PEMIKIRAN PENDIDIKAN MENURUT KH. ABDUL WAHID HASYIM
A.
Kelahiran KH. Abdul Wahid Hasyim
Kelahiran KH. Abdul Wahid Hasyim
N
|
ama KH. Abdul
Wahid Hasyim barangkali identik dengan tokoh-tokoh muda yang mempunyai prestasi
yang luar biasa, dimana pada masa peralihan penjajahan Jepang menuju kemerdekaan
Indonesia mempunyai posisi yang sangat vital, ketika itu gonjang-ganjing
perselisihan antara kekuatan muda dan kekuatan kaum tua yang di wakili
Soekarno, sementara semangat untuk mendirikan ideologi Negara masih menjadi perselisihan
antara golongan nasionalis dan agama, yang pada akhirnya di menangkan golongan
nasionalis, dalam hal ini KH. Abdul wahid Hasyim termasuk kelompok yang
menghendaki agar negara yang dibentuk berdasarkan Islam mengingat Islam agama
mayoritas penduduk Indonesia, tetapi Islam bukan harga mati bagi Wahid Hasyim,
ia terbukti menerima setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia KH. Abdul Wahid
Hasyim salah satu perwakilan dari golongan Islam menerima. KH. Abdul Wahid
Hasyim adalah salah satu dari sedikit tokoh NU yang menonjol dan ketokohannya
tidak hanya diakui kalangan NU, tetapi juga kalangan diluar NU. Ada beberapa
faktor yang menyebabkan ia menjadi seperti itu, selain karena putra KH Hasyim
Asyari, ia juga lebih dikenal-sangat cerdas dan gemar sekali membaca. Berkat
kecerdasan dan kegemarannya tersebut ia mempunyai pemikiran yang maju terlebih
jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh NU pada masa itu. Ia mampu mengikuti perkembangan
yang terjadi sehingga dapat “duduk sejajar” dengan tokoh-tokoh nasional yang
mendapat kesempatan belajar di bangku sekolah modern (Yanto dan Retno,
2009:409).
KH. Abdul Wahid Hasyim adalah putra dari pasangan KH. M. Hasyim
Asy’ari-Nyai Nafiqah binti Kiai Ilyas (Madiun) yang di lahirkan pada Jum’at
legi, 5 Rabi’ul Awal 1333 H./1 Juni 1914 M. Ayahandanya semula memberinya nama
Muhammad Asy’ari, diambil dari nama kakeknya. Namun, namanya kemudian diganti
menjadi Abdul Wahid, diambil dari nama datuknya. Dia anak kelima dan anak
laki-laki pertama dari 10 bersaudara.
Silsilah
Keluarga
KH. Abdul Wahid
Hasyim merupakan salah seorang dari sepuluh keturunan langsung KH. Hasyim
Asy’ari. Ulama yang termasyhur dan pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi
keagamaan yang terbesar di Indonesia. Silsilah dari jalur ayah ini bersambung
hingga Joko Tingkir, tokoh yang kemudian lebih dikenal dengan Sultan Hadiwijaya
yang berasal dari kerajaan Demak. Sedangkan dari pihak ibu, silsilah itu betemu
pada satu titik, yaitu Sultan Brawijaya V, yang menjadi salah satu raja
Kerajaan Majapahit. Sultan Brawijaya V ini juga dikenal dengan sebutan Lembu
Peteng (Amin, 2010:65). Ketika menginjak usia 25 tahun, KH. Abdul Wahid
mempersunting gadis bernama Solichah, putri KH. Bisri Syansuri, yang pada waktu
itu baru berusia 15 tahun. Pasangan ini dikarunai enam anak putra, Putra-putri
KH.Abdul Wahid
Hasyim kemudian tumbuh dan berkembang menjadi tokoh dan miniatur dari Indonesia
dengan lingkungan yang berbeda-beda, putra Pertama, Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) adalah salah satu mantan presiden RI yang ke-4, sosoknya yang penuh
kontroversi. Kedua, Aisyah Hamid Baidlowi menjadi politisi Partai
Golkar. Ketiga, KH Salahuddin
Wahid
penjelajah lintas ilmu disiplin ilmu dan aktivis HAM dan kini menjadi pengasuh
pondok pesantren Tebuireng. Keempat dr. umar Wahid seorang dokter
professional murni. Kelima, Lily Chotijah Wahid kini menjadi anggota
legeislatif dari PKB (Risalah, 1430 H:77).
Menuntut Ilmu
Sejak kecil Abdul Wahid sudah masuk Madrasah Tebuireng dan sudah
lulus pada usia yang sangat belia, 12 tahun. Selama bersekolah, ia giat
mempelajari ilmu-ilmu kesustraan dan budaya Arab secara outodidak. Dia juga
mempunyai hobi membaca yang sangat kuat. Dalam sehari, dia membaca minimal lima
jam. Dia juga hafal banyak syair Arab yang kemudian disusun menjadi sebuah
buku. Ketika berusia 13 tahun, Abdul Wahid mulai melakukan
pengembaraan mencari ilmu. Awalnya ia belajar di Pondok Siwalan, Panji,
Sidoarjo. Di sana ia mondok mulai awal Ramadhan hingga tanggal 25 Ramadhan
(hanya 25 hari). Setelah itu pindah ke Pesantren Lirboyo, Kediri, sebuah
pesantren yang didirikan oleh KH. Abdul Karim, teman dan sekaligus murid
ayahnya. Antara umur 13 dan 15 tahun, pemuda Wahid menjadi Santri Kelana,
pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Tahun 1929 dia kembali ke
pesantren Tebuireng.
Ketika kembali
ke Tebuireng, umurnya baru mencapai 15 tahun dan baru mengenal huruf latin.
Dengan mengenal huruf latin, semangat belajarnya semakin bertambah. Ia belajar
ilmu bumi, bahasa asing, matematika, dll. Dia juga berlangganan koran dan
majalah, baik yang berbahasa Indonesia maupun Arab. Pemuda Abdul Wahid mulai belajar Bahasa Belanda ketika
berlangganan majalah tiga bahasa, ”Sumber Pengetahuan” Bandung. Tetapi dia
hanya mengambil dua bahasa saja, yaitu Bahasa Arab dan Belanda. Setelah itu dia
mulai belajar Bahasa Inggris. Pada tahun 1932,
ketika umurnya baru 18 tahun, Abdul Wahid pergi ke tanah suci Mekkah bersama
sepupunya, Muhammad Ilyas. Selain menjalankan ibadah haji, mereka berdua juga
memperdalam ilmu pengetahuan seperti nahwu, shorof, fiqh, tafsir, dan hadis.
Abdul Wahid menetap di tanah suci selama 2 tahun.
Memimpin Pondok Pesantren Tebuireng
Wahid Hasyim saat
berusia 20 tahun
|
Sepulang dari tanah suci, KH. Abdul Wahid (biasa dipanggil KH. Wahid Hasyim) bukan hanya membantu ayahnya mengajar di pesantren, tapi juga terjun ke tengah-tengah masyarakat. Ketika usianya menginjak 20-an tahun.
Kiai Wahid
mulai membantu ayahnya menyusun kurikulum pesantren, menulis surat balasan dari
para ulama atas nama ayahnya dalam Bahasa Arab, mewakili sang ayah dalam
berbagai pertemuan dengan para tokoh.
Bahkan ketika ayahnya sakit, ia menggantikan membaca kitab Shahih
Bukhari, yakni pengajian tahunan yang diikuti oleh para ulama dari berbagai
penjuru tanah Jawa dan Madura.
Dengan bekal keilmuan yang cukup, pengalaman yang luas serta
wawasan global yang dimilikinya, Kiai Wahid mulai melakukan terobosan-terobosan
besar di Tebuireng. Awalnya dia mengusulkan untuk merubah sistem klasikal
dengan sistem tutorial, serta memasukkan materi pelajaran umum ke pesantren.
Usul ini ditolak oleh ayahnya, karena khawatir akan menimbulkan
masalah antar sesama pimpinan pesantren. Namun pada tahun 1935, usulan Kiai
Wahid tentang pendirian Madrasah Nidzamiyah, dimana 70% kurikulumnya berisi
materi pelajaran umum, diterima oleh sang ayah.
Madrasah Nidzamiyah bertempat di serambi masjid Tebuireng. Siswa
pertamanya berjumlah 29 orang, termasuk adiknya sendiri, Abdul Karim Hasyim.
Dalam bidang bahasa, selain materi pelajaran Bahasa Arab, di Madrasah
Nidzamiyah juga diberi pelajaran Bahasa Inggris dan Belanda.
Untuk melengkapi khazanah keilmuan santri, pada tahun 1936, Kiai Wahid mendirikan Ikatan Pelajar Islam yang kemudian diikuti dengan pendirian taman bacaan (perpustakaan) yang menyediakan lebih dari seribu judul buku.
Untuk melengkapi khazanah keilmuan santri, pada tahun 1936, Kiai Wahid mendirikan Ikatan Pelajar Islam yang kemudian diikuti dengan pendirian taman bacaan (perpustakaan) yang menyediakan lebih dari seribu judul buku.
Perpustakaan Tebuireng juga berlangganan majalah seperti Panji
Islam, Dewan Islam, Berita Nahdlatul Ulama, Adil, Nurul Iman, Penyebar
Semangat, Panji Pustaka, Pujangga Baru, dan lain sebagainya. Langkah ini
merupakan terobosan besar yang saat itu belum pernah dilakukan pesantren
manapun di Indonesia.
Pada tahun 1947, ketika sang ayah meningal dunia, Kiai Wahid
terpilih secara aklamasi sebagai pengasuh Tebuireng. Pilihan ini berdasarkan
kesepakatan musyawarah keluarga Bani Hasyim dan Ulama NU Kabupaten Jombang.
Terpilihnya Kiai Wahid sebenarnya sekadar ”formalisasi”, karena kenyataannya
beliau sudah lama ikut membantu sang ayah mengelola Tebuireng.
Pada tahun 1950, Kiai Wahid diangkat menjadi Menteri Agama dan pindah ke Jakarta. Keluarga Kiai Wahid tinggal di Jl. Jawa (kini Jl. HOS Cokroaminoto) No. 112, dan selanjutnya pada tahun 1952 pindah ke Taman Matraman Barat no. 8, di dekat Masjid Jami’ Matraman.
Pada tahun 1950, Kiai Wahid diangkat menjadi Menteri Agama dan pindah ke Jakarta. Keluarga Kiai Wahid tinggal di Jl. Jawa (kini Jl. HOS Cokroaminoto) No. 112, dan selanjutnya pada tahun 1952 pindah ke Taman Matraman Barat no. 8, di dekat Masjid Jami’ Matraman.
Pernikahan KH. Abdul Wahid Hasyim
KH. Abdul Wahid
Hasyim dan Solehah. Menikah pada usia 24 tahun
|
Ada peristiwa
menarik dalam prosesi pernikahan ini. Mempelai lelaki hanya berangkat seorang
diri ke Denanyar. Kiai Wahid datang hanya memakai baju lengan pendek dan
bersarung. Tidak ada yang mengiringinya. Bukan tidak ada yang mau mengantar,
akan tetapi Kiai Wahid sendiri yang meninggalkan para pengiringnya di belakang
Dari pernikahan
itu, pasangan Wahid-Sholichah dikaruniai enam orang putra-putri, yaitu
Abdurrahman, Aisyah, Salahuddin, Umar, Lily Khodijah, dan Muhammad Hasyim.
Masuk NU
Di tengah-tengah kesibukannya mengelola Tebuireng, Kiai Wahid aktif menjadi pengurus NU (1938). Karier di NU dimulai dari bawah. Mula-mula menjadi Sekertaris NU Ranting Cukir, kemudian tahun 1938 terpilih sebagai Ketua Cabang NU Kabupaten Jombang.
( Rekan Kerja bersama Jepang dalam organisasi)
Lalu tahun 1940
masuk kepengurusan PBNU bagian ma’arif (pendidikan). Di tubuh Ma’arif NU, Kiai
Wahid mengembangkan dan melakukan reorganisasi terhadap madrasah-madrasah NU di
seluruh Indonesia. Kiai Wahid juga giat mengembangkan tradisi tulis-menulis di
kalangan NU, dengan menerbitkan Majalah Suluh Nahdlatul Ulama. Beliau juga
aktif menulis di Suara NU dan Berita NU. Tahun 1946 Kiai Wahid terpilih sebagai
Ketua Tanfidiyyah PBNU menggantikan Kiai Achmad Shiddiq yang meninggal dunia.
Nahdlatul ‘Ulama
Telah
kita ketahui bahwa KH. Abdul Wahid Hasyim adalah anak Dari seorang tokoh yang
terkenal yaitu Hasyim Asy’ari dan Nyai
Nafiqoh binti M. Ilyas. Namun dibalik ketenaran yang ia punyai, ia bertekat
tidak ingin melibatkan ketenaran yang ia miliki untuk masuk Nahdlatul Ulama. Ia
tinggalkan soall perasaan dan pertimbangan keturunan. Akibatnya butuh 4 tahun
bagi dia untuk menimbang, melihat dan mendengarkan organisasi seta perhimpunan
mana yang akan ia masuki sebagai srana perjuangan menyebarkan dan menegakkan
nilai-nilai agama. Sepulang dari mekkah, April 1934, Wahid Hasyim menerima
tawaran masuk berbagai organisasi termasuk Nahdlatul Ulama.
Ada beberapa anggapan lain yang menjadi kendala minat masyarakat bergabung dengan Nahdlatul Ulama. Sebagai organisasi berbasis tradisional, Nahdlatul Ulama dipandang terlaly disiplin soal agama dan Moral. Menurut Wahid Hasyim, tuntunan kepada anggotanya supaya berdisiplin menjalankan kewajiban agama dianggap menakutkan dan menghalangi orang terutama pemuda, masuk Nahdlatul Ulama.
(kantor pengurus Besar Nahdlatul Ulama )
Organisasi ini mampu menjalar cepat dan menjangkau 60% wilayah
Indonesia hanya dalam kurun waktu 10 tahun. Pada saat yang sama, perhimpunan
lain hanya bisa mengembangkan 20 cabangg di tempat berdekatan. Menurut dia,
berjuang dalam perhimpunan bukan soal gagah-gagahan dengan label radikal dan
intelek, tapi harus melihat hasil akhir perjuangannya.
Mendirikan Masyumi
Pada bulan
November 1947, Wahid Hasyim bersama M. Natsir menjadi pelopor pelaksanaan
Kongres Umat Islam Indonesia yang diselenggarakan di Jogjakarta. Dalam kongres
itu diputuskan pendirian Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebagai
satu-satunya partai politik Islam di Indonesia. Ketua umumnya adalah ayahnya
sendiri, Kiai Hasyim Asy’ari. Namun Kiai Hasyim melimpahkan semua tugasnya
kepada Wahid Hasyim.
Dia dalam
Masyumi tergabung tokoh-tokoh Islam nasional, seperti KH. Wahab Hasbullah, KH.
Bagus Hadikusumo, KH. Abdul Halim, KH. Ahmad Sanusi, KH. Zainul Arifin,
Mohammad Roem, dr. Sukiman, H. Agus Salim, Prawoto Mangkusasmito, Anwar
Cokroaminoto, Mohammad Natsir, dan lain-lain.
Sejak awal
tahun 1950-an, NU keluar dari Masyumi dan mendirikan partai sendiri. Kiai Wahid
terpilih sebagai Ketua Umum Partai NU. Keputusan ini diambil dalam Kongres
ke-19 NU di Palembang (26-April-1 Mei 1952). Secara pribadi, Kiai Wahid tidak
setuju NU keluar dari Masyumi. Akan tetapi karena sudah menjadi keputusan
bersama, maka Kiai Wahid menghormatinya. Hubungan Kiai Wahid dengan tokoh-tokoh
Masyumi tetap terjalin baik
Pahlawan Nasional
Pada tahun
1939, NU masuk menjadi anggota Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI), sebuah
federasi partai dan ormas Islam di Indonesia. Setelah masuknya NU, dilakukan
reorganisasi dan saat itulah Kiai Wahid terpilih menjadi ketua MIAI, dalam
Kongres tanggal 14-15 September 1940 di Surabaya.
Di bawah
kepemimpinan Kiai Wahid, MIAI melakukan tuntutan kepada pemerintah Kolonial
Belanda untuk mencabut status Guru Ordonantie tahun 1925 yang sangat membatasi
aktivitas guru-guru agama. Bersama GAPI (Gabungan Partai Politik Indonesia) dan
PVPN (Asosiasi Pegawai Pemerintah), MIAI juga membentuk Kongres Rakyat
Indonesia sebagai komite Nsional yang menuntut Indonesia berparlemen.
Menjelang
pecahnya Perang Dunia ke-II, pemerintah Belanda mewajibkan donor darah serta
berencana membentuk milisi sipil Indonesia sebagai persiapan menghadapi Perang
Dunia. Sebagai ketua MIAI, Wahid Hasyim menolak keputusan itu. Ketika pemerintah Jepang membentuk Chuuo Sangi In, semacam DPR
ala Jepang, Kiai Wahid dipercaya menjadi anggotanya bersama tokoh-tokoh pergerakan
nasional lainnya, seperti Ir. Soekarno, Dr. Mohammad Hatta, Mr. Sartono, M.
Yamin, Ki Hajat Dewantara, Iskandar Dinata, Dr. Soepomo, dan lain-lain. Melalui
jabatan ini, Kiai Wahid berhasil meyakinkan Jepang untuk membentuk sebuah Badan
Jawatan Agama guna menghimpun para ulama. Pada
tahun 1942, Pemerintah Jepang menangkap Hadratusy Sayeikh Kiai Hasyim Asy'ari
dan menahannya di Surabaya. Wahid Hasyim berupaya membebaskannya dengan
melakukan lobi-lobi politik. Hasilnya, pada bulan Agustus 1944, Kiai Hasyim
Asy'ari dibebaskan. Sebagai kompensasinya, Pemerintah Jepang menawarinya
menjadi ketua Shumubucho, Kepala Jawatan Agama Pusat. Kiai Hasyim menerima
tawaran itu, tetapi karena alasan usia dan tidak ingin meninggalkan Tebuireng,
maka tugasnya dilimpahkan kepada Kiai Wahid.
Bersama para
pemimpin pergerakan nasional (seperti Soekarno dan Hatta), Wahid Hasyim
memanfaatkan jabatannya untuk persiapan kemerdekaan RI. Dia membentuk
Kementerian Agama, lalu membujuk Jepang untuk memberikan latihan militer khusus
kepada para santri, serta mendirikan barisan pertahanan rakyat secara mandiri.
Inilah cikal-bakal terbentuknya laskar Hizbullah dan Sabilillah yang, bersama
PETA, menjadi embrio lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pada tanggal 29
April 1945, pemerintah Jepang membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyooisakai atau Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan Wahid Hasyim
menjadi salah satu anggotanya. Dia merupakan tokoh termuda dari sembilan tokoh
nasional yang menandatangani Piagam Jakarta, sebuah piagam yang melahirkan
proklamasi dan konstitusi negara. Dia berhasil menjembatani perdebatan sengit
antara kubu nasionalis yang menginginkan bentuk Negara Kesatuan, dan kubu Islam
yang menginginkan bentuk negara berdasarkan syariat Islam. Saat itu ia juga
menjadi penasihat Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Di dalam
kabinet pertama yang dibentuk Presiden Sukarno (September 1945), Kiai Wahid
ditunjuk menjadi Menteri Negara. Demikian juga dalam Kabinet Sjahrir tahun
1946. Ketika KNIP dibentuk, Wahid Hasyim menjadi salah seorang anggotanya
mewakili Masyumi dan meningkat menjadi anggota BPKNIP tahun 1946.
Setelah terjadi
penyerahan kedaulatan RI dan berdirinya RIS, dalam Kabinet Hatta tahun 1950 dia
diangkat menjadi Menteri Agama. Jabatan Menteri Agama terus dipercayakan
kepadanya selama tiga kali kabinet, yakni Kabinet Hatta, Natsir, dan Kabinet
Sukiman.
Selama menjabat sebagai Menteri Agama RI, Kiai Wahid mengeluarkan tiga keputusan yang sangat mepengaruhi sistem pendidikan Indonesia di masa kini, yaitu :
Selama menjabat sebagai Menteri Agama RI, Kiai Wahid mengeluarkan tiga keputusan yang sangat mepengaruhi sistem pendidikan Indonesia di masa kini, yaitu :
1.
Mengeluarkan
Peraturan Pemerintah tertanggal 20 Januari 1950, yang mewajibkan pendidikan dan
pengajaran agama di lingkungan sekolah umum, baik negeri maupun swasta.
2.
Mendirikan
Sekolah Guru dan Hakim Agama di Malang, Banda-Aceh, Bandung, Bukittinggi, dan
Yogyakarta.
3.
Mendirikan Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN)
di Tanjungpinang, Banda-Aceh, Padang, Jakarta, Banjarmasin, Tanjungkarang,
Bandung, Pamekasan, dan Salatiga.
Jasa lainnya ialah pendirian Sekolah Tinggi Islam di Jakarta (tahun
1944), yang pengasuhannya ditangani oleh KH. Kahar Muzakkir. Lalu pada tahun
1950 memutuskan pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN)
Sejak didirikan PTAIN mengalami perkembangan pesat baik dari jumlah
mahasiswanya maupun dari keluasan bidang kajian ilmu agama Islam yang
dipelajari. 6 tahun kemudian tanggal 1 januari 1957, juga berdiri Akademi Dinas
Ilmu Agama (ADIA) sebagai kelanjutan usaha mendirikan sekolah Guru Agama atas
serta sekolah Guru dan Hakim Agama. Dari sini muncul pemikiran untuk
menggabungkan kedua lembaga itu ke dalam institut. Pada saat itu rancangan UU
Perguruan Tinggi hanya mengenal tiga bentuk: Universitas, institut dan
akademik. Kementrian Agama lantas membentuk panitia khusus yang diketuai RH
A,Soenarjo, SH, yang tugasnya menyiapkan penyelenggaraan Institut Agama Islam
Negeri (IAIN)
Serta mendirikan wadah Panitia Haji Indonesia (PHI). Kiai Wahid juga memberikan ide kepada Presiden Soekarno untuk mendirikan masjid Istiqlal sebagai masjid negara.
( Kampus IAIN Jakarta pada Tahun 1990 )
B.
Pembaruan Pendidikan Islam
Wahid memasukan pelajaran umum ke kurikulum pesantren, bagi dia, selepas mondok, seorang santri tak mesti menjadi ulama.
(kegiatan
belajar-mengajar di Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang)
Bahasa jerman di Pesantren
Wahid hasyim mendirikan adrasah yang 70% kurikulumnya berupa
pendidikan non-agama. Pelopor pendidikan modern di pesantren.
Madrasah Nizamiah yang dibentuk pada 1934, menjadi terobosan
pendidikan di kalangan NU karena untuk pertama kalinya ada pesantren yang mengembangkan
pendidikan umum sampai 70%. Lembaga pendidikan sebelumnya seperti Madrasah
Salafiyah, tempat Muchit Muzadi menuntut ilmu, yang berdiri pada 1916, hanya
mengajar kitab kuning. “ setelah Nizamiah dilebur, kami mendapat pelajaran
umum, seperti bahasa Indonesia,” katanya.
Saat itu belum ada pesantren dalam pendidikan seperti ini. Imam
kiai H. Imam Tauhid (87) mengatakan “pesantren yang pelajari pendidikan umum
pertama kali adalah Tebuireng”. selama 32 tahun mengurus kesepuhan Pondok
Pesantren Tebuireng. Kesepuh ini merupakan tempat Kiai H. Hasyim Asy’ari dan
keluarganya tinggal. “Gus Wahid dululah yang masukkan materi bahasa Jerman, bahasa Inggris, model
klasikal”. Saat Nizamiah dibuka, tidak banyak orang tua yang bersedia
mengirimkan anaknya ke madrasah ini. Orang tua Muchit Muzadi di antaranya.
Muchid kemudian mendaftar dan setelah dites, masuk kelas 3 Tsanawiyah di
Madrasah Salafiyah. Saat itu jumlah santri Tebuireng 2.000 orang. Tidak semua
santri mengambil kelas madrasah seperti Salafiyah atau Nizamiah. Berbeda dengan
para santri Tebuireng lin, muchid memperhatikan para murid Nizamiah tidak
merata asalnya. Saat itu gampang sekali membedakan asal para santri karena
pengelompokan asrama kampung asal
.
Ruangan kelas Nizamiah sekadar mengambil ruangan-ruangan yang ada
di Tebuireng. bangunnya sebagian sudah berdinding tembok, sebagian masih kayu.
Meski yang diajarkan berbeda, fasilitasnya tetap sama dengan kelas reguler
pesantren.
Penampilan para Murid Nizamiah juga tidak berbeda dengan warga
Tebuireng lain, bersarung dan berkopiah. Dimasa itu penampilan itu sangat
tertib. Sesuai dengan nama ‘Nizam’ artiny tertib.
Sebagai guru didatangkan dari luar Tebuireng, Wahid Hasyim ikut
turun tangan mengajar para santri di Nizamiah. Setelah Nizamiah dilebur, Wahid
Hasyim tidak pernah lagi mengajar di Tebuireng karena sibuk ke Surabaya,
berorganisasi di NU.
(SMP A.Wahid Hasyim)
Tapi Hasyim Asy’ari tidak setuju ada dua madrasah berbeda, Nizamiah
dan Salafiyah, di pesantrennya, karena itu Nizamiah dilebur sehingga hanya
menyisakan Salafiyah, madrasah yang jauh lebih tua. Murid-murid Nizamiah masuk
ke Salafiyah.
Muchid kemudian sekelas dengan santri bekas Nizamiah, termasuk yang
kemudian cukup top di NU, yakni KH Achmad shiddiq dan KH Shodiq Mahmud.
Bubarnya Nizamiah tidak berarti ide modernisasi di Tebuireng
berakhir. “setelah Nizamiah bubar dan dilebur ke Salafiyah. Di Salafiyah tampak
ada perubahan.” Kata Muchit.
Sejarah Pondok
Pesantren
Pesantren sebagai lembaga pendidikan tempat
pengajaran yang baru muncul pada akhir abad ke-18. Pesantren sebagai institusi
pendidikan Islam yang dinilai paling tua, pesantren juga memiliki akar sejarah
yang jelas. Tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren adalah Maulana Malik
Ibrahim, yang dikenal dengan Syaikh Magribi (Saifuddin Zuhri, 2010:134). Akan
tetapi data-data tentang bentuk institusi, materi, metode maupun secara umum
sistem pendidikan pesantren yang dibangun Syaikh Maghribi tersebut sulit ditemukan.
Pesantren dalam pengertian hakiki, sebagai tempat pengajaran para santri
meskipun bentuknya sangat sederhana, lebih dari itu kegiatan mengajar santri
menjadi bagian terpadu dari misi dakwahnya. Kalau berbicara tentang
perkembangan ajaran Islam dalam masyarakat Indonesia, maka perlibatan pesantren
menjadi suatu keniscayaan yang sama sekali tidak dapat diabaikan, pesantren
sejak awal kemunculannya memang tidak dapat dilepaskan dari masyarakat. Lembaga
ini tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat. Ia hadir untuk mengabdikan
dirinya mengembangkan dakwah Islam dalam pengertian luas. Pesantren telah
diakui sebagai lembaga yang telah ikut serta mencerdaskankan bangsa. Pesantren
merupakan suatu komunitas tersendiri, dimana kiai, ustad, santri dan pengurus
pesantren hidup bersama dalam satu lingkungan pendidikan berlandaskan
nilai-nilai agama Islam lengkap dengan norma-norma dan kebiasaannya. Pondok Pesantren
walaupun dikategorikan sebagai lembaga pendidikan tradisional mempunyai sistem
pengajaran, kurikulum tersendiri, dan itu menjadi ciri khas pondok pesantren
1.
Metode Pengajaran di Pesantren
Ada
beberapa metode pengajaran yang menjadi ciri utama pembelajaran di pondok
pesantren salafiyah.
a.
Bandongan
Metode
bandhongan dilakukan dengan cara kiai/guru membacakan teks-teks kitab
yang berbahasa Arab, menerjemahkan ke dalam bahasa lokal, dan sekaligus
menjelaskan maksud yang terkandung dalam kitab tersebut. Sedangkan santri
menyimak dan menulis arti kitab yang dibacakan oleh kiai. Dalam metode
bandongan ini, hampir tidak pernah terjadi diskusi antara kiai dan santri (Pradjarta,
1999:149-150). Metode Bandongan dilakukan oleh seorang kyai atau ustadz
terhadap sekelompok peserta didik atau santri, untuk mendengarkan dan menyimak
apa yang dibacanya dari sebuah kitab. Seorang kyai atau ustadz dalam hal ini
membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas teks-teks kitab
berbahasa Arab tanpa harakat (gundul). Sementara itu santri dengan
memegang kitab yang sama, masing-masing melakukan pendhabithan harakat,
pencatatan simbolsimbol kedudukan kata, arti-arti kata langsung dibawah kata
yang dimaksud, dan keterangan-keterangan lain yang dianggap penting dan dapat
membantu memahami teks. Posisi para santri pada pembelajaran
dengan
menggunakan metode ini adalah melingkari dan mengelilingi kyai atau ustadz
sehingga membentuk halaqah (lingkaran). Dalam penterjemahannya kyai atau
ustadz dapat menggunakan berbagai bahasa yang menjadi bahasa utama para
santrinya, misalnya: bahasa Jawa, Sunda, atau bahasa Indonesia.
b.
Sorogan
Sorogan,
berasal dari kata sorog (bahasa Jawa), yang berarti menyodorkan, yang
dimaksudnya disini menyodorkan kitab di hadapan kiai. Sorogan adalah
semacam metode CBSA (cara belajar siswa aktif) yang santri aktif memilih kitab,
biasanya kitab kuning, yang akan dibaca, kemudian membaca dan menerjemahkannya
dihadapan kiai, sementara itu kiai mendengarkan bacaan santrinya dan mengoreksi
bacaan atau terjemahannya jika diperlukan (Pradjarta, 1999:149-150). Sistem
sorogan ini termasuk belajar secara individual, dimana
seorang santri
maju satu per satu untuk membaca dan menguraikan isi kitab di hadapan guru atau
Kiai. Metode pengajaran ini termasuk metode pengajaran yang sangat bermakna
karena santri akan merasakan hubungan langsung dengan kiai. Santri tidak saja
dibimbing dan diarahkan cara membacanya tetapi dapat di evaluasi perkembangan
kemampuan membaca kitab. Sistem sorogan ini terbukti sangat efektif sebagai
taraf pertama bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi seorang alim. Sistem
ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal
kemampuan seorang murid dalam menguasai bahasa Arab. Dalam metode sorogan,
santri membaca kitab kuning dan memberi makna sementara guru mendengarkan
sambil memberi catatan, komentar, atau bimbingan bila diperlukan. Akan tetapi,
dalam metode ini, dialog antara guru dengan murid belum tentu atau tidak
terjadi. Metode sorogan, diduga sangat kuat merupakan tradisi pesantren,
mengingat sistem pengajaran di pesantren memang secara keseluruhan. Hal ini
lagi-lagi menunjukkan ciri khas pondok pesantren dengan mempertahankan tradisi
warisan masa lalu yang cukup jauh.
Bukan hanya mengubah sistemnya, Wahid Hasyim juga mengusulkan
memperbanyak pendidikan non-agama. Alasannya sederhana, ia menyebutkan bahwa
jikalau muridnya keluar dari pesantren kemungkinan besar hanya sebagian yang
menjadi kiai, jadi lebih baik mereka dibekali keterampilan praktis.
Ide itu merupakan lompatan besar dibandingkan pola pikir kalangan
pesantren saat itu. Tidak semudah itu untuk mengubah pola pendidikan seperti
itu terdapat tidak menyesetujui akan perubahan itu, namun dibalik semua itu
pendapat lainnya mengizinkan anak-anaknya yang masih muda untuk membentuk
madrasah sendiri di dalam Tebuireng pada 1934. Madrasah itu tak lain adalah
Nizamiah.
c.
Metode Bahtsul Masa`il
Metode
Bahtsul Masa`il merupakan pertemuan ilmiyah, yang membahas masalah diniyah,
seperti ibadah, aqidah dan masalah agama pada umumnya. Metode ini sesungguhnya
tidak jauh berbeda dengan metode musyawarah. Hanya bedanya, pada metode Bahtsul
Masa`il pesertanya adalah para kyai atau para santri tingkat tinggi. Dalam
forum ini, para santri biasanya membahas dan mendiskusikan suatu kasus di dalam
masyarakat sehari-hari untuk kemudian dicari pemecahanannya secara fiqih
(yurisprudensi Islam). Pada dasarnya santri tidak hanya belajar memetakan dan
memecahkan suatu permasalahan hukum yang perkembang dimasyarakat, namun dalam
forum ini para santri juga belajar berdemokrasi dengan menghargai pluralitas
pendapat yang muncul dalam forum.
d.
Metode Musyawaroh
Metode
musyawaroh ini pertama kali di lakukan oleh Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ari.
Dan metode musyawarah banyak dijumpai di pondok pesantren salafiyah. Metode ini
dilaksanakan dalam rangka pendalaman atau pengayaan materi-materi yang sudah
dipelajari santri (kitab-kitab kuning). Yang menjadi ciri metode ini, santri
dan guru biasanya terlibat debat dalam sebuah forum perdebatan untuk memecahkan
masalah yang ada. Dalam musyawarah ini santri diperkenankan berdebat secara
babas asal tetap memiliki kerangka acuan yakni kitab-kitab utama Kegiatan musyawarah
adalah merupakan aspek dari proses belajar dan mengajar di pesantren salafiyah
yang telah menjadi tradisi khususnya bagi santri-santri yang mengikuti sistem
klasikal. Kegiatan ini suatu keharusan bagi para santri, sama halnya seperti
keharusan mengikuti kegiatan belajar kitab-kitab dalam proses belajar mengajar.
Bagi santri yang tidak mengikuti atau mengindahkan peraturan kegiatan
musyawarah, akan dikenai sangsi, karena musyawarah sudah menjadi
ketetapan
pesantren yang harus ditaati untuk dilaksanakan. Beberapa metode diatas banyak
diterapkan di pondok-pondok pesantren, dan antara metode yang satu dengan yang
lainnya saling berkaitan erat dan mempunyai kelemahan serta kelebihan
masing-masing, sehingga pondok-pondok pesantren sampai sekarang masih mempertahankan
metode tersebut, dan itu menjadi lambang supremasi serta ciri khas metode
pengajaran di Pondok Pesantren. Metode-metode pembelajaran tersebut tentunya
belum mewakili keseluruhan dari metodemetode
pembelajaran
yang ada di pondok pesantren, tetapi setidaknya paling banyak diterapkan di
lembaga pendidikan pesantren.
Peran Wahid Hasyim dalam Pembaruan Pendidikan Islam
Kontribusi Wahid Hasyim dalam pengembangan sistem pendidikan di
Indonesia, khususnya untuk pendidikan Islam. Perubahan dan perkembangan
Institusi Pendidikan Islam dikalangan kaum tradisional hamir tidak pernah
disentuh. Meskipun ditemukan adanya persamaan diantara institusi yang
dikembangkan oleh kaum modernis.wahid Hasyim adalah pimpinan teras Nahdatul
Ulama yang mempunyai kepeduliannya yang tinggi terhadap pendidikan kaum
muslimin di Indonesia, khususnya kalangan tradisional. Usahanya adalah
memperkenalkan ilmu pengetahuan dari Barat ke Pesantren dan mendirikan beberapa
institusi pendidikan yang baru, misalnya Madrasah Nizamiyah, PGA ( Pendidika
Guru Agama) dan PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri). Melalui usahanya
itu, Wahid Hasyim mencoba untuk memperbaiki kelemahan pendidikan umat Islam
Indonesia dan mencoba membangun jembatan yang memisahkan dua sistem yang sudah
berkembang saat itu, yang sistem Barat (sekolah) dan Islam (Pesantren).
Sebagai institusi
pendidikan islam tradisional di tanah air, Tebuireng memfokuskan pada mata
pelajaran agama dengan memberikan perhatian kepada mata pelajaran hadist dan
menggunakan, pada mulanya metode Bandongan dan sorogan dalam
proses pembelajaran di kelas. Adanya kemiripan dalam kurikulum dan metode yang
digunakan di Pesantren disebabkan adanya pola tradisi pendidikan yang
berkembang saat itu, terutama sejak kiai biasanya belajar mata pelajaran
dibawah bimbingan guru yang sama baik di pesantren maupun ketika melanjutkan
studinya di Timur Tengah. Tidak heran kalau sekolah-sekolah khususnya di Jawa
mempunyai Pola pendidikan semacam itu juga. Meskipun demikian, ini tidak
berarti bahwa institusi pendidikan tradisional berubah terhadap segala bentuk
perubahan baik dari segi metodologi maupun mata pelajaran yang diajarkan.
Pada kasus
pesantren Tebuireng, pengenalan ilmu hadist sebagai mata pelajaran baru dapat
dianggap, berkaitan dengan metode yang digunakan, Hasyim Asy’ari disamping sorongan
dan Bandongan juga mengenal metode musyawarah (seminar). Dibawah
pimpinan Hasyim Asy’ari secara langsung, hanya santri senior yang diizinkan
mengikuti kelas semilai ini. Tujuan dari kelas ini sebagai memperdalam
pengetahuan mereka tentang Islam juga memberi pacuan untuk pemecah permasalahan
keagamaan dan keduniaan yang dihadapkan oleh masyarakat dengan berdasarkan
ajaran Islam. Dalam pencapaian pemecahan masalah, mereka secara bebas berdebat
, walaupun harus tetap mendasarkan pendapatnya pada karya ulama abad
pertengahan. Khususnya mazhab Syafi’i. Tampaknya KH Hasyim Asy’ari menerapkan
metode tersebut untuk melatih santrinya agar mampu melihat realita dn
memberikan alterntif pemecahannya. Banyak santri yang mengikuti kelas ini,
dikemudian hari menjadi ulama terkenal, diantaranya KH Manaf Abdul Karim, KH
Abbas Buntet dam KH As’ad Syamsul Arifin. Ulama tersebut secara berurutan
adalah pemimpin Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Buntet Cirebon, dan
Pesantren Asembagus Situbondo.
Perubahan yang
aling monumental di pesantren tebuireng terjadi ketika Wahid Hasyim kembali
dari Mekah pada tahun 1833. Wahid Hasyim mulai aktif dalam proses belajar
mengajar di Tebuireng. sebagai asisten ayahnya, ia mengajukan beberapa usulan
pembaharuan pendidikan di sana, diantaranya metode yang digunakan dalam proses
belajar mengajar, tujuan atau harapan santri belajar di pesantren dan
pengenalan mata pelajaran dari Barat.
Mengenai
keefektifan metode yang digunakan di pesantren, Wahid Hasyim mengusulkan untuk
mengadopsi sistem tutorial, sebagai
ganti dari metode Bandongan . menurutnya metode itu tidak efektif dalam
mengembangkan inisiatif santri. Hal ini disebabkan dikelas dimana metode
bandongan ditetapkan, santri datang hanya untuk mendengar, menulis dan
menghafal pelajaran yang diberikan, tidak ada kesempatan bagi santri untuk
mengajukan pertanyaan atau bahkan mendiskusikan pelajaran. Wahid Hasyim secara
jelas menyimpulkan bahwa metode bndongan membuat santri pasif.
Berkaitan dengan
peningkatan kebiasaan membaca dan kualitas pengetahuan siswa, Wahid Hasyim
mendirikan sebuah perpustakaan. Buku yang tersedia berjumlah kurang lebih 1000
judul yang terdiri dari buku-buku teks dan karya-karya ilmiah populer baik
ditulis dalam bahasa Arab, Inggris, Belanda dan Indonesia dan Jawa. Ia juga
berlangganan beberapa majalah dan surat kabar, diantaranya Panjiman, dewan
Islam, Islam bergerak, Adil, Nurul, Islam, al-Munawwarah, Berita Nahdlatul
Ulama, Panji Pustaka, Pustaka Timur, Pudjangga Baru dan Penjebar semangat.
Manajemen
perpustakaan dikelola sepenuhnya oleh para siswa yang terikat dalam IKPI
(Ikatan Pelajar-pelajar Islam), sebuah organisasi yang dibentuk oleh Wahid
Hasyim. Dengan demikian siswa secara langsung untuk mengelola organisasi dan
meningkatkan skill mereka dalam bidang administrasi.
Pada masa itu sangat sulit sekali untuk menentukan tipe
sekolah apa yang dijadikan model bagi Madrasah Nizamiyah. Kreasi yang
dikembangkan oleh Wahid Hasyim itu sendiri disebabkan karena tidk ada kemiripan
tipe institusi pendidikan yang dibangun di Indonesia sebelum berdirinya
Madrasah Nizamiyah
Dari nama yang
dijadikan model, dapat diasumsika bahwa Wahid Hasyim mencoba membangun sebuah
institusi meniru model institusi yang didirikan oleh pemimpin Saljuk, Nizam al-
Mulk (485/1092), yaitu madrasah Nizamiyah di Baghdad, sama halnya dengan
pendidikan pada masa itu, madrasah Nizamiyah di Bagdad mengajarkan tidak hanya
pelajaran agama, tetapi juga tentang pengetahuan Yunani, khususnya filsafat
juga diajarkan. Institusi tersebut juga menyediakan beberapa fasilitas
pendidikan seperti perpustakaan. Dari sudut pandang kurikulum, pelajaran agama
dan umum, dan fasilitas yang tersedia dapat diambil kesimpulan bahwa Wahid
Hasyim mencoba meniru sistem yang diterapkan Madrasah Nizamiyah di Bagdad untuk
sistem pendidikan yang didirikan di Tebuireng.
M. Ilyas adalah
Sepupu Wahid Hasyim,mengutarakan pandangannya terhadap ide pembaharuan yang
diajukan Wahid Hasyim. Sebagai lulusan HIS, M. Ilyas mempunyai pengalaman
dengan sistem pendidikan Barat yang memasukan ilmu pengetahuan sekuler, yang
kemudian dikenalkan kepada para santri di Tebuireng ketika ia datang dalam
rangka mendalami pengetahuan agamanya pada tahun 1920-an. Bisa jadi benar bahwa
Wahid Hasyim mengetahui manfaat ilmu pengetahuan yng dikenal oleh saudara
sepupunya dan memotivasi dirinya, terlebih setelah ia mampu membaca huruf latin. Untuk menuntut ilmu
pengetahuan baik yang ditulis dalam
bahasa Indonesia, Arab, Inggris dan Belanda. Penjelasan ini dapat menerangkan
adanya peniruan model sekolah Barat yang dilakukan oleh Wahid Hasyim bagi
institusi pendidikannya yang baru. Namun, sejak tidak adanya mata pelajaran agama dalam
kurikulum sekolah Barat, sedangkan Pesantren hanya memuat pelajaran agama, maka
dapat disimpulkan bahwa sistem pendidikan yang ditawarkan Wahid hasyim
merupakan model yang unik, yakni model pendidikan yang cukup modern yang
mengambungkan dengan model yang di pesantren dengan model yang dikembangkan di
sekolah Barat.
Pembaharuan
pendidikan yang digagas oleh Wahid Hasyim tidak luput dari kritik yang tajam
dari para ulama dan masyarakat. Ide pembaharuan Wahid Hasyim sering menjadi
sasaran kritik yang dilontarkan ulama sebagai upaya mencampuradukan ajaran
agama yang suci dengan ilmu-ilmu keduniawian yang mana ilmu-ilmu sekuler
tersebut masih diaggap sebagai produk bangsa kolonial. Pada akhirnya, walaupun
memakn waktu yang cukup lama, Wahid Hasyim mampu menyakinkan mereka akan
manfaat yang akan diperoleh dengan ide pembaharuannya tersebut. Setiap ada
kesempatan, ia selalu menggunakannya untuk menjelaskan tujuan dan keuntungan
dari ide pembaharuannya. Sebagai bukti, ia menunjukan hasil yang positif dari
sistem baru tersebut,menunjukan kemanpuan yang dimiliki para siswa-siswanya,
termasuk dalam penggunaan ilmu agama dan sekuler sekaligus kemampuan berbahasa
asing yang belajar di Madrasah Nizamiyah. Melalui upaya penyadaran tersebut,
kiai dan masyarakat secara perlahan dapat memahami dan menerima gagasan Wahid
Hasyim tersebut.
Keberhasilan
Madrasah Nizamiyah sebagai pilot project dalam memodernisasi pesantren
merupakan langkah awal bagi Wahid Hasyim dalam mengembangkan reformasi
pendidikan dikalangan kaum tradisional. Sejak beberapa kiai mengadopsi sistem
madrasah di pesantrennya, kurikulum yang ditetapkan bervariasi disesuaikan
dengan keahlian yang dimiliki oleh pesantren tersebut dan tersedianya guru.
Banyak keputusan yang dihasilkan oleh panitia ini, yang kemudian
diimplementasikan oleh Wahid Hasyim ketika ia memimpin Departemen Pendidikan di
NU (Ma’arif) pada tahun 1940. Salah satu keputusan yang dihasilkan adalah
adanya kategori Madrasah NU sebagaimana sebagai berikut:
1.
Madrasah Umum
a.
Madrasah Awaliyah (2 tahun masa belajar)
b.
Madrasah Ibtidaiyah (3 tahun masa belajar)
c.
Madrasah Tsanawiyah (3 tahun masa belajar)
d.
Madrasah Mu’allimin Wusta
e.
Madrasah Mu’allimin ‘Ulya
2.
Madrasah Ikhtisasiyah (sekolah dengan keahlian khusus)
a.
Madrasah Qudat (hukum)
b.
Madrasah Tijarah ( ekonomi)
c.
Madrasah Nijarah ( kehutanan)
d.
Madrasah Zira’ah ( pertanian)
Dari beberapa kategori hanya kategori yang pertama yang dapat
dijalankan, kategori kedua belum bisa dilaksanakan karena terbatasnya ahli yang
dimiliki oleh NU dalam bidang tersebut. Dan kurikulumnya ditentukan oleh
Departemen Pendidikan NU.
Usaha pembaharuan pendidikan Wahid Hasyim sempat berhenti beberapa
tahun karena alasan politik, tetapi setelah masa Jepang dan masa perang
kemerdekaan lewat, Wahid Hasyim kembali berkiprah daam dunia pendidikan, yakni
terlibat dalam upaya peningkatan pendidikan umat islam pada awal tahun 50-an.
Penunjukan Wahid Hayim sebagai menteri agama dalam tiga kabinet, yakni kabinet
Hatta, Natsir dan Sukiman, secara terus menerus.
Musibah KH. Abdullah Wahid Hasyim
Wahid Hasyim mengembuskan napas terakhir akibat kecelakaan sehari
sebelumnya di Jawa Barat. Inilah momen yang tidak pernah lepasndari benak anak
sulungnya, Abdurahman ad-Dachil alias Gus Dur. Saat itu ia masih berusia 13
tahun, menjadi saksi sekaligus korban kecelakaan. Gus Dur bertahan, bahkan
turut menjaga sampai ada pertolongan.
Musibah ini berawal dari rencana Wahid menghadiri rapat Nahdlatul
Ulama di Sumedang, Jawa Barat, Sabtu, 18 April 1953. Perjalanan menggunakan
mobil Chevrolet putih milik Wahid yang dihela sopir dari Harian Pemandangan
. Gus dur kecil duduk di depan, ayahnya di jok belakang bersama Argo Sutjipto,
Sekretaris Jenderal Majalah Gema Muslimin
Pukul satu siang, sampailah mereka di Cimindi. Hujan deras membuat licin jalan yang ramai itu. Ban Chevrolet
selip dan sang sopir tak mampu mengendalikannya. Mobil melaju zigzag. Di depan,
sebuah truk mengerem. Bagian belakang mobil wahid membentur truk itu dengan
keras.
Sopir dan Gus Dur selamat. Tapi, Wahid Hasyim terpelanting keluar dan jatuh di bawah truck, Argo turut
terlontar keluar. Wahid hasyim terluka parah di bagian kening, mata, pipi,
leher dan langsung pigsan seketika.
Lokasi kejadian jauh dari permukiman sehingga pertolongan datang
terlambat. Mobil ambulans baru tiba sekitar 3 jam sesudahnya, kedua korban
parah diangkat ke Cimahi, kemudian dilarikan ke Rumah Sakit Borromeus, Bandung.
Mendengar kabar itu, istri Wahid Hasyim segera menyusul ke Bandung.
Residen Priangan menengok ke rumah sakit. Beberapa alim ulama datang membawa
surat Gubernur Jawa Barat untuk pengurus rumah sakit dengan pesan agar Wahid
diurus sebaik-baiknya. Tapi maut datang lebih cepat. Argo meninggal pukul 6
sore pada hari kecelakaan. Wahid menyusul pukul 10:30 keesokan harinya. Ahad
siang itu juga jenazah Wahid ke Jakarta.
Wahid meninggal pada usia 39 tahun. Duka dan rasa kehlangan
terlihat dari suasana perkabungan. Rumah duka di Taman Matraman Barat, sekarang
Taman Amir Hamzah di Jakarta Pusat.
Dipenuhi khalayak yang bertakziah sejak jenazah tiba dari Banung sore
hari. Selain masyarakat umum dan alim
ulama, tercatat sejumlah pejabat melayat, seperti wakil Perdana Mentri Prawoto,
ketua Parlemen Mr Sartono, Menteri Keshatan Dr Leimena, ketua Partai, pemerintah
Jakarta, juga perwakilan kedutaan asing.
Kawasan Matraman kian sesak esok paginya saat jenazah akan
diterbangkan ke Jawa Timur. banyak yang ingin mengantar sampai Lapangan Terbang
Kemayoran. Mobil Buick yang menyangkut jenazah berjalan pelan menembus
kerumusan, dikawal barisan polisi bersepeda motor, iring-iringan mobil dam
barisan Anshor dari NU.
Setelah upacara penyambutan di Lapangan Terbang perak, Surabaya, jenazah dibawa ke Komplek Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, tempat jenazah akan dimakamkan. Untuk mengangkutnya digunakan mobil ambulans Angkatan Darat Divisi Brawijaya dengan iringan pengawal dan pengantar yang pangjangnya mencapai 2 kilometer.
Rombongan jenazah berjalan pelan karena besarnya perhatian
masyarakat. Orang menunggu di pinggir jalan untuk memberi penghormatan terakhir.
Aksi masyarakat ini berulang di kota-kota kecil antara Surabaya dan
Jombang. Panitia penyambutan terpaksa menolak permintaan serupa karena takut
kemalaman. Akhirnya rombongan baru sampai tujuan sekitar pukul 2 siang dengan
ribuan orang menunggunya.
Para pelayat kemudian bergantian salat jenazah, hingga selesai
sekitar pukul 4 sore. Proses pemakaman selesai menjelang senja. Di Tebuireng.
dikawasan yang diperjuangkan ayahnya. KH. M. Hasyim Asy’ari, sebuah daerah
hitam yang kemudan menjadi pusat syiar agama, jenazah Wahid dikebumikan. Ribuan
orang mengiringi kepergiannya dengan doa. Sampai beberapa hari sesudah
pemakaman, di lokasi yang sama masuh ada kerumunan orang yang berdoa untuknya.
Kesimpulan
KH.
Abdul Wahid Hasyim merupakan salah satu pemikir pendidikan Islam sekaligus
praktisi pendidikan Islam utamanya dalam bidang pondok pesantren. Ia menjadi
pengasuh pondok pesantren Tebuireng selama 13 tahun (1947-1950). Semasa
hidupnya beliau juga banyak berjasa terhadap dunia pendidikan Islam Indonesia,
ia mendirikan Pendidikan Guru AgamaNegeri (PGAN). Jasa lainnya ialah pendirian
Sekolah Tinggi Islam di Jakarta (tahun 1944), lalu pada tahun 1950 memutuskan
pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kini menjadi
IAIN/UIN/STAIN. Selain aktif di dunia pendidikan pesantren KH. Abdul Wahid
Hasyim juga aktif di organisasi kemasyarakatan dan partai politik. Pada masa
kemerdekaan ia termasuk salah satu founding father bangsa Indonesia. Ia
juga pernah menjabat sebagai Menteri Negara (1945), dan Menteri Agama pada
tahun 1950-1952. KH. Abdul Wahid Hasyim merupakan satu-satunya Menteri di
Indonesia yang tidak pernah mengenyam pendidikan secara formal.
Dalam
pendidikan, keterlibatan Wahid Hasyim dalam proses belajar mengajar dan hasil
kontaknya dengan koleganya baik dari
kalangan mdern maupun kalangan sekunder, menyadarkan is bahwa NU pada waktu itu
sangat kekurangan orang-orang intelektual, sebagaimana dikatakannya: “menemukan
orang akademisi pada bidang non agama di lingkungan NU bagaikan menemukan
penjual es pada pukul satu malam hari”. Hal ini dikarenakan sistem pendidikan
di pesantren hanya mengajarkan ilmu agama saja. Inilah yang menginspirasikan
Wahid Hasyim untuk meningkatkan sistem pendidikan di Pesantren melalui
pengenalan, misalnya metode tutorial yang di pandang lebih efektif, memberikan
mata pelajaran ilmu pengetahuan yang sekuler dan membentuk sistem pendidikan
yang baru yanf dinamakan Madrasah. Tujuan dari pembaharuan adalah meningkatkan
kualitas lulusan pesantren agar mereka dapat bersaing dengan koleganya, lulusan
sekolah sekuler.
Pilot
projeck-nya adalah memodernisasi sitem pendidikan pesantren dengan
mendirikan Madrasah Nizamiyah di Tebuireng, dimana kedua ilmu agama dan sekuler
diajarkan bersama-sama. Keberhasilan tersebut merupakan langkah awal baginya
dalam pengembangan institusi pendidikan diseluruh tanah air. Wahid Hasyim sadar
hal itu sangat sulit dilaksanakan karena adanya resistensi dari para kiai yang
mempunyai otoritas penuh terhadap pesantren. Oleh karena itu ia menyadari bahwa
ia harus melakukan sesuatu agar mereka sadar arti pentingnya pembaharuan dan
sebagai bukti, ia menunjukan keberhasilan madrasahnya dalam membekali siswanya
dengan berbagai keterampilan. Aspek yanng paling penting dari
penerapanide-idenya adalah Wahid Hasyim tidak menghilangkan keberadaan
pesantren, tetapi ia berusaha mempertahankannya dan memodernisasi sitemnya yang
dirsakan dapat meningkatkan keterampilan santrinya.
Wahid
Hasyim juga mendirikan Institusi profesional bagi guru agama dan perguruan
tinggi agama. Berdirinya kedua institusi tersebut sangat signifikan sebab yang
pertama dibentuk dengan tujuan membekali siswa kemampuan mengajar dengan metode
yang modern, sedangkan yang kedua adalah institusi dimana lulusan madrasah
dapat melanjutkan program pendidikan yang lebih tinggi. Pada saat yang sama, ia
juga menginstruksikan untuk memberikan pelajaran sekuler kepada siswa madrasah
dengan harapan mereka dapat mengembangkan bukan hanya kemampuan spiritualnya semata,
tetapi juga kemampuan itelektualnya. dengan terbentuknya sistem pendidikan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa Wahid Hasyim merupakan jembatan penghubung
yang menjembatani dua sistem pendidikan, pesantren dan sekolah, dengan harapan
keduanya akan bermanfaat bagi pembangunan Indonesia.
Berkaitan
dengan aktivitas politiknyam Wahid Hasyim mempunyai peran yang penting dalam
perjuangan merebut kemerdekaan dan pembentukan negara Republik Indonesia.
Disegani baik oleh kawan dan lawannya sebagai pemimpin yang cakap, Wahid Hasyim
mampu membangan jaringan Pesantren yang digunakan sebagai alat, bersama-sama
dengan kelompok pemerintahan kononial, khususnya pada masa jepang ia sangat
cerdik dalam membuat manuver terhadapa pemerintahan Jepang untuk memberikan
fasilitas yang dapat digunakan untuk
memepersiapkan kader-kader yang siap berjuang merebutkemerdekaan dan
kemudian dimanfaatkan melawan Belanda ketika mereka ingin menjajah kembali
Indonesia.
Penunjukan
kannya sebagai anggota BPUPKI yang menghasilkan Piagam Jakarta, merupakan bukti
kemampuannya dalam meyakinkan orang untuk kompromi. Meskipun ia dapat dikatakan
sebagai orang fundamentalis karena usulannya bahwa kata-kata “dengan kewajiban
menjalankan syari’ah Islam bagi pemeluknya”.harus dimasukan dalam masalah dan
kata-kata “ Presiden harus orang Muslim” begitu juga “agama resmi negara adalah
agama Islam, “harus dimasukkan dalam pasal 6 atang tubuh UU. Dapat dibantah
bahwa ia tidak pernah memaksakan usulannya kepada yang lainnya. Kenyataannya,
ia masih terbuka untuk menerima perubahan, khususnya etika panitia
mengamandemen dan akhirnya membuang usulannya yang telah disepakati hanya
karena agara lebih akomodatif bagi seluruh rakyatn Indonesia yang terdirir dari
berbagai agama dan pandangan tentang Islam.
Dilihat
dari Perspektif ini, kecurigaan sarjana dari kalangan modernis dan Barat yang
melihar ulama tradisional sebagai kaum yang otodoks, konservatif dan resisten
terhadap segala hal yang baru dan penolakan terhadap sumbangansih NU terhadapat
perjuangan kemerdekaan Indonesia, sudah seharusnya dipertanyakan.
Pembaharuan
pendidikan yang dilakukan KH. Abdul Wahid Hasyim meliputi:
a.
Pembaharuan metode pembelajaran, dari Bandongan ke tutorial
b.
Mendirikan instistusi Madrasah Nidzomiyah yang menggunakan sistem
pendidikan modern dengan menerapkan sistem klasikal dilingkungan pesantren.
c.
Mencetak santri yang tidak hanya religius tetapi juga berwawasan
kebangsaan.
d.
Mendirikan perpustakaan di lingkungan pesantren.
Relevansi
pemikiran pembaharuan pendidikan pesantren KH. Abdul Wahid Hasyim dengan
pendidikan pesantren KH. Abdul Wahid Hasyim dengan pendidikan pesantren di
Indonesia masa sekarang adalah sangat relevan. Hal ini disebabkan karena KH.
Abdul Wahid Hasyim meletakkan dasar penting bagi pendidikan sistem klasikal di
lingkungan pesantren, mendirikan perpustakaan yang tidak hanya berisikan
buku-buku agama namun juga pengetahuan umum serta pencetus awal pendirian
madrasah formal di lingkungan pesantren yakni Madrasah Nidhomiyah.
DAFTAR PUSTAKA
Aboe, Bakar. 2011. Sejarah Hidup KH.A Wahid Hasyim .Jakarta:
Mizan
Baskoro, dkk. 2011. Wahid hasyim Untuk Republik dari Tebuireng.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia dan Majalah Tempo
Bashri, Yanto. Dkk. 2005. Sejarah Tokoh Bangsa. Yogyakarta:
Pustaka Toko Bangsa
Putra, Haidar, Daulany, 2009. Sejarah
Pertumbuhan dan pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24748/3/SYAFIQ%20AKHMAD%20MUGHNI-FITK.pdf
( diakses 22/11/2016, 14: 49)