AWAL MASUKNYA ISLAM DI ISTANA ALWATZIKOEBILLAH SAMBAS



MAKALAH
AWAL MASUKNYA ISLAM DI ISTANA ALWATZIKOEBILLAH SAMBAS DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH SEJARAH PERADABAN ISLAM II
Dosen Pengampu: Hj. Ma’ruf,
Description: 11903705_1483441221970359_8888598011182308945_n (1).jpg
Disusun Oleh:
Siti Maryam (11511096)
Sahrul (11511091)
Azlansyah (11511)
Sholihin (11511)
Puput Noviani (11511)
Siti Septiyasari Putri Utami (11511098)
Ratna Sari (11511088)
Rudi Kurniadi (11511)
Nur Eka Sari (11511)
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

PONTIANAK

2015/2016


KATA PENGANTAR
Allhamdulillahhirobbil’alamin wasyukurillah segala puji syukur kepada Allah SWT.  Yang telah memberikan karunia serta berkah kepada penyusun karena telah memberikan kelancaran dan kemudahan sehingga kami sebagai penyusun dapat menyelesaikan makalah ini.
Tujuan dari penyusun membuat tugas ini adalah untuk memperluas pengetahuan yang kami miliki. Adapun kendala-kendala yang kami hadapi yaitu kurangnya materi yang kami kumpulkan.
Dalam pembuatan tugas ini, walaupun dalam bentuk sederhana kami berusaha membuat sebaik-baiknya agar dapat di mengerti dan di pahami sehingga dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan kita bersama.
Kami menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan keritik  yang membangun dari semua pihak sangat kami harapkan. Semoga tugas ini akan membantu dalam meningkatkan pengetahuan.












DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
KATA PENGANTAR........................................................................................ ii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
A.    Latar Belakang Masalah.............................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................... 2
A.        Pengertian Lambang Kesultanan Sambas.................................................... 2
B.        Profil Sambas............................................................................................... 4
C.        Sejarah Pendirian.......................................................................................... 6
D.        Perkembangan.............................................................................................. 6
E.         Sultan Muhammad Ali Shafiuddin I..............................................................
F.         Sultan Muhammad Shafiuddin II
G.        Batas Kekuasaan Kesultanan Sambas.......................................................... 8
H.        Masa Pendudukan Jepang.......................................................................... 11
I.           Peninggalan Kesultanan Sambas....................................................................
J.           Sultan-sultan Sambas.....................................................................................
BAB III PENUTUP......................................................................................... 13
A.      Kesimpulan................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 14








BAB II
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kesultanan Sambas adalah kesultanan yang terletak di wilayah pesisir utara Provinsi Kalimantan Barat atau wilayah barat laut Pulau Kalimantan dengan pusat pemerintahannya adalah di Kota Sambas sekarang. Kesultanan Sambas adalah penerus pemerintahan dari kerajaan-kerajaan Sambas sebelumnya. Kerajaan yang bernama "Sambas" di wilayah ini paling tidak telah berdiri dan berkembang sebelum abad ke-14 M sebagaimana yang tercantum dalam Kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca. Pada masa itu rajanya bergelar "Nek", salah satunya bernama Nek Riuh. Setelah masa Nek Riuh, pada sekitar abad ke-15 M muncul pemerintahan raja yang bernama Tan Unggal yang terkenal sangat kejam. Karena kekejamannya ini Raja Tan Unggal kemudian dikudeta oleh rakyat dan setelah itu selama puluhan tahun rakyat di wilayah Sungai Sambas ini tidak mau mengangkat raja lagi. Pada masa kekosongan pemerintahan di wilayah Sungai Sambas inilah kemudian pada awal abad ke-16 M (1530) datang serombongan besar orang-orang dari Pulau Jawa (sekitar lebih dari 500 orang) yaitu dari kalangan Bangsawan Kerajaan Majapahit yang masih beragama Hindu, yaitu keturunan dari Raja Majapahit sebelumnya yang bernama Wikramawardhana.
Pada saat itu di pesisir dan tengah wilayah Sungai Sambas ini telah sejak ratusan tahun didiami oleh orang-orang Melayu yang telah mengalami asimilasi dengan orang-orang Dayak pesisir di mana karena saat itu wilayah ini sedang tidak ber-Raja (sepeninggal Raja Tan Unggal) maka kedatangan rombongan pelarian Majapahit ini berjalan mulus tanpa menimbulkan konflik. Rombongan Majapahit ini kemudian menetap di hulu Sungai Sambas yaitu di suatu tempat yang sekarang disebut dengan nama "Kota Lama". Setelah sekitar lebih dari 10 tahun menetap di "Kota Lama" dan melihat keadaan wilayah Sungai Sambas ini aman dan kondusif maka kemudian para pelarian Majapahit ini mendirikan sebuah Kerajaan hindu yang kemudian disebut dengan nama "Panembahan Sambas". Raja Panembahan Sambas ini bergelar "Ratu" (Raja Laki-laki) di mana Raja yang pertama tidak diketahui namanya yang kemudian setelah wafat digantikan oleh anaknya yang bergelar Ratu Timbang Paseban, setelah Ratu Timbang Paseban wafat lalu digantikan oleh adindanya yang bergelar Ratu Sapudak. Pada masa Ratu Sapudak inilah untuk pertama kalinya diadakan kerjasama perdagangan antara Panembahan Sambas ini dengan VOC yaitu pada tahun 1609.
Pada masa Ratu Sapudak inilah rombongan Sultan Tengah (Sultan Sarawak ke-1) bin Sultan Muhammad Hasan (Sultan Brunei ke-9) datang dari Kesultanan Sukadana ke wilayah Sungai Sambas dan kemudian menetap di wilayah Sungai Sambas ini (daerah Kembayat Sri Negara). Anak laki-laki sulung Sultan Tengah yang bernama Sulaiman kemudian dinikahkan dengan anak bungsu Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu sehingga nama Sulaiman kemudian berubah menjadi Raden Sulaiman. Raden Sulaiman inilah yang kemudian setelah keruntuhan Panembahan Sambas di Kota Lama mendirikan Kerajaan baru yaitu Kesultanan Sambas dengan Raden Sulaiman menjadi Sultan Sambas pertama bergelar Sultan Muhammad Shafiuddin I yaitu pada tahun 1671.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah makna dari Lambang Kesultanan Sambas?
2.      Seperti apakah profil Sambas?
3.      Bagaimanakah Sejarah Kesultanan Islam Sambas?
4.      Bagaimanakah Perkembangan Kesultanan Sambas?
5.      Seperti apakah pengaruh Peristiwa Mandor di Kesultanan Sambas?
6.      Seluas apakah Batas dari kekukasaan Sultan Sambas?
7.      Apa sajakah peninggalan-peninggalan dari Kesultanan Sambas?
8.      Siapa sajakah yang menjadi sultan-sultan Sambas?













BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Lambang Kesultanan Sambas
1.      Lambang Kerajaan pada Masa Sultan Muhammad Ibrahim Mulia Tsafiuddin (1931-1943) Sultan Sambas ke-15
Description: C:\Users\UMI\AppData\Local\Microsoft\Windows\INetCache\Content.Word\IMG20161112093356.jpg


Lambang ini digunakan pada masa Sulthan Muhammad Mulia Ibrahim Tsafiuddin , Sulthan Sambas ke – 15 yang berkuasa di Kerajaan Sambas.
Adapun  lambang  yang digunakan adalah merupakan  tangan kanan menggenggam tiang perisai , menggenggam pula setangkai buah padi berdaun Sembilan dan setangkai bunga kapas berdaun delapan, ditengah – tengah sebuah perisai berbentuk bujur telur dan didalamnya berupa belahan jantung bertulisan hurup Arab Alwatzhikubillah, dibelakang perisai itu sebuah payung kuning bersilang dengan sebilah pedang terhunus dan diatas perisai itu sebuah mahkota.
Makna dari lambang tersebut adalah sebagai berikut :
·         Tangan Kanan Melambangkan kekuasaan yang dimiliki oleh Yang Mulia Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Tsafiuddin
·         Setangkai Buah Padi Berdaun 9 dan Setangkai Bunga Kapas Berdaun 8 Melambangkan Yang Mulia Sulthan Muhammad Mulia Ibrahim Tsafiuddin adalah Sulthan yang Kesembilan apabila di tarik dari Sulthan yang pertama yaitu
1.      Sulthan Muhammad Tsafiuddin I
2.      Sulthan Muhammad Tajuddin
3.      Sulthan Umar Aqamaddin I
4.      Sulthan Abubakar Kamaluddin
5.      Sulthan Umar Aqamaddin II
6.      Sulthan Muhammad Ali Tsafiuddin I
2. Lambang Kerajaan pada masa Sultan Muhammad Tsafiudin II (1866-1922) Sultan Sambas ke 13

 
Description: C:\Users\user\Downloads\PENGERTIAN TENTANG LAMBANG KERAJAAN SAMBAS_files\Tuk+Tue.jpg



Lambang ini digunakan pada masa Sultan Muhammad Tsafiuddin II , Sultan Sambas ke-13 yang berkuasa dikerajaan Sambas 1866 – 1922 M . Adapun lambang yang digunakan ini adalah lambang berbentuk  lingkaran  yang merupakan kombinasi antara Bulan Sabit dan Bintang Tiga Belas , dimana didalam Bintang tiga Belas itu terdapat lingkaran dan didalam lingkaran itu bertuliskan Alwatzikhubillah dengan hurup kaligrafi Arab, sedangkan didalam Bulan Sabit bertuliskan Sulthan Muhammad Tsafiuddin dalam huruf Arab.
Makna dari lambang tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Bulan Sabit yang bertuliskan Sultan Muhammad Tsafiuddin melambangkan bahwa  Sultan yang memerintah pada masa itu adalah Sultan Muhammad Tsafiuddin II dan kerajaan yang diperintah merupakan kerajaan Sambas Islam.
2.      Bintang tiga belas melambangkan bahwa Sultah Tsafiuddin adalah Sultan yang ketiga belas yang memerintah kerajaan Sambas.  
3.      Alwatzikhubillah artinya berpegang teguh dengan tali Allah bermakna bahwa dalam memerintah Sultan harus berlandaskan agama Islam yaitu berpegang teguh dengan hukum Allah dan Hadist Nabi Muhammad SAW.
3.Lambang yang terdapat di Istana Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Tsafiudin
Adapun lambang yang terdapat di Istana Sulthan Muhammad mulia Ibrahim Tsafiuddin adalah Bintang Tiga Belas yang didalamnya terdapat tulisan angka 9 , diapit oleh dua Ekor  Elang Laut dan dibawahnya terdapat tulisan Alwatzikhoebillah. Istana mulai  dibangun pada 15 Juli 1933 dan ditempati pada pada 6 Juli 1935.




Description: C:\Users\user\Downloads\PENGERTIAN TENTANG LAMBANG KERAJAAN SAMBAS_files\Lambang.jpg



Makna dari lambang tersebut adalah :
·         Bintang Tiga Belas yang didalamnya terdapat tulisan angka 9 bermakna bahwa Istana ini dibuat oleh Sultan yang kalau ditarik dari Sultan pertama , yang bergelar  Sultan  merupakan keturunan yang kesembilan  yaitu Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Tsafiuddin , Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Tsafiuddin merupakan cucu Sultan Muhammad Tsafiuddin II  yaitu Sulthan ketiga belas .
·         Dua Ekor Elang Laut melambangkan bahwa kerajaan Sambas pernah berjaya dan mempunyai angkatan laut yang kuat.
·          Alwatzikhoebillah artinya artinya berpegang teguh dengan tali Allah bermakna bahwa dalam memerintah Sulthan harus berlandaskan agama Islam yaitu berpegang teguh dengan hukum Allah dan Hadist Nabi Muhammad SAW.
B.     Profil Sambas
Description: D:\FOTO Dek Maryam\File yg diterima\images.jpg
Pada awalnya Sambas bukanlah nama suku, akan tetapi nama tempat/wilayah dan nama Kerajaan yang berada tepat di pertemuan 3 sungai yaitu sungai Sambas Kecil, sungai Subah dan sungai Teberau yang lebih dikenal dengan Muara Ulakan. Seluruh masyarakat asli Kalimantan sendiri sebenarnya adalah Serumpun, Antara Ngaju, Maanyan, Iban, Kenyah, Kayatn, Kutai ( Lawangan - Tonyoi - Benuaq ), Banjar ( Ngaju, Iban , maanyan, dll ), Tidung, Paser, dan lainnya. Hanya saja Permasalahan Politik Penguasa dan Agama menjadi jurang pemisah antara keluarga besar ini. Mereka yang meninggalkan kepercayaan lama akhirnya meninggalkan adatnya karena lebih menerima kepercayaan baru dan berevolusi menjadi Masyarakat Melayu Muda. Khususnya dalam Islam maupun Nasrani, hal - hal adat yang bertolak belakang dengan ajaran akan ditinggalkan. Sedangkan yang tetap teguh dengan kepercayaan lama disebut dengan Dayak. Adat-istiadat lama Suku Melayu Sambas banyak kesamaan dengan adat-istiadat Suku Dayak rumpun Melayik misalnya; tumpang 1000, tepung tawar, dan lainnya yang bernuansa Hindu.
Perubahan Suku Sambas secara drastis setelah masuk Islam, hampir menghapus jejak asal muasalnya Suku asli yang mendiami pulau Kalimantan yaitu Dayak. Kebudayaan Melayu yang dianggap lebih "beradab", membantu menghilangkan budaya Dayak pada Suku Sambas dengan cepat. Sehingga Sambas yang dahulunya beragama Hindu Kaharingan kehilangan jejak Kaharingan, walaupun sebagian kecil ada yang tersisa. Akibatnya orang lebih yakin Sambas adalah Melayu, padahal tidaklah demikian. Tentu saja segala hal dalam adat lawas dianggap syirik (bertentangan dengan agama) jadi harus dimusnahkan dan ditinggalkan.
berdasarkan kajian dengan pendekatan sejarah, asal usul masyarakat yang sekarang disebut Melayu Sambas adalah hasil asimilasi beberapa suku bangsa di Nusantara yaitu yang sekarang disebut Melayu Sambas adalah asimilasi dari Orang Melayu (yang datang dari Sumatera dan Semenanjung Malaya sekitar abad ke-5 M hingga 9 M pada masa Kerajaan Malayu atau masa awal Kerajaan Sriwijaya), Orang Dayak (penduduk lebih awal yang secara turun temurun sebelumnya telah mendiami Sungai Sambas dan percabangannya), Orang Jawa (yaitu serombongan besar Bangsawan Majapahit keturunan Wikramawardhana bersama para pengukutnya yang melarikan diri secara boyongan dari Majapahit karena perang sesama Bangsawan di Majapahit pada awal abad ke-15 M yang kemudian mendirikan sebuah Panembahan di wilayah Sungai Sambas) serta Orang Bugis (para Nakhoda dan pembuat kapal bersama keluarganya dari Sulawesi yang kemudian membentuk sebuah perkampungan Bugis yang bekerja untuk Sultan-Sultan Sambas pada masa awal dan pertengahan Kesultanan Sambas).
Pada masa Kerajaan (Kesultanan Sambas) masyarakat Melayu Sambas juga terkenal sangat Agamis (Islam) yang paling terkemuka di Kalimantan Barat sehingga sempat disebut sebagai "Serambi Makkah" Kalimantan Barat. Pada masa Kerajaan, Ulama-Ulama Islam dari Kesultanan Sambas sangat terkemuka dibanding Kerajan-Kerajaan lainnya di Kalimantan Barat ini, bahkan Ulama-Ulama Islam dari Kesultanan Sambas telah ada yang berkaliber Internasional misalnya pada abad ke-19 M ada Ulama Kesultanan Sambas yang bernama Shekh Khatib Achmad As Sambasi yang menjadi Ulama di Makkah Al Mukarramah dan menjadi Pemimpin Ulama-Ulama Nusantara yang menuntut Ilmu Agama di Makkah dengan gelar Shekh Sharif Kamil Mukammil. Kemudian pada abad ke-20 M ada Ulama Kesultanan Sambas bernama Shekh Muhammad Basuni Imran (Mufti Kesultanan Sambas) yang adalah lulusan Al Azhar kairo, Mesir yang terkenal di Timur Tengah karena suratnya kepada Mufti Mesir yang berjudul "Mengapa Umat Islam saat ini Mengalami Kemunduran". Jejak kejayaan Islam di Sambas itu yang masih tampak pada sekitar tahun 80-an di mana Qori-qori dari Sambas cukup mendominasi dalam mewakili Kalimantan Barat di tingkat Nasional dan Internasional.

C.    Sejarah Pendirian
1.      Pendirian
Sebelum berdirinya Kesultanan Sambas 1671 sebelumnya telah berdiri kerajaan-kerajaan yang menguasai wilyah ini. Diantaranya adalah: Kerajaan Wijaya Pura (7 M- 9M), Kerajaan Nek Riuk (13-14 M), Kerajaan Tan Unggal (15 M), Panembahan Sambas (16 M), Kesultanan Sambas (17-20 M).
            Secara otentik Kerajaan Sambas telah ada sejak 13 M, hal ini tercantum dalam kitab Negarakartagama karangan Mpu Prapanca pada masa Majapahit. Kemungkinan besar bahwa Kerajaan Sambas saat itu rajanya bernama Nek Riuh. Walaupun secara otentik Kerajaan Sambas tercatat sejak abad ke-13 M, namun demikian berdasarkan benda-benda arkeologis (berupa gerabah, patung dari masa Hindu) yang ditemukan selama ini di wilayah sekitar Sungai Sambas menunjukkan bahwa pada sekitar abad ke-6 M atau 7 M di wilayah ini diyakini telah berdiri sebuah kerajaan. Hal ini ditambah lagi dengan melihat posisi wilayah Sambas yang berhampiran dengan Selat Malaka yang merupakan lalu lintas dunia, sehingga diyakini bahwa pada sekitar abad ke-5 hingga 7 M di wilayah Sungai Sambas ini telah berdiri Kerajaan Sambas yaitu lebih kurang bersamaan dengan masa berdirinya Kerajaan Batu Laras di hulu Sungai Keriau yaitu sebelum berdirinya Kerajaan Tanjungpura.
            Kedatangan rombongan Majapahit ke Sambas berjalan lancer hal ini dikarenakan saat itu daerah Sambas sedang mengalami kekosongan kekuasaan setelah meninggalnya Raja Tan Unggal. Selain karena kekosongan kekuasaan kelancaran ini juga dikarenakan kepercyaan mereka sama-sama beragama Hindu. Jadi pada waktu itu belum ada istilah “Melayu atau Dayak”. Istilah atau penyebutan itu ada setelah masuknya Islam. Penduduk yang kemudian masuk Islam dinamakan "Melayu" dan penduduk yang masih menganut Hindu (Kaharingan) dinamakan "Dayak" (Dayak artinya "orang hulu", yakni orang yang tinggal di hulu sungai atau pedalaman). Disebut orang pedalaman atau hulu bukan karena mereka terdesak oleh masuknya Islam tapi karena memang mereka belum tersentuh oleh syiar Islam, disebabkan mereka tinggal jauh di pedalaman. Pada waktu itu Islam umumnya memang disyiarkan oleh pedagang-pedagan dari Gujarat, Hadramaut, dan dari Tiongkok. Pedagang-pedagang dan penjelajah lautan ini hanya singgah dan berdagang di daerah pesisir.
            Sedangkan sejarah berdirinya Kesultanan Sambas bermula di Kesultanan Brunei yaitu ketika Sultan Brunei ke-9 --Sultan Muhammad Hasan wafat pada tahun 1598, maka kemudian putranya yang sulung menggantikannya dengan gelar Sultan Abdul Jalilul Akbar. Ketika Sultan Abdul Jalilul Akbar telah memerintah puluhan tahun kemudian muncul saingan untuk menggantikan dari Adinda Sultan Abdul Jalilul Akbar yang bernama Pangeran Muda Tengah. Untuk menghindari terjadinya perebutan kekuasaan maka Baginda Sultan Abdul Jalilul Akbar membuat kebijaksanaan untuk memberikan sebagai wilayah kekuasaan Kesultanan Brunei yaitu daerah Sarawak kepada Pangeran Muda Tengah. Maka kemudian pada tahun 1629, Pangeran Muda Tengah menjadi Sultan di Sarawak sebagai Sultan Sarawak pertama dengan gelar Sultan Ibrahim Ali Omar Shah yang kemudian Baginda lebih populer di kenal dengan nama Sultan tengah atau Raja Tengah yaitu merujuk kepada gelarnya sebelum menjadi Sultan yaitu Pangeran Muda Tengah.
            Setelah sekitar 2 tahun memerintah di Kesultanan Sarawak yang berpusat di Sungai Bedil (Kuching sekarang), Sultan Tengah kemudian melakukan kunjungan ke Kesultanan Johor. Saat itu di Kesultanan Johor yang menjadi sultan adalah Sultan Abdul Jalil (Raja Bujang) di mana permaisuri Sultan Abdul Jalil ini adalah Mak Muda dari Sultan Tengah. Sewaktu di Kesultanan Johor ini terjadi kesalahpahaman antara Sultan Tengah dengan Sultan Abdul Jalil sehingga kemudian membuat Sultan Tengah dan rombongannya harus pulang dengan tergesa-gesa ke Sarawak sedangkan saat itu sebenarnya bukan angin yang baik untuk melakukan pelayaran. Oleh karena itulah maka ketika sampai di laut lewat dari Selat Malaka, kapal rombongan Sultan Tengah ini dihantam badai. Setelah terombang-ambing di laut satu hari satu malam, kapal Sultan Tengah tenyata telah terdampar di pantai yang adalah wilayah kekuasaan Kesultanan Sukadana. Pada saat itu yang menjadi sultan di Kesultanan Sukadana adalah Sultan Muhammad Shafiuddin (Digiri Mustika) yang baru saja kedatangan utusan Amir Makkah yaitu Shekh Shamsuddin yang mengesahkan gelaran Sultan Muhammad Shafiuddin ini. Sebelum ke Kesultanan Sukadana, Shekh Shamsuddin telah berkunjung pula ke Kesultanan Banten yang juga mengesahkan gelaran Sultan Banten pada tahun yang sama.

Sultan Tengah dan rombongannya kemudian disambut dengan baik oleh Sultan Muhammad Shafiuddin. Setelah tinggal beberapa lama di Kesultanan Sukadana, setelah melihat kepribadian Sultan Tengah yang baik, maka kemudian Sultan Muhammad Shafiuddin mencoba menjodohkan Sultan Tengah dengan putrinya yang bernama Putri Surya Kesuma. Sultan Tengah pun kemudian menerima perjodohan ini. Setelah menikah dengan Putri Surya Kesuma ini Sultan Tengah kemudian memutuskan untuk menetap sementara di Kesultanan Sukadana sambil menunggu situasi yang aman di sekitar Selat Malaka menyusul adanya ekspansi besar-besaran dari Kesultanan Johor dibawah pimpinan Sultan Abdul Jalil (Raja Bujang) di wilayah itu. Dari pernikahannya dengan Putri Surya Kesuma ini Sultan Tengah kemudian memperoleh seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Sulaiman.

Setelah sekitar 7 tahun menetap di Kesultanan Sukadana dan situasi di sekitar Selat Malaka masih belum aman dari ekspansi Sultan Abdul Jalil (Raja Bujang) itu, maka Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan untuk berpindah dari Kesultanan Sukadana untuk menetap di tempat baru yaitu wilayah Sungai Sambas karena sebelumnya Sultan Tengah telah mendengar sewaktu di Sukadana bahwa di sekitar Sungai Sambas terdapat sebuah Kerajaan yang berhubungan baik dengan Kesultanan Sukadana yaitu Panembahan Sambas.

Maka kemudian pada tahun 1638 berangkatlah rombongan Sultan Tengah beserta keluarga dan orang-orangnya dengan menggunakan 40 perahu yang lengkap dengan senjata dari Kesultanan Sukadana menuju Panembahan Sambas di Sungai Sambas. Setelah sampai di Sungai Sambas, rombongan Sultan Tengah ini kemudian disambut dengan baik oleh Raja Panembahan Sambas saat itu yaitu Ratu Sapudak. Rombongan Sultan Tengah ini kemudian dipersilahkan oleh Ratu Sapudak untuk menetap di sebuah tempat tak jauh dari pusat pemerintahan Panembahan Sambas.
Tidak lama setelah Sultan Tengah beserta keluarga dan orang-orangnya tinggal di Panembahan Sambas, Ratu Sapudak kemudian meninggal secara mendadak. Sebagai penggantinya maka kemudian diangkatlah keponakan Ratu Sapudak yang bernama Raden Kencana (Anak Ratu Timbang Paseban). Raden Kencana ini adalah juga menantu dari Ratu Sapudak karena mengawini anak Ratu Sapudak yang perempuan bernama Mas Ayu Anom. Setelah menaiki tahta Panembahan Sambas, Raden Kencana ini kemudian bergelar Ratu Anom Kesumayuda.

Setelah sekitar 10 tahun Sultan Tengah menetap di wilayah Panembahan Sambas dan anaknya yang sulung yaitu Sulaiman sudah beranjak dewasa maka kemudian Sulaiman dijodohkan dan kemudian menikah dengan anak perempuan Almarhum Ratu Sapudak yang bungsu bernama Mas Ayu Bungsu. Karena pernikahan inilah maka Sulaiman kemudian dianugerahi gelar Raden oleh Panembahan Sambas sehingga nama menjadi Raden Sulaiman dan selanjuntnya tinggal di lingkungan Istana Panembahan Sambas bersama Mas Ayu Bungsu. Dari pernikahannya dengan Mas Ayu Bungsu ini, Raden Sulaiman memperoleh seorang anak pertama yaitu seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Raden Bima. Raden Sulaiman kemudian diangkat oleh Ratu Anom Kesumayuda menjadi salah satu Menteri Besar Panembahan Sambas bersama dengan Adinda Ratu Anom Kesumayuda yang bernama Raden Arya Mangkurat.

Tidak lama setelah kelahiran cucu Sultan Tengah yaitu Raden Bima, dan setelah melihat situasi yang sudah mulai aman di sekitar Selat Malaka apalagi setelah melihat anaknya yang sulung yaitu Raden Sulaiman telah menikah dan mandiri bahkan telah menjadi Menteri Besar Panembahan Sambas, maka Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan sudah saatnya untuk kembali ke negerinya yang telah lama di tinggalkan yaitu Kesultanan Sarawak. Maka kemudian berangkatlah Sultan Tengah beserta istrinya yaitu Putri Surya Kesuma dan keempat anaknya yang lain (adik-adik dari Raden Sulaiman) yaitu Badaruddin, Abdul Wahab, Rasmi Putri dan Ratna Dewi beserta orang-orangnya yaitu pada sekitar tahun 1652.
Ditengah perjalanan ketika telah hampir sampai ke Sarawak yaitu di suatu tempat yang bernama Batu Buaya, secara tiba-tiba Sultan Tengah ditikam dari belakang oleh pengawalnya sendri, pengawal itu kemudian dibalas tikam oleh Sultan Tengah hingga pengawal itu tewas. Namun luka yang di tubuh Sultan Tengah terlalu parah sehingga kemudian Sultan Tengah pun wafat. Jenazah Baginda Sultan Tengah kemudian setelah di shalatkan kemudian dengan adat kebesaran Kesultanan Sarawak oleh Menteri-Menteri Besar Kesultanan Sarawak, dimakamkan di lereng Gunung Sentubong. Adapun Putri Surya Kesuma setelah kewafatan suaminya yaitu Almarhum Sultan Tengah, kemudian memutuskan untuk kembali ke Kesultanan Sukadana yaitu tempat di mana ia berasal bersama dengan keempat anaknya.
Di Panembahan Sambas, sepeninggal Ayahnya yaitu Baginda Sultan Tengah, Raden Sulaiman mendapat tentangan yang keras dari Adik Ratu Anom Kesumayuda yang juga adalah Menteri Besar Panembahan Sambas yaitu Raden Arya Mangkurat. Tentangan dari Raden Arya Mangkurat yang sangat fanatik Hindu ini karena iri dan dengki dengan Raden Sulaiman yang semakin kuat mendapat simpati dari para pembesar Panembahan Sambas saat karena baik pwrilakunya dan bagus kepemimpinannya dalam memagang jabatan Menteri Besar, disamping itu Raden Sulaiman ini juga sangat giat menyebarkan Islam di lingkungan Istana Panembahan Sambas yang mayoritas masih menganut Hindu, sehingga dari hari ke hari semakin banyak petinggi dan penduduk Panembahan Sambas yang masuk Islam.
Tekanan terhadap Raden Sulaiman oleh Raden Arya Mangkurat ini kemudian semakin kuat hingga sampai pada mengancam keselamatan Raden Sulaiman beserta keluarganya, sedangkan Ratu Anom Kesumayuda tampaknya tidak mampu berbuat banyak. Maka Raden Sulaiman kemudian memtuskan untuk hijrah dari pusat Panembahan Sambas dan mencari tempat menetap yang baru. Maka kemudian pada sekitar tahun 1655, berangkatlah Raden Sulaiman beserta istri dan anaknya serta orang-orangnya, yaitu sebagian orang-orang Brunei yang ditinggalkan ayahnya (Sultan Tengah) ketika akan pulang ke Sarawak dan sebagian petinggi dan penduduk Panembahan Sambas yang setia dan telah masuk Islam.
Dari pusat Panembahan Sambas ini (sekarang disebut dengan nama Kota Lama), Raden Sulaiman dan rombongannya sempat singgah selama setahun di tempat yang bernama Kota Bangun dan kemudian memutuskan untuk menetap di suatu tempat lain yang kemudian bernama Kota Bandir. Setelah sekitar 4 tahun menetap di Kota Bandir ini, secara tiba-tiba, Ratu Anom Kesumayuda datang menemui Raden Sulaiman di mana Ratu Anom Kesumayuda menyatakan bahwa ia dan sebagian besar petinggi dan penduduk Panembahan Sambas di Kota Lama akan berhijrah dari wilayah Sungai Sambas ini dan akan mencari tempat menetap yang baru di wilayah Sungai Selakau karena ia (Ratu Anom Kesumayuda) telah berseteru dan tidak sanggup menghadapi ulah adiknya yaitu Raden Arya Mangkurat di Kota Lama. Untuk itulah Ratu Anom Kesumayuda kemudian menyatakan menyerahkan kekuasaan di wilayah Sungai Sambas ini kepada Raden Sulaiman dan agar melakukan pemerintahan di wilayah Sungai Sambas ini.
Sekitar 5 tahun setelah mendapat mandat penyerahan kekuasaan dari Ratu Anom Kesumayuda maka setelah berembug dengan orang-orangnya dan melakukan segala persiapan yang diperlukan, Raden Sulaiman kemudian memutuskan untuk mendirikan sebuah Kerajaan baru. Maka kemudian pada sekitar tahun 1671 Raden Sulaiman mendirikan Kesultanan Sambas dengan Raden Sulaiman sebagai sultan pertama Kesultanan Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Shafiuddin. Pusat pemerintahan Kesultanan Sambas ini adalah ditempat yang baru di dekat muara Sungai Teberrau yang bernama Lubuk Madung.
Setelah memerintah selama sekitar 15 tahun yang diisi dengan melakukan penataaan sistem pemerintahan dan pembinaan hubungan dengan negari-negeri tetangga, pada tahun 1685 Sultan Muhammad Shafiuddin (Raden Sulaiman) mengundurkan diri dari tahta Kesultanan Sambas dan mengangkat anak sulungnya yaitu Raden Bima sebagai penggantinya dengan gelar Sultan Muhammad Tajuddin.

Sekitar setahun setelah memerintah sebagai Sultan Sambas ke-2, Sultan Muhammad Tajuddin (Raden Bima), atas persetujuan dari ayahnya (Raden Sulaiman), kemudian memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Sambas dari Lubuk Madung ke suatu tempat tepat di depan percabangan tiga buah Sungai yaitu Sungai Sambas, Sungai Teberrau, dan Sungai Subah. Tempat ini kemudian disebut dengan nama "Muara Ulakkan" yang menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Sambas seterusnya yaitu dari tahun 1685 itu hingga saat ini.





2.      Perkembangan

Description: G:\TUGAS\Kesultanan Sambas - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas_files\300px-Masjid_100613-3156_sbs.jpg
Masjid Sultan Muhammad Shafiuddin II di Sambas
Selama masa berdirinya Pemerintahan Kesultanan Sambas dari tahun 1671 M hingga tahun 1950 M, selama masa itu Kepala Pemerintahan Kesultanan Sambas terdiri dari 15 orang Sultan dan 2 orang Ketua Majelis Kesultanan (Plt Sultan).
Kesultanan Sambas selama 100 tahun yaitu dari paruh pertama abad ke-18 hingga paruh pertama abad ke-19 M merupakan Kerajaan Terbesar di wilayah pesisir barat Pulau Kalimantan (Kalimantan Barat) hingga kemudian Hindia Belanda masuk pada awal abad ke-19 M. Pihak Hindia Belanda ini yang membuat besar Kesultanan Pontianak sehingga kemudian Kesultanan Pontianak menggantikan posisi Kesultanan Sambas sebagai kerajaan terbesar di wilayah ini.
Pada sekitar awal abad ke-19 M (sekitar tahun 1805 M hingga tahun 1811 M) sering terjadi pertempuran di laut antara kapal-kapal Inggris dengan armada laut Kesultanan Sambas. Pada tahun 1812 M Hindia Inggris dibawah pimpinan T. S. Raffles mengirimkan armada dan pasukan untuk menyerang Kesultanan Sambas. Pertempuran sengit antara pasukan Inggris dan pasukan Kesultanan Sambas kemudian berlangsung disekitar percabangan Sungai Sambas (sekitar Kampung Sebatu) dan akhirnya pasukan Inggris itu dapat dikalahkan / dipukul mundur oleh pasukan Kesultanan Sambas (sebagaimana yang tercantum dalam buku sejarah tulisan Sir Graham Irwin / Sejarawan terkenal Inggris dalam bukunya yang berjudul "Borneo in Eighteen Century").

Dari sejak berdirinya Kesultanan Sambas pada tahun 1671 dengan Sultan pertama Kesultanan Sambas yaitu Sultan Muhammad Shafiuddin I hingga tahun 1818 yaitu dimasa pemerintahan Sultan Sambas ke-8 yaitu Sultan Muhammad Ali Shafiuddin I (Pangeran Anom), Kesultanan Sambas pada rentang masa itu (1671 M - 1818 M) adalah dalam kondisi berdaulat penuh yaitu pada rentang masa itu tidak ada satu pun kekuasaan asing yang menduduki atau mendirikan perwakilan pemerintahan di Kesultanan Sambas dan pada rentang masa itu Kesultanan Sambas tidak ada tunduk atau mengantarkan upeti apapun kepada pihak kekuasaan asing manapun.
Belanda (Hindia Belanda) mulai menanamkan kekuasaannya di Kesultanan Sambas pertama kali adalah pada tahun 1818 M dan saat itu posisi Hindia Belanda di Kesultanan Sambas itu masih sebagai mitra bagi Kesultanan Sambas (belum mengendalikan pemerintahan Kesultanan Sambas) di mana saat itu Hindia Belanda hanya sebatas menangani / mengatur Kongsi-Kongsi pertambangan emas yang ada di wilayah Kesultanan Sambas. Hindia Belanda mulai mengendalikan pemerintahan Kesultanan Sambas adalah sejak tahun 1855 M yaitu dimasa pemerintahan Sultan Sambas ke-12 yaitu Sultam Umar Kamaluddin (Raden Tokok).
a.      SULTAN MUHAMMAD ALI SHAFIUDDIN I (PANGERAN ANOM) SULTAN SAMBAS KE- 8
Pangeran Anom adalah salah salah seorang anak kecil dari Sultan Sambas ke 5 yaitu Sultan Umar Aqamaddin II, nama keclnya adalah Raden Pasu. Pangeran Anom memualai kariernya sebagai Panglima Kesultanan Sambas ketika masih berusia 17 tahun, dimasa pemerintahan Ayahandanya yaitu Sltan Umar Aqamaddin II selanjutnya ketka ayahnya wafat dan digantikan oleh Abang Pangeran Anom yaitu Sultan Abubakar Tajuddin I (Raden Mantri), Pangeran Anom menjabat sebagai Pangeran Bendahara (Wazir atau ketua Mentri), sekaligus juga sebagai Panglima Besar Kesultanan Sambas dan Kepala Armada Angkatan Laut Kesultanan Sambas yang didirikan pada tahun 1805 M. Ketika Ayahnya (Sultan Aqamaddin II) wafat dalam periode ke 2 pemerintahannya, , maka Abang Pangeran Anom yang bernama Raden Mantrti menggantikan Ayahnya dengan gelar Abubakar Tajuddin I (sultan sambas ke 7). Sultan Abubakar Tauddin I ini dengan Pangeran Anom ini adalah saudara kandung satu bapak yaitu Sultan Umar Aqamaddin II tetapi berlainan inu, Sultan Abubakar Tajuddin I adalah anak dari isteri pertama dan Pangran Anom adalah anak dari isteri ke 2. Setelah Sultan Abubakar Tajuddin I (Abang Pangeran Anom) wafat pada tahun 1815 M, maka Pangeran Anom kemudian diangkat sebagai Sultan Sambas selanjutnya (sultan sambas ke-8) dengan gelar Sultan Muhammad Ali Shafiuddin I.Pangern Anom kemudian menjadi Pangeran Besar Kesultanan Sambas yang sekaligus juga memimpin satu Armada Angkatn Laut Kesultanan Sambas yang terdiri dari 2 kapal layar dan 3 ting perahu pencalang. Armada Laut Kesultanan Sambas ini dibentuk pada sekitar tahun 1805 M oleh Pangeran Anom bersama dengan Abangnya yang menjadi Sultan Sambas saat itu yaitu Sultan Abubakar Tajuddin I. Armada Laut Kesultanan Sambas ini bertugas untuk menjaga kedaulatan wilayah perairan Kesultanan Sambas saat itu yaitu garis pantai yang membentang dari mulai Tanjung Datuk di utara (diatas Paloh) hingg ke sungai Duri di sebela Selatan. Armada Angkatan Laut Kesultanan Sambas ini dibentuk setelah seringnya serangan para bajak laut terutama bajak laut yang datang dari perairan Sulu dan pembakangan dari kapal-kapal Eropa khususnya kapal-kapal Inggris yang menolak untuk melakukan aktivitas perdagangan di wilayah Kesultanan Sambas dengan melalui pelabuhan induk Kesultanan Sambas yang berada di Sungai sambas di mana kapal-kapal Inggris ini dengan lancang  langsung mengadakan aktivitas dagang dipelabuhan-pelabuhan Kongsi Cins di Selakau dan Sedau yang merupakan wilayah Kesultanan Sambas tanpa melalui pelabuhan induk di Kesultanan Sambas. Kongsi-kongsi itu adalah perkumpulan orang-orang China yang berkelompok berdasarkan lokasi penambangan emas mereka. Orang-orang China ini didatangkan oleh Sultan sambas sejak tahun 1750 M yaitu untuk  mengerjakan pertambangan emas yang tersebar di wilayah Kesultanan Sambas seperti Monteraduk, seminis, Lara, Lmar, dan kemudian juga Pemangkat.  
Walaupun telah dibentuk armada angkatan laut Kesultanan Sambas ini, kapal-kapal Inggris masih dengan angkuhnya tetap melakukan aktivitas perdagangan di wilayah Kesultanan Sambas tanpa melalui pelabuhan induk di sungai sambas. Aturan mesti melewati pelabuhan induk ini merupakan aturan tata perdagangan pada Kerajaan di nusantara ini sejak zaman Sriwijaya sehingga sudah merupakan aturan yang sah dan resmi, yaitu apabila ada kapal asing yang tidak mau melewati pelabuhan induk maka kapal itu akan digiring, bila tidak mau digiring maka kapal itu akan diperangi dan bila kapal itu berhasil dikalahkan maka sebagai hukumannya, seluruh awak akan di tawan dan seluruh harta kapal akan dirampas menjadi milik armada Kerajaan yang memiliki wilayah itu.
Tetapi orang-orang eropa khususnya Inggris ini sering meremehkan kedaulatan dan kemampuan kerajaan di nusantara ini yang untuk kasus ini adalah Kesultanan Sambas. Hal ini kemudian membuat sering terjadinya pertempuran Laut antara kapal-kapal Inggris yang juga bersenjatakan meriam itu dengan armada angkatan laut Kesultanan Sambas dibawah pimpinan Pangeran Anom ini dan berkat ketangguhan Pangeran Anom dalam memimpin armada laut Kesultanan Sambas ini, dalam sekitar 4 atau 5 pertempuran laut yang terjadi, seluruhnya dapat dimenangkan oleh armada Pangeran Anom ini.
Hal ini kemudian berlanjut terus hingga kemudian menimbulkan semacam kondisi perang antara Kerajaan Inggris dengan Kesultanan Sambas di mana bila di mana-mana perairan ditemukan kapal Inggris pasti akan diserang oleh armada Kesultanan Sambas di bawah Pangeran Anom ini dan begitu pula sebaliknya. Tercatat dalam sejarah beberapa nama kapal Inggris yang telah ditaklukkan oleh armada laut Kesultanan Sambas ini yaitu kapal tranfers, cendana, dan yang terakhir adalah kapal dengan nama Commerce (yang oleh lidah Melayu Sambas di sebut kerimis).
Tanggal 11 Juli 1831, Sultan Usman Kamaluddin wafat, tahta kerajaan dilimpahkan kepada Sultan Umar Akamuddin III. Tanggal 5 Desember 1845 Sultan Umar Akamuddin III wafat, maka diangkatlah Putera Mahkota Raden Ishaq dengan gelar Sultan Abu Bakar Tadjuddin II. Tanggal 17 Januari 1848 putera sulung dia yang bernama Raden Afifuddin ditetapkan sebagai putera Mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Afifuddin. Tahun 1855, Sultan Abubakar Tadjuddin II diasingkan ke Jawa oleh pemerintah Belanda (kembali ke Sambas tahun 1879).
b.      SULTAN MUHAMMAD SHAFIUDDIN II (PANGERAN ADIPATI) SULTAN SAMBAS KE- 13
Pangeran Adipati adalah gelar penghormatan untuk Putra Mahkota. Pangeran Adipati yang dimaksud ini adalah Pangeran Adipati Afifuddin yaitu anak dari Sultan Sambas yang ke-11 yaitu Sultan Abubakar Tajuddin II. Sultan Abubakar Tajuddin Ii ini adalah Sultan Sambas terkahir yang berdaulat penuh di dalam Negeri Sambas karena pada masa pemerintahannyalah untuk pertama kalinya Belanda melakukan kudeta terselebung terhadap pemerintahannya melalui sepupu dari Sultan Abubakar Tajuddin II ini yang bernama Raden Tokok' yang kemudian menjadi Sultan Sambas ke-12 dengan gelar Sultan Umar Kamaluddin. Sebelum Sultan Abubakar Tajuddin II terpaksa turun dari tahta Kesultanan Sambas (tahun 1855)telah ada kesepakatan antara Sultan Abubakar Tajuddin dengan Raden Tokok' dan Belanda bahwa setelah Raden Tokok' menjadi Sultan Sambas yang akan menjadi Sultan Sambas berikutnya adalah anak dari Sultan Abubakar Tajuddin II yaitu Pangeran Adipati Afifuddin karena dimasa Sultan Abubakar Tajuddin II memerintah, Baginda telah mengangkat anaknya itu sebagai Putra Mahkota. Sejak kudeta terselubung inilah kekuatan Belanda mulai berpengaruh di Kesultanan Sambas sedangkan sebelumnya yaitu dari Sultan Sambas ke-1 (kesatu) (Sultan Muhammad Shafiuddin I) hingga separuh pemerintahan dari Sultan Sambas ke-11 (kesebelas) (Sultan Abubakar Tajuddin II) Sultan-Sultan Sambas berdaulat penuh artinya Kesultanan Sambas selama rentang masa itu tidak ada tunduk ataupun dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan luar manapun termasuk Belanda. Hindia Belanda mulai membuat perwakilannya di Kesultanan Sambas pada tahun 1819, namun saat itu Sultan Sambas masih mengendalikan penuh perwakilan Hindia Belanda itu. Pengaruh Belanda mulai berpengaruh di pemerintahan Kesultanan Sambas adalah sejak masa Sultan Sambas ke-12 itu yaitu Raden Tokok' / Sultan Umar Kamaluddin) yang naik tahta Kesultanan Sambas pada tahun 1855 M setelah dengan dukungan Belanda membuat kudeta terselebung terhadap Abang Sepupunya yang saat itu menjadi Sultan Sambas ke-11 (sebelas)yaitu Sultan Abubakar Tajuddin II / Raden Ishaq).
      Setelah menyelesaikan pendidikannya pada Sekolah Kebangsawanan di Batavia pada tahun 1861, Pangeran Adipati Afiffuddin pulang ke Sambas dan diangkat menjadi Sultan Muda. Baru pada tanggal 16 Agustus 1866 dia diangkat menjadi Sultan Sambas ke-13 dengan gelar Sultan Muhammad Shafiuddin II. Ia mempunyai dua orang istri. Dari istri pertama (Ratu Anom Kesumaningrat) dikaruniai seorang putera bernama Raden Ahmad dan kemudian diangkat sebagai Putera Mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Achmad. Dari istri kedua (Encik Nana) dikaruniai juga seorang putera bernama Raden Muhammad Aryadiningrat. Sebelum sempat menjadi Sultan Sambas, Putera Mahkota yaitu Pangeran Adipati Ahmad wafat mendahului ayahnya (Sultan Muhammad Shafiuddin II).Setelah Sultan Muhammad Shafiuddin II telah memerintah selama 56 tahun, Baginda merasa sudah lanjut usia, pada tahun 1924 Sultan Muhammad Shafiuddin mengundurkan diri dari tahta Kesultanan Sambas. Pada masa ini kekuasaan Hindia Belanda telah semakin kuat mengendalikan pemerintahan di Sambas di mana kemudian untuk menggantikan Sultan Muhammad Shafiuddin II yang mengundurkan diri, Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengangkat anak Sultan Muhammad Shafiuddin II yaitu Raden Muhammad Aryadiningrat sebagai Sultan Sambas selanjutnya (Sultan Sambas ke-14) dengan gelar Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II.
Setelah memerintah selama sekitar 4 tahun, pada tahun 1926, Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II wafat dan kemudian sebagai penggantinya, setelah sempat terjadi polemik menentukan sultan selanjutnya sekitar 5 tahun, pada tahun 1931, oleh Pemerintah Hindia Belanda diangkatlah keponakan Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II (Sultan Sambas ke-14) itu yang juga adalah cucu dari Sultan Muhammad Shafiuddin II (Sultan Sambas ke-13) yaitu Raden Muhammad Mulia Ibrahim sebagai Sultan Sambas ke-15 dengan gelar Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin.
      Dari 15 Sultan Sambas, ada 2 Sultan yang diangkat tidak berdasarkan aturan-temurun, yaitu Sultan Sambas ke-14 (Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II) pada tahun 1924 dan Sultan Sambas ke-15 (Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin) pada tahun 1931 di mana sultan-sultan ini diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda karena pada masa itu sudah begitu kuatnya pengaruh Belanda di wilayah Borneo Barat.
Belanda berkuasa sejak tahun 1930 di wilayah Kalimantan Barat dengan nama Westerafdeling Borneo beribukota di Pontianak. Sedangkan saat itu di Kesultanan Sambas yang menjadi Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin. Namun kesultanan dan kerajaan yang ada di wilayah Borneo Barat masih tetap eksis memerintah wilayah kekuasaannya masing-masing, namun untuk kebijakan-kebijakan yang bersifat penting misalnya bidang ekonomi dan luar negeri mesti mendapat persetujuan dari wakil Hindia Belanda yaitu Residen dan Asisten Residen.
c.       Masa Pendudukn Jepang
 Setelah memerintah kira-kira 4 tahun, Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II wafat. Pemerintahan Kesultanan Sambas diserahkan kepada keponakannya yaitu Raden Muhammad Mulia Ibrahim bin Pangeran Adipati Achmad bin Sultan Muhammad Shafiuddin II menjadi Sultan Sambas ke-15 dengan gelar Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin inilah, pasukan Jepang masuk ke Sambas. Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin kemudian menjadi salah seorang korban keganasan pasukan Jepang, yaitu bersama dengan sebagian besar raja-raja lainnya yang ada di wilayah Borneo Barat ini dibunuh pasukan Jepang di daerah Mandor.
Setelah jepang di bom atom oleh Sekutu, Pemerintahan Kesultanan Sambas berdiri kembali oleh sebuah Majelis Kesultanan Sambas dibawah pimpinan Pangeran Tumenggung Jaya Kesuma Muchsin Panji Anom, hingga kemudian dengan terbentuknya Republik Indonesia Serikat, Majelis Kesultanan Sambas kemudian memutuskan untuk bergabung dalam Republik Indonesia Serikat melalui Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) pada tahun 1950.
Peristiwa Mandor adalah peristiwa pembantaian massal yang menurut catatan sejarah terjadi pada tanggal 28 Juni 1944. Peristiwa Mandor ini sendiri sering dikenang dengan istilah Tragedi Mandor Berdarah yaitu telah terjadi pembantaian massal tanpa batas etnis dan ras oleh tentara Jepang.

Lahirnya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2007 tentang Peristiwa Mandor pada 28 Juni Sebagai Hari Berkabung Daerah Provinsi Kalimantan Barat melalui paripurna DPRD Kalimantan Barat merupakan bentuk kepedulian sekaligus apresiasi dari DPRD terhadap perjuangan pergerakan nasional yang terjadi di Mandor
Menurut data yang ada, jumlah korban dari peristiwa Mandor tersebut adalah ± 21.037 orang, namun Jepang menolaknya dan menganggap hanya 1.000 korban saja.[3]. Peristiwa mandor terjadi akibat ketidaksukaan penjajah Jepang terhadap para pemberontak. Karena ketika itu Jepang ingin menguasai seluruh kekayaan yang ada di Bumi Kalimantan Barat. Sebelum terjadi peristiwa Mandor terdapat peristiwa cap kapak dimana kala itu pemerintah Jepang mendobrak pintu - pintu rumah rakyat mereka tidak ingin terjadi pemberontakan di Kalimantan Barat. Meskipun demikian ternyata menurut sejarah yang dibantai bukan hanya kaum cendekiawan maupun feodal namun juga rakyat-rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa.
Jepang memang telah menyusun rencana genosida untuk memberangus semangat perlawanan rakyat Kalimantan Barat kala itu. Sebuah harian Jepang Borneo Shinbun, koran yang terbit pada masa itu, mengungkap rencana tentara negeri samurai itu untuk membungkam kelompok pembangkang kebijakan politik perang Jepang.
d.      Peninggalan Kesultanan Sambas
Peninggalan dari jejak Kesultanan Sambas yang masih ada hingga saat ini adalah Masjid Jami' Kesultanan Sambas, Istana Istana Alwatzikhubillah, Makam-makam Sultan Sambas dari Sultan Sambas pertama hingga Sultan Sambas ke-14, serta sebagian alat-alat kebesaran kerajaan seperti tempat tidur sultan terakhir, kaca hias, seperangkat alat untuk makan sirih, pakaian kebesaran sultan, payung ubur-ubur, tombak canggah, 3 buah meriam canon di depan istana dan 2 buah meriam lele, 2 buah tempayan keramik dari negeri Tiongkok dan 4 buah kaca cermin besar dari Kerajaan Perancis dan 2 buah kaca cermin besar dari Belanda. Sebagian besar barang-barang peninggalan Kesultanan Sambas lainnya telah hilang atau terjual oleh oknum tertentu, namun secara fisik jejak Kesultanan Sambas masih terlihat jelas dan terasa kuat di Sambas ini. Juga Keturunan dari Sultan-Sultan Sambas ini bertebaran di wilayah Kalimantan Barat, baik di Sambas, Singkawang, dan Pontianak yang sebagiannya masih menggunakan gelar Raden.
e.       Sultan-Sultan Sambas
1.      Sultan Muhammad Shafiuddin I bin Sultan Ibrahim Ali Omar Shah (Sultan Tengah) (1671-1682)
2.      Sultan Muhammad Tajuddin Bin Sultan Muhammad Shafiuddin I (1682-1718)
3.      Sultan Umar Aqamaddin I bin sultan Muhammad Tajuddin (1718-1732)
4.      Sultan Abubakar Kamaluddin bin Sultan Umar aqamaddin I (1732-1762)
5.      Sultan Umr Aqamaddin II bin Sultan Abubakar Kamaluddin (1762-187) dan (1793-1802)
6.      Sultan Achmad Tajuddin bin Sultan Umar Aqamaddin II (1786-1793)
7.      Sultan Abubakar Tajuddin I bin Sultan Umar Aqamaddin II (1802-1815)
8.      Sultan Muhammad Ali Shafiuddin I bin Sultan Umar Aqamaddin II (1815-1828)
9.      Sultan Usman Kamaluddin bin Sultan Umar Aqamaddin II (1828-1832)
10.  Sultan Umar Aqamaddin III bin Sultan Umar Aqamaddin II (1832-1846)
11.  Sultan Abubakar Tajuddin Ii bin Sultan Muhammad Ali Shafiuddin I (1846-1854)
12.  Sultan Umar Kamaluddin bin Sultan Umar Aqamaddin III (1854-1866)
13.  Sultan Muhammad Shafiuddin II bin Sultan Abubakar Tajuddin II (1866-1924)
14.  Sultan Muhammd Ali Shafiuddin II bin Sultan Muhammad Shafiuddin II (!924-1926)
15.  Sultan Muhammad Ibrahim Shafiuddin bin Pangeran Adipati Achmad bin Sultan Muhammad Shafiuddin II (1931-1944) (Sultan Sambas terakhir)
16.  Pangeran Ratu Muhammad Taufik bin Sultan Muhammad Ibrahim Shafiuddin (1944-1984) (Kepala Rumah Tangga Istana Kesultanan Sambas)
17.  Pangeran Ratu Winata Kusuma bin Pangeran Ratu Muhammad Taufik (2000-2008) (Kepala Rumah Tangga Istana Kesultanan Sambas)
18.  Pangeran Ratu Muhammad Tarhan bin Pangeran Ratu Winata Kusuma (2008-sekarang) sebagai Pewaris Kepala Rumah Tangga Istana Keslutanan Sambas.
Adapun urutan para Kepala Pemerintahan Kesultanan Sambas yang pernah memerintah dari berdirinya kesultanan Sambas tahun 1671 hingga berakhirnya pemerintahn Kesultanan Sambas dengan bergabung kepada RIS pada tahun 1950 adalah sebagai berikut:
Sultan Muhammad Shafiuddin I (Raden Sulaiman bin Sultan Tengah) Tahun : 1671 - 1682 M

2.   Sultan Muhammad Tajuddin I (Raden Bima bin Sultan Muhammad Shafiuddin I )Tahun : 1682 - 1718 M

3.   Sultan Umar Aqamaddin I (Raden Mulia / Meliau bin Sultan Muhammad Tajuddin I) Tahun : 1718 - 1732 M

4.   Sultan Abubakar Kamaluddin (Raden Bungsu bin Sultan Umar Aqamaddin I) Tahun : 1732 M - 1762 M

4.      Sultan Umar Aqamaddin II (Raden Jamak bin Sultan Abubakar Kamaluddin) Tahun : 1762 - 1786 M & 1793 - 1802 M
5.      Sultan Umar Aqamaddin II (Raden Jamak bin Sultan Abubakar Kamaluddin) ( 1762-1786) dan !793-1802 M
6.      Sultan Muhammad Tajuddin II (Raden Ahmad atau Gayong bin Sultan Umar Aqamaddin II) tahun 1786-1793 M
7.      Sultan Abubakar Tajuddin II (Raden Mantri bin Sultan Umar Aqamaddin II) (1802-1815 M)
8.      Ultan Muhammad Ali Shafiuddin I (Raden Anom atau Pasu bin Sultan Umar Aqamaddin II) tahun 1815-1828 M
9.      Sultan Usman Kamaluddin (Raden sumba b9n Umar Aqamaddin II) 1828-1830 M
10.  Sultan Umar Aqamaddin III (Raden Semar bin Sultan Umar Aqamaddin II) 1830-1846 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MOHON COMMENT NYA :)
ATAU LIKE NYA (Y) TERIMA KASIH

ILMU KALAM

  ILMU KALAM Disusun Untuk Memenuhi Matakuliah Ikmu kalam Dosen pengampu :Ismail, S,Pdi,M.Pd.I     Disusun Oleh : Nyemas u...