ%20AKHMAD%20MUGHNI-FITK.pdf ( diakses 22/11/2016, 14: 49)

ILMU KALAM

  ILMU KALAM Disusun Untuk Memenuhi Matakuliah Ikmu kalam Dosen pengampu :Ismail, S,Pdi,M.Pd.I     Disusun Oleh : Nyemas u...