MAKALAH
AWAL MASUKNYA
ISLAM DI ISTANA ALWATZIKOEBILLAH SAMBAS DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA
KULIAH SEJARAH PERADABAN ISLAM II
Dosen Pengampu: Hj. Ma’ruf,
Disusun Oleh:
Siti Maryam (11511096)
Sahrul (11511091)
Azlansyah (11511)
Sholihin (11511)
Puput Noviani (11511)
Siti Septiyasari Putri Utami (11511098)
Ratna Sari (11511088)
Rudi Kurniadi (11511)
Nur Eka Sari (11511)
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PONTIANAK
2015/2016
KATA PENGANTAR
Allhamdulillahhirobbil’alamin wasyukurillah segala puji syukur
kepada Allah SWT. Yang telah memberikan
karunia serta berkah kepada penyusun karena telah memberikan kelancaran dan
kemudahan sehingga kami sebagai penyusun dapat menyelesaikan makalah ini.
Tujuan dari penyusun membuat tugas ini adalah untuk memperluas
pengetahuan yang kami miliki. Adapun kendala-kendala yang kami hadapi yaitu
kurangnya materi yang kami kumpulkan.
Dalam pembuatan tugas ini, walaupun dalam bentuk sederhana kami berusaha
membuat sebaik-baiknya agar dapat di mengerti dan di pahami sehingga dapat
bermanfaat untuk menambah pengetahuan kita bersama.
Kami menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, saran dan keritik yang
membangun dari semua pihak sangat kami harapkan. Semoga tugas ini akan membantu
dalam meningkatkan pengetahuan.
DAFTAR
ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
KATA PENGANTAR........................................................................................ ii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah.............................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................... 2
A.
Pengertian Lambang
Kesultanan Sambas.................................................... 2
B.
Profil Sambas............................................................................................... 4
C.
Sejarah Pendirian.......................................................................................... 6
D.
Perkembangan.............................................................................................. 6
E.
Sultan Muhammad Ali
Shafiuddin I..............................................................
F.
Sultan Muhammad
Shafiuddin II
G.
Batas Kekuasaan
Kesultanan Sambas.......................................................... 8
H.
Masa Pendudukan Jepang.......................................................................... 11
I.
Peninggalan Kesultanan
Sambas....................................................................
J.
Sultan-sultan Sambas.....................................................................................
BAB III PENUTUP......................................................................................... 13
A.
Kesimpulan................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 14
BAB
II
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kesultanan
Sambas adalah kesultanan yang terletak di wilayah pesisir utara Provinsi
Kalimantan Barat atau wilayah barat laut Pulau Kalimantan dengan pusat pemerintahannya
adalah di Kota Sambas sekarang. Kesultanan Sambas adalah penerus pemerintahan
dari kerajaan-kerajaan Sambas sebelumnya. Kerajaan yang bernama
"Sambas" di wilayah ini paling tidak telah berdiri dan berkembang
sebelum abad ke-14 M sebagaimana yang tercantum dalam Kitab Negarakertagama
karya Mpu Prapanca. Pada masa itu rajanya bergelar "Nek", salah
satunya bernama Nek Riuh. Setelah masa Nek Riuh, pada sekitar abad ke-15 M
muncul pemerintahan raja yang bernama Tan Unggal yang terkenal sangat kejam.
Karena kekejamannya ini Raja Tan Unggal kemudian dikudeta oleh rakyat dan
setelah itu selama puluhan tahun rakyat di wilayah Sungai Sambas ini tidak mau
mengangkat raja lagi. Pada masa kekosongan pemerintahan di wilayah Sungai
Sambas inilah kemudian pada awal abad ke-16 M (1530) datang serombongan besar
orang-orang dari Pulau Jawa (sekitar lebih dari 500 orang) yaitu dari kalangan
Bangsawan Kerajaan Majapahit yang masih beragama Hindu, yaitu keturunan dari
Raja Majapahit sebelumnya yang bernama Wikramawardhana.
Pada saat
itu di pesisir dan tengah wilayah Sungai Sambas ini telah sejak ratusan tahun
didiami oleh orang-orang Melayu yang telah mengalami asimilasi dengan
orang-orang Dayak pesisir di mana karena saat itu wilayah ini sedang tidak
ber-Raja (sepeninggal Raja Tan Unggal) maka kedatangan rombongan pelarian
Majapahit ini berjalan mulus tanpa menimbulkan konflik. Rombongan Majapahit ini
kemudian menetap di hulu Sungai Sambas yaitu di suatu tempat yang sekarang
disebut dengan nama "Kota Lama". Setelah sekitar lebih dari 10 tahun
menetap di "Kota Lama" dan melihat keadaan wilayah Sungai Sambas ini
aman dan kondusif maka kemudian para pelarian Majapahit ini mendirikan sebuah
Kerajaan hindu yang kemudian disebut dengan nama "Panembahan Sambas".
Raja Panembahan Sambas ini bergelar "Ratu" (Raja Laki-laki) di mana
Raja yang pertama tidak diketahui namanya yang kemudian setelah wafat
digantikan oleh anaknya yang bergelar Ratu Timbang Paseban, setelah Ratu
Timbang Paseban wafat lalu digantikan oleh adindanya yang bergelar Ratu
Sapudak. Pada masa Ratu Sapudak inilah untuk pertama kalinya diadakan kerjasama
perdagangan antara Panembahan Sambas ini dengan VOC yaitu pada tahun 1609.
Pada masa
Ratu Sapudak inilah rombongan Sultan Tengah (Sultan Sarawak ke-1) bin Sultan
Muhammad Hasan (Sultan Brunei ke-9) datang dari Kesultanan Sukadana ke wilayah
Sungai Sambas dan kemudian menetap di wilayah Sungai Sambas ini (daerah
Kembayat Sri Negara). Anak laki-laki sulung Sultan Tengah yang bernama Sulaiman
kemudian dinikahkan dengan anak bungsu Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu
sehingga nama Sulaiman kemudian berubah menjadi Raden Sulaiman. Raden Sulaiman
inilah yang kemudian setelah keruntuhan Panembahan Sambas di Kota Lama
mendirikan Kerajaan baru yaitu Kesultanan Sambas dengan Raden Sulaiman menjadi
Sultan Sambas pertama bergelar Sultan Muhammad Shafiuddin I yaitu pada tahun
1671.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah makna dari Lambang Kesultanan
Sambas?
2.
Seperti apakah profil Sambas?
3.
Bagaimanakah Sejarah Kesultanan Islam
Sambas?
4.
Bagaimanakah Perkembangan Kesultanan
Sambas?
5.
Seperti apakah pengaruh Peristiwa Mandor
di Kesultanan Sambas?
6.
Seluas apakah Batas dari kekukasaan
Sultan Sambas?
7.
Apa sajakah peninggalan-peninggalan dari
Kesultanan Sambas?
8.
Siapa sajakah yang menjadi sultan-sultan
Sambas?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Lambang Kesultanan Sambas
1. Lambang
Kerajaan pada Masa Sultan Muhammad Ibrahim Mulia Tsafiuddin (1931-1943) Sultan
Sambas ke-15
Lambang ini
digunakan pada masa Sulthan Muhammad Mulia Ibrahim Tsafiuddin , Sulthan Sambas
ke – 15 yang berkuasa di Kerajaan Sambas.
Adapun
lambang yang digunakan adalah
merupakan tangan kanan menggenggam tiang
perisai , menggenggam pula setangkai buah padi berdaun Sembilan dan setangkai
bunga kapas berdaun delapan, ditengah – tengah sebuah perisai berbentuk bujur
telur dan didalamnya berupa belahan jantung bertulisan hurup Arab
Alwatzhikubillah, dibelakang perisai itu sebuah payung kuning bersilang dengan
sebilah pedang terhunus dan diatas perisai itu sebuah mahkota.
Makna dari
lambang tersebut adalah sebagai berikut :
·
Tangan Kanan Melambangkan
kekuasaan yang dimiliki oleh Yang Mulia Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Tsafiuddin
·
Setangkai Buah Padi Berdaun 9 dan Setangkai Bunga
Kapas Berdaun 8 Melambangkan Yang Mulia Sulthan Muhammad Mulia Ibrahim
Tsafiuddin adalah Sulthan yang Kesembilan apabila di tarik dari Sulthan yang
pertama yaitu
1. Sulthan Muhammad Tsafiuddin I
2. Sulthan Muhammad Tajuddin
3. Sulthan Umar Aqamaddin I
4. Sulthan Abubakar Kamaluddin
5. Sulthan Umar Aqamaddin II
6. Sulthan Muhammad Ali Tsafiuddin I
2. Lambang
Kerajaan pada masa Sultan Muhammad Tsafiudin II (1866-1922) Sultan Sambas ke 13
Lambang ini
digunakan pada masa Sultan Muhammad Tsafiuddin II , Sultan Sambas ke-13 yang berkuasa dikerajaan Sambas 1866 – 1922 M . Adapun lambang yang
digunakan ini adalah lambang berbentuk
lingkaran yang merupakan
kombinasi antara Bulan Sabit dan Bintang Tiga Belas , dimana didalam Bintang
tiga Belas itu terdapat lingkaran dan didalam lingkaran itu bertuliskan
Alwatzikhubillah dengan hurup kaligrafi Arab, sedangkan didalam Bulan Sabit
bertuliskan Sulthan Muhammad Tsafiuddin dalam huruf Arab.
Makna dari lambang tersebut adalah
sebagai berikut:
1.
Bulan Sabit yang bertuliskan Sultan Muhammad
Tsafiuddin melambangkan bahwa Sultan yang memerintah pada masa itu
adalah Sultan Muhammad Tsafiuddin II dan kerajaan yang diperintah merupakan
kerajaan Sambas Islam.
2.
Bintang tiga belas melambangkan bahwa Sultah
Tsafiuddin adalah Sultan yang ketiga belas yang memerintah kerajaan Sambas.
3.
Alwatzikhubillah
artinya berpegang teguh dengan tali Allah bermakna bahwa dalam memerintah Sultan
harus berlandaskan agama Islam yaitu berpegang teguh dengan hukum Allah dan
Hadist Nabi Muhammad SAW.
3.Lambang yang terdapat di Istana Sultan Muhammad
Mulia Ibrahim Tsafiudin
Adapun lambang yang terdapat di Istana Sulthan Muhammad mulia Ibrahim
Tsafiuddin adalah Bintang Tiga Belas yang didalamnya terdapat tulisan angka 9 ,
diapit oleh dua Ekor Elang Laut dan
dibawahnya terdapat tulisan Alwatzikhoebillah. Istana mulai dibangun pada 15 Juli
1933 dan ditempati pada pada 6 Juli 1935.
Makna dari lambang tersebut
adalah :
·
Bintang Tiga Belas yang didalamnya terdapat tulisan
angka 9 bermakna bahwa Istana ini dibuat oleh Sultan yang kalau ditarik dari
Sultan pertama , yang bergelar
Sultan merupakan keturunan yang
kesembilan yaitu Sultan Muhammad Mulia
Ibrahim Tsafiuddin , Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Tsafiuddin merupakan cucu
Sultan Muhammad Tsafiuddin II yaitu
Sulthan ketiga belas .
·
Dua Ekor
Elang Laut melambangkan bahwa kerajaan Sambas pernah berjaya dan mempunyai
angkatan laut yang kuat.
·
Alwatzikhoebillah artinya artinya berpegang
teguh dengan tali Allah bermakna bahwa dalam memerintah Sulthan harus
berlandaskan agama Islam yaitu berpegang teguh dengan hukum Allah dan Hadist
Nabi Muhammad SAW.
B.
Profil
Sambas
Pada awalnya Sambas bukanlah nama suku, akan tetapi
nama tempat/wilayah dan nama Kerajaan yang berada tepat di pertemuan 3 sungai
yaitu sungai Sambas Kecil, sungai Subah dan sungai Teberau yang lebih dikenal dengan
Muara Ulakan. Seluruh masyarakat asli Kalimantan sendiri sebenarnya adalah
Serumpun, Antara Ngaju, Maanyan, Iban, Kenyah, Kayatn, Kutai ( Lawangan -
Tonyoi - Benuaq ), Banjar ( Ngaju, Iban , maanyan, dll ), Tidung, Paser, dan
lainnya. Hanya saja Permasalahan Politik Penguasa dan Agama menjadi jurang
pemisah antara keluarga besar ini. Mereka yang meninggalkan kepercayaan lama
akhirnya meninggalkan adatnya karena lebih menerima kepercayaan baru dan
berevolusi menjadi Masyarakat Melayu Muda. Khususnya dalam Islam maupun
Nasrani, hal - hal adat yang bertolak belakang dengan ajaran akan ditinggalkan.
Sedangkan yang tetap teguh dengan kepercayaan lama disebut dengan Dayak.
Adat-istiadat lama Suku Melayu Sambas banyak kesamaan dengan adat-istiadat Suku
Dayak rumpun Melayik misalnya; tumpang 1000, tepung tawar, dan lainnya yang
bernuansa Hindu.
Perubahan Suku Sambas secara drastis setelah masuk
Islam, hampir menghapus jejak asal muasalnya Suku asli yang mendiami pulau
Kalimantan yaitu Dayak. Kebudayaan Melayu yang dianggap lebih
"beradab", membantu menghilangkan budaya Dayak pada Suku Sambas
dengan cepat. Sehingga Sambas yang dahulunya beragama Hindu Kaharingan
kehilangan jejak Kaharingan, walaupun sebagian kecil ada yang tersisa.
Akibatnya orang lebih yakin Sambas adalah Melayu, padahal tidaklah demikian.
Tentu saja segala hal dalam adat lawas dianggap syirik (bertentangan dengan
agama) jadi harus dimusnahkan dan ditinggalkan.
berdasarkan kajian dengan pendekatan sejarah, asal
usul masyarakat yang sekarang disebut Melayu Sambas adalah hasil asimilasi
beberapa suku bangsa di Nusantara yaitu yang sekarang disebut Melayu Sambas
adalah asimilasi dari Orang Melayu (yang datang dari Sumatera dan Semenanjung
Malaya sekitar abad ke-5 M hingga 9 M pada masa Kerajaan Malayu atau masa awal
Kerajaan Sriwijaya), Orang Dayak (penduduk lebih awal yang secara turun temurun
sebelumnya telah mendiami Sungai Sambas dan percabangannya), Orang Jawa (yaitu
serombongan besar Bangsawan Majapahit keturunan Wikramawardhana bersama para pengukutnya
yang melarikan diri secara boyongan dari Majapahit karena perang sesama
Bangsawan di Majapahit pada awal abad ke-15 M yang kemudian mendirikan sebuah
Panembahan di wilayah Sungai Sambas) serta Orang Bugis (para Nakhoda dan
pembuat kapal bersama keluarganya dari Sulawesi yang kemudian membentuk sebuah
perkampungan Bugis yang bekerja untuk Sultan-Sultan Sambas pada masa awal dan
pertengahan Kesultanan Sambas).
Pada masa Kerajaan (Kesultanan Sambas) masyarakat
Melayu Sambas juga terkenal sangat Agamis (Islam) yang paling terkemuka di
Kalimantan Barat sehingga sempat disebut sebagai "Serambi Makkah"
Kalimantan Barat. Pada masa Kerajaan, Ulama-Ulama Islam dari Kesultanan Sambas
sangat terkemuka dibanding Kerajan-Kerajaan lainnya di Kalimantan Barat ini, bahkan
Ulama-Ulama Islam dari Kesultanan Sambas telah ada yang berkaliber
Internasional misalnya pada abad ke-19 M ada Ulama Kesultanan Sambas yang
bernama Shekh Khatib Achmad As Sambasi yang menjadi Ulama di Makkah Al
Mukarramah dan menjadi Pemimpin Ulama-Ulama Nusantara yang menuntut Ilmu Agama
di Makkah dengan gelar Shekh Sharif Kamil Mukammil. Kemudian pada abad ke-20 M
ada Ulama Kesultanan Sambas bernama Shekh Muhammad Basuni Imran (Mufti
Kesultanan Sambas) yang adalah lulusan Al Azhar kairo, Mesir yang terkenal di
Timur Tengah karena suratnya kepada Mufti Mesir yang berjudul "Mengapa
Umat Islam saat ini Mengalami Kemunduran". Jejak kejayaan Islam di Sambas
itu yang masih tampak pada sekitar tahun 80-an di mana Qori-qori dari Sambas
cukup mendominasi dalam mewakili Kalimantan Barat di tingkat Nasional dan
Internasional.
C.
Sejarah
Pendirian
1. Pendirian
Sebelum berdirinya Kesultanan Sambas 1671 sebelumnya telah berdiri
kerajaan-kerajaan yang menguasai wilyah ini. Diantaranya adalah: Kerajaan
Wijaya Pura (7 M- 9M), Kerajaan Nek Riuk (13-14 M), Kerajaan Tan Unggal (15 M),
Panembahan Sambas (16 M), Kesultanan Sambas (17-20 M).
Secara otentik Kerajaan
Sambas telah ada sejak 13 M, hal ini tercantum dalam kitab Negarakartagama
karangan Mpu Prapanca pada masa Majapahit. Kemungkinan besar bahwa Kerajaan
Sambas saat itu rajanya bernama Nek Riuh. Walaupun secara otentik Kerajaan
Sambas tercatat sejak abad ke-13 M, namun demikian berdasarkan benda-benda
arkeologis (berupa gerabah, patung dari masa Hindu) yang ditemukan selama ini
di wilayah sekitar Sungai Sambas menunjukkan bahwa pada sekitar abad ke-6 M
atau 7 M di wilayah ini diyakini telah berdiri sebuah kerajaan. Hal ini
ditambah lagi dengan melihat posisi wilayah Sambas yang berhampiran dengan
Selat Malaka yang merupakan lalu lintas dunia, sehingga diyakini bahwa pada
sekitar abad ke-5 hingga 7 M di wilayah Sungai Sambas ini telah berdiri
Kerajaan Sambas yaitu lebih kurang bersamaan dengan masa berdirinya Kerajaan
Batu Laras di hulu Sungai Keriau yaitu sebelum berdirinya Kerajaan Tanjungpura.
Kedatangan rombongan
Majapahit ke Sambas berjalan lancer hal ini dikarenakan saat itu daerah Sambas
sedang mengalami kekosongan kekuasaan setelah meninggalnya Raja Tan Unggal.
Selain karena kekosongan kekuasaan kelancaran ini juga dikarenakan kepercyaan
mereka sama-sama beragama Hindu. Jadi pada waktu itu belum ada istilah “Melayu
atau Dayak”. Istilah atau penyebutan itu ada setelah masuknya Islam. Penduduk
yang kemudian masuk Islam dinamakan "Melayu" dan penduduk yang masih
menganut Hindu (Kaharingan) dinamakan "Dayak" (Dayak artinya
"orang hulu", yakni orang yang tinggal di hulu sungai atau
pedalaman). Disebut orang pedalaman atau hulu bukan karena mereka terdesak oleh
masuknya Islam tapi karena memang mereka belum tersentuh oleh syiar Islam,
disebabkan mereka tinggal jauh di pedalaman. Pada waktu itu Islam umumnya
memang disyiarkan oleh pedagang-pedagan dari Gujarat, Hadramaut, dan dari
Tiongkok. Pedagang-pedagang dan penjelajah lautan ini hanya singgah dan
berdagang di daerah pesisir.
Sedangkan sejarah
berdirinya Kesultanan Sambas bermula di Kesultanan Brunei yaitu ketika Sultan
Brunei ke-9 --Sultan Muhammad Hasan wafat pada tahun 1598, maka kemudian
putranya yang sulung menggantikannya dengan gelar Sultan Abdul Jalilul Akbar.
Ketika Sultan Abdul Jalilul Akbar telah memerintah puluhan tahun kemudian
muncul saingan untuk menggantikan dari Adinda Sultan Abdul Jalilul Akbar yang
bernama Pangeran Muda Tengah. Untuk menghindari terjadinya perebutan kekuasaan
maka Baginda Sultan Abdul Jalilul Akbar membuat kebijaksanaan untuk memberikan
sebagai wilayah kekuasaan Kesultanan Brunei yaitu daerah Sarawak kepada
Pangeran Muda Tengah. Maka kemudian pada tahun 1629, Pangeran Muda Tengah
menjadi Sultan di Sarawak sebagai Sultan Sarawak pertama dengan gelar Sultan
Ibrahim Ali Omar Shah yang kemudian Baginda lebih populer di kenal dengan nama
Sultan tengah atau Raja Tengah yaitu merujuk kepada gelarnya sebelum menjadi
Sultan yaitu Pangeran Muda Tengah.
Setelah sekitar 2 tahun
memerintah di Kesultanan Sarawak yang berpusat di Sungai Bedil (Kuching
sekarang), Sultan Tengah kemudian melakukan kunjungan ke Kesultanan Johor. Saat
itu di Kesultanan Johor yang menjadi sultan adalah Sultan Abdul Jalil (Raja
Bujang) di mana permaisuri Sultan Abdul Jalil ini adalah Mak Muda dari Sultan
Tengah. Sewaktu di Kesultanan Johor ini terjadi kesalahpahaman antara Sultan
Tengah dengan Sultan Abdul Jalil sehingga kemudian membuat Sultan Tengah dan
rombongannya harus pulang dengan tergesa-gesa ke Sarawak sedangkan saat itu
sebenarnya bukan angin yang baik untuk melakukan pelayaran. Oleh karena itulah
maka ketika sampai di laut lewat dari Selat Malaka, kapal rombongan Sultan
Tengah ini dihantam badai. Setelah terombang-ambing di laut satu hari satu
malam, kapal Sultan Tengah tenyata telah terdampar di pantai yang adalah
wilayah kekuasaan Kesultanan Sukadana. Pada saat itu yang menjadi sultan di
Kesultanan Sukadana adalah Sultan Muhammad Shafiuddin (Digiri Mustika) yang
baru saja kedatangan utusan Amir Makkah yaitu Shekh Shamsuddin yang mengesahkan
gelaran Sultan Muhammad Shafiuddin ini. Sebelum ke Kesultanan Sukadana, Shekh
Shamsuddin telah berkunjung pula ke Kesultanan Banten yang juga mengesahkan
gelaran Sultan Banten pada tahun yang sama.
Sultan Tengah dan rombongannya kemudian disambut dengan baik oleh Sultan
Muhammad Shafiuddin. Setelah tinggal beberapa lama di Kesultanan Sukadana,
setelah melihat kepribadian Sultan Tengah yang baik, maka kemudian Sultan
Muhammad Shafiuddin mencoba menjodohkan Sultan Tengah dengan putrinya yang
bernama Putri Surya Kesuma. Sultan Tengah pun kemudian menerima perjodohan ini.
Setelah menikah dengan Putri Surya Kesuma ini Sultan Tengah kemudian memutuskan
untuk menetap sementara di Kesultanan Sukadana sambil menunggu situasi yang
aman di sekitar Selat Malaka menyusul adanya ekspansi besar-besaran dari
Kesultanan Johor dibawah pimpinan Sultan Abdul Jalil (Raja Bujang) di wilayah
itu. Dari pernikahannya dengan Putri Surya Kesuma ini Sultan Tengah kemudian
memperoleh seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Sulaiman.
Setelah sekitar 7 tahun menetap di Kesultanan Sukadana dan situasi di
sekitar Selat Malaka masih belum aman dari ekspansi Sultan Abdul Jalil (Raja
Bujang) itu, maka Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan untuk berpindah
dari Kesultanan Sukadana untuk menetap di tempat baru yaitu wilayah Sungai
Sambas karena sebelumnya Sultan Tengah telah mendengar sewaktu di Sukadana
bahwa di sekitar Sungai Sambas terdapat sebuah Kerajaan yang berhubungan baik
dengan Kesultanan Sukadana yaitu Panembahan Sambas.
Maka kemudian pada tahun 1638 berangkatlah rombongan Sultan Tengah beserta
keluarga dan orang-orangnya dengan menggunakan 40 perahu yang lengkap dengan
senjata dari Kesultanan Sukadana menuju Panembahan Sambas di Sungai Sambas.
Setelah sampai di Sungai Sambas, rombongan Sultan Tengah ini kemudian disambut
dengan baik oleh Raja Panembahan Sambas saat itu yaitu Ratu Sapudak. Rombongan
Sultan Tengah ini kemudian dipersilahkan oleh Ratu Sapudak untuk menetap di
sebuah tempat tak jauh dari pusat pemerintahan Panembahan Sambas.
Tidak lama setelah Sultan Tengah beserta keluarga dan orang-orangnya
tinggal di Panembahan Sambas, Ratu Sapudak kemudian meninggal secara mendadak.
Sebagai penggantinya maka kemudian diangkatlah keponakan Ratu Sapudak yang
bernama Raden Kencana (Anak Ratu Timbang Paseban). Raden Kencana ini adalah
juga menantu dari Ratu Sapudak karena mengawini anak Ratu Sapudak yang
perempuan bernama Mas Ayu Anom. Setelah menaiki tahta Panembahan Sambas, Raden
Kencana ini kemudian bergelar Ratu Anom Kesumayuda.
Setelah sekitar 10 tahun Sultan Tengah menetap di wilayah Panembahan
Sambas dan anaknya yang sulung yaitu Sulaiman sudah beranjak dewasa maka
kemudian Sulaiman dijodohkan dan kemudian menikah dengan anak perempuan
Almarhum Ratu Sapudak yang bungsu bernama Mas Ayu Bungsu. Karena pernikahan
inilah maka Sulaiman kemudian dianugerahi gelar Raden oleh Panembahan Sambas
sehingga nama menjadi Raden Sulaiman dan selanjuntnya tinggal di lingkungan
Istana Panembahan Sambas bersama Mas Ayu Bungsu. Dari pernikahannya dengan Mas
Ayu Bungsu ini, Raden Sulaiman memperoleh seorang anak pertama yaitu seorang
anak laki-laki yang kemudian diberi nama Raden Bima. Raden Sulaiman kemudian
diangkat oleh Ratu Anom Kesumayuda menjadi salah satu Menteri Besar Panembahan
Sambas bersama dengan Adinda Ratu Anom Kesumayuda yang bernama Raden Arya
Mangkurat.
Tidak lama setelah kelahiran cucu Sultan Tengah yaitu Raden Bima, dan
setelah melihat situasi yang sudah mulai aman di sekitar Selat Malaka apalagi
setelah melihat anaknya yang sulung yaitu Raden Sulaiman telah menikah dan
mandiri bahkan telah menjadi Menteri Besar Panembahan Sambas, maka Baginda
Sultan Tengah kemudian memutuskan sudah saatnya untuk kembali ke negerinya yang
telah lama di tinggalkan yaitu Kesultanan Sarawak. Maka kemudian berangkatlah
Sultan Tengah beserta istrinya yaitu Putri Surya Kesuma dan keempat anaknya
yang lain (adik-adik dari Raden Sulaiman) yaitu Badaruddin, Abdul Wahab, Rasmi
Putri dan Ratna Dewi beserta orang-orangnya yaitu pada sekitar tahun 1652.
Ditengah
perjalanan ketika telah hampir sampai ke Sarawak yaitu di suatu tempat yang
bernama Batu Buaya, secara tiba-tiba Sultan Tengah ditikam dari belakang oleh
pengawalnya sendri, pengawal itu kemudian dibalas tikam oleh Sultan Tengah
hingga pengawal itu tewas. Namun
luka yang di tubuh Sultan Tengah terlalu parah sehingga kemudian Sultan Tengah
pun wafat. Jenazah Baginda Sultan Tengah kemudian setelah di shalatkan kemudian
dengan adat kebesaran Kesultanan Sarawak oleh Menteri-Menteri Besar Kesultanan
Sarawak, dimakamkan di lereng Gunung Sentubong. Adapun Putri Surya Kesuma
setelah kewafatan suaminya yaitu Almarhum Sultan Tengah, kemudian memutuskan
untuk kembali ke Kesultanan Sukadana yaitu tempat di mana ia berasal bersama
dengan keempat anaknya.
Di Panembahan Sambas, sepeninggal Ayahnya yaitu
Baginda Sultan Tengah, Raden Sulaiman mendapat tentangan yang keras dari Adik
Ratu Anom Kesumayuda yang juga adalah Menteri Besar Panembahan Sambas yaitu
Raden Arya Mangkurat. Tentangan dari Raden Arya Mangkurat yang sangat fanatik
Hindu ini karena iri dan dengki dengan Raden Sulaiman yang semakin kuat
mendapat simpati dari para pembesar Panembahan Sambas saat karena baik
pwrilakunya dan bagus kepemimpinannya dalam memagang jabatan Menteri Besar,
disamping itu Raden Sulaiman ini juga sangat giat menyebarkan Islam di
lingkungan Istana Panembahan Sambas yang mayoritas masih menganut Hindu,
sehingga dari hari ke hari semakin banyak petinggi dan penduduk Panembahan
Sambas yang masuk Islam.
Tekanan
terhadap Raden Sulaiman oleh Raden Arya Mangkurat ini kemudian semakin kuat
hingga sampai pada mengancam keselamatan Raden Sulaiman beserta keluarganya,
sedangkan Ratu Anom Kesumayuda tampaknya tidak mampu berbuat banyak. Maka Raden Sulaiman kemudian memtuskan untuk hijrah
dari pusat Panembahan Sambas dan mencari tempat menetap yang baru. Maka
kemudian pada sekitar tahun 1655, berangkatlah Raden Sulaiman beserta istri dan
anaknya serta orang-orangnya, yaitu sebagian orang-orang Brunei yang
ditinggalkan ayahnya (Sultan Tengah) ketika akan pulang ke Sarawak dan sebagian
petinggi dan penduduk Panembahan Sambas yang setia dan telah masuk Islam.
Dari pusat Panembahan Sambas ini (sekarang disebut
dengan nama Kota Lama), Raden Sulaiman dan rombongannya sempat singgah selama
setahun di tempat yang bernama Kota Bangun dan kemudian memutuskan untuk
menetap di suatu tempat lain yang kemudian bernama Kota Bandir. Setelah sekitar
4 tahun menetap di Kota Bandir ini, secara tiba-tiba, Ratu Anom Kesumayuda
datang menemui Raden Sulaiman di mana Ratu Anom Kesumayuda menyatakan bahwa ia
dan sebagian besar petinggi dan penduduk Panembahan Sambas di Kota Lama akan
berhijrah dari wilayah Sungai Sambas ini dan akan mencari tempat menetap yang
baru di wilayah Sungai Selakau karena ia (Ratu Anom Kesumayuda) telah berseteru
dan tidak sanggup menghadapi ulah adiknya yaitu Raden Arya Mangkurat di Kota
Lama. Untuk itulah Ratu Anom Kesumayuda kemudian menyatakan menyerahkan
kekuasaan di wilayah Sungai Sambas ini kepada Raden Sulaiman dan agar melakukan
pemerintahan di wilayah Sungai Sambas ini.
Sekitar
5 tahun setelah mendapat mandat penyerahan kekuasaan dari Ratu Anom Kesumayuda
maka setelah berembug dengan orang-orangnya dan melakukan segala persiapan yang
diperlukan, Raden Sulaiman kemudian memutuskan untuk mendirikan sebuah Kerajaan
baru. Maka kemudian
pada sekitar tahun 1671 Raden Sulaiman mendirikan Kesultanan Sambas dengan
Raden Sulaiman sebagai sultan pertama Kesultanan Sambas dengan gelar Sultan
Muhammad Shafiuddin. Pusat pemerintahan Kesultanan Sambas ini adalah ditempat
yang baru di dekat muara Sungai Teberrau yang bernama Lubuk Madung.
Setelah
memerintah selama sekitar 15 tahun yang diisi dengan melakukan penataaan sistem
pemerintahan dan pembinaan hubungan dengan negari-negeri tetangga, pada tahun
1685 Sultan Muhammad Shafiuddin (Raden Sulaiman) mengundurkan diri dari tahta
Kesultanan Sambas dan mengangkat anak sulungnya yaitu Raden Bima sebagai
penggantinya dengan gelar Sultan Muhammad Tajuddin.
Sekitar setahun setelah memerintah sebagai Sultan Sambas ke-2, Sultan
Muhammad Tajuddin (Raden Bima), atas persetujuan dari ayahnya (Raden Sulaiman),
kemudian memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Sambas dari Lubuk Madung ke
suatu tempat tepat di depan percabangan tiga buah Sungai yaitu Sungai Sambas,
Sungai Teberrau, dan Sungai Subah. Tempat ini kemudian disebut dengan nama
"Muara Ulakkan" yang menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Sambas
seterusnya yaitu dari tahun 1685 itu hingga saat ini.
2. Perkembangan
Masjid
Sultan Muhammad Shafiuddin II di Sambas
Selama masa berdirinya
Pemerintahan Kesultanan Sambas dari tahun 1671 M hingga tahun 1950 M, selama
masa itu Kepala Pemerintahan Kesultanan Sambas terdiri dari 15 orang Sultan dan
2 orang Ketua Majelis Kesultanan (Plt Sultan).
Kesultanan Sambas
selama 100 tahun yaitu dari paruh pertama abad ke-18 hingga paruh pertama abad
ke-19 M merupakan Kerajaan Terbesar di wilayah pesisir barat Pulau Kalimantan
(Kalimantan Barat) hingga kemudian Hindia Belanda masuk pada awal abad ke-19 M.
Pihak Hindia Belanda ini yang membuat besar Kesultanan Pontianak sehingga
kemudian Kesultanan Pontianak menggantikan posisi Kesultanan Sambas sebagai
kerajaan terbesar di wilayah ini.
Pada sekitar awal abad
ke-19 M (sekitar tahun 1805 M hingga tahun 1811 M) sering terjadi pertempuran di
laut antara kapal-kapal Inggris dengan armada laut Kesultanan Sambas. Pada
tahun 1812 M Hindia Inggris dibawah pimpinan T. S. Raffles mengirimkan armada
dan pasukan untuk menyerang Kesultanan Sambas. Pertempuran sengit antara
pasukan Inggris dan pasukan Kesultanan Sambas kemudian berlangsung disekitar
percabangan Sungai Sambas (sekitar Kampung Sebatu) dan akhirnya pasukan Inggris
itu dapat dikalahkan / dipukul mundur oleh pasukan Kesultanan Sambas
(sebagaimana yang tercantum dalam buku sejarah tulisan Sir Graham Irwin /
Sejarawan terkenal Inggris dalam bukunya yang berjudul "Borneo in Eighteen
Century").
Dari sejak berdirinya
Kesultanan Sambas pada tahun 1671 dengan Sultan pertama Kesultanan Sambas yaitu
Sultan Muhammad Shafiuddin I hingga tahun 1818 yaitu dimasa pemerintahan Sultan
Sambas ke-8 yaitu Sultan Muhammad Ali Shafiuddin I (Pangeran Anom), Kesultanan
Sambas pada rentang masa itu (1671 M - 1818 M) adalah dalam kondisi berdaulat
penuh yaitu pada rentang masa itu tidak ada satu pun kekuasaan asing yang
menduduki atau mendirikan perwakilan pemerintahan di Kesultanan Sambas dan pada
rentang masa itu Kesultanan Sambas tidak ada tunduk atau mengantarkan upeti
apapun kepada pihak kekuasaan asing manapun.
Belanda (Hindia
Belanda) mulai menanamkan kekuasaannya di Kesultanan Sambas pertama kali adalah
pada tahun 1818 M dan saat itu posisi Hindia Belanda di Kesultanan Sambas itu
masih sebagai mitra bagi Kesultanan Sambas (belum mengendalikan pemerintahan
Kesultanan Sambas) di mana saat itu Hindia Belanda hanya sebatas menangani /
mengatur Kongsi-Kongsi pertambangan emas yang ada di wilayah Kesultanan Sambas.
Hindia Belanda mulai mengendalikan pemerintahan Kesultanan Sambas adalah sejak
tahun 1855 M yaitu dimasa pemerintahan Sultan Sambas ke-12 yaitu Sultam Umar
Kamaluddin (Raden Tokok).
a. SULTAN
MUHAMMAD ALI SHAFIUDDIN I (PANGERAN ANOM) SULTAN SAMBAS KE- 8
Pangeran Anom adalah
salah salah seorang anak kecil dari Sultan Sambas ke 5 yaitu Sultan Umar
Aqamaddin II, nama keclnya adalah Raden Pasu. Pangeran Anom memualai kariernya
sebagai Panglima Kesultanan Sambas ketika masih berusia 17 tahun, dimasa
pemerintahan Ayahandanya yaitu Sltan Umar Aqamaddin II selanjutnya ketka
ayahnya wafat dan digantikan oleh Abang Pangeran Anom yaitu Sultan Abubakar
Tajuddin I (Raden Mantri), Pangeran Anom menjabat sebagai Pangeran Bendahara
(Wazir atau ketua Mentri), sekaligus juga sebagai Panglima Besar Kesultanan
Sambas dan Kepala Armada Angkatan Laut Kesultanan Sambas yang didirikan pada
tahun 1805 M. Ketika Ayahnya (Sultan Aqamaddin II) wafat dalam periode ke 2
pemerintahannya, , maka Abang Pangeran Anom yang bernama Raden Mantrti
menggantikan Ayahnya dengan gelar Abubakar Tajuddin I (sultan sambas ke 7). Sultan
Abubakar Tauddin I ini dengan Pangeran Anom ini adalah saudara kandung satu
bapak yaitu Sultan Umar Aqamaddin II tetapi berlainan inu, Sultan Abubakar
Tajuddin I adalah anak dari isteri pertama dan Pangran Anom adalah anak dari
isteri ke 2. Setelah Sultan Abubakar Tajuddin I (Abang Pangeran Anom) wafat
pada tahun 1815 M, maka Pangeran Anom kemudian diangkat sebagai Sultan Sambas
selanjutnya (sultan sambas ke-8) dengan gelar Sultan Muhammad Ali Shafiuddin
I.Pangern Anom kemudian menjadi Pangeran Besar Kesultanan Sambas yang sekaligus
juga memimpin satu Armada Angkatn Laut Kesultanan Sambas yang terdiri dari 2
kapal layar dan 3 ting perahu pencalang. Armada Laut Kesultanan Sambas ini
dibentuk pada sekitar tahun 1805 M oleh Pangeran Anom bersama dengan Abangnya
yang menjadi Sultan Sambas saat itu yaitu Sultan Abubakar Tajuddin I. Armada
Laut Kesultanan Sambas ini bertugas untuk menjaga kedaulatan wilayah perairan
Kesultanan Sambas saat itu yaitu garis pantai yang membentang dari mulai
Tanjung Datuk di utara (diatas Paloh) hingg ke sungai Duri di sebela Selatan.
Armada Angkatan Laut Kesultanan Sambas ini dibentuk setelah seringnya serangan
para bajak laut terutama bajak laut yang datang dari perairan Sulu dan
pembakangan dari kapal-kapal Eropa khususnya kapal-kapal Inggris yang menolak
untuk melakukan aktivitas perdagangan di wilayah Kesultanan Sambas dengan
melalui pelabuhan induk Kesultanan Sambas yang berada di Sungai sambas di mana
kapal-kapal Inggris ini dengan lancang langsung mengadakan aktivitas dagang
dipelabuhan-pelabuhan Kongsi Cins di Selakau dan Sedau yang merupakan wilayah
Kesultanan Sambas tanpa melalui pelabuhan induk di Kesultanan Sambas.
Kongsi-kongsi itu adalah perkumpulan orang-orang China yang berkelompok
berdasarkan lokasi penambangan emas mereka. Orang-orang China ini didatangkan
oleh Sultan sambas sejak tahun 1750 M yaitu untuk mengerjakan pertambangan emas yang tersebar
di wilayah Kesultanan Sambas seperti Monteraduk, seminis, Lara, Lmar, dan kemudian
juga Pemangkat.
Walaupun telah dibentuk
armada angkatan laut Kesultanan Sambas ini, kapal-kapal Inggris masih dengan
angkuhnya tetap melakukan aktivitas perdagangan di wilayah Kesultanan Sambas
tanpa melalui pelabuhan induk di sungai sambas. Aturan mesti melewati pelabuhan
induk ini merupakan aturan tata perdagangan pada Kerajaan di nusantara ini
sejak zaman Sriwijaya sehingga sudah merupakan aturan yang sah dan resmi, yaitu
apabila ada kapal asing yang tidak mau melewati pelabuhan induk maka kapal itu
akan digiring, bila tidak mau digiring maka kapal itu akan diperangi dan bila
kapal itu berhasil dikalahkan maka sebagai hukumannya, seluruh awak akan di
tawan dan seluruh harta kapal akan dirampas menjadi milik armada Kerajaan yang
memiliki wilayah itu.
Tetapi orang-orang
eropa khususnya Inggris ini sering meremehkan kedaulatan dan kemampuan kerajaan
di nusantara ini yang untuk kasus ini adalah Kesultanan Sambas. Hal ini
kemudian membuat sering terjadinya pertempuran Laut antara kapal-kapal Inggris
yang juga bersenjatakan meriam itu dengan armada angkatan laut Kesultanan
Sambas dibawah pimpinan Pangeran Anom ini dan berkat ketangguhan Pangeran Anom
dalam memimpin armada laut Kesultanan Sambas ini, dalam sekitar 4 atau 5
pertempuran laut yang terjadi, seluruhnya dapat dimenangkan oleh armada Pangeran
Anom ini.
Hal ini kemudian
berlanjut terus hingga kemudian menimbulkan semacam kondisi perang antara
Kerajaan Inggris dengan Kesultanan Sambas di mana bila di mana-mana perairan
ditemukan kapal Inggris pasti akan diserang oleh armada Kesultanan Sambas di
bawah Pangeran Anom ini dan begitu pula sebaliknya. Tercatat dalam sejarah
beberapa nama kapal Inggris yang telah ditaklukkan oleh armada laut Kesultanan
Sambas ini yaitu kapal tranfers, cendana, dan yang terakhir adalah kapal dengan
nama Commerce (yang oleh lidah Melayu Sambas di sebut kerimis).
Tanggal 11 Juli 1831,
Sultan Usman Kamaluddin wafat, tahta kerajaan dilimpahkan kepada Sultan Umar
Akamuddin III. Tanggal 5 Desember 1845 Sultan Umar Akamuddin III wafat, maka
diangkatlah Putera Mahkota Raden Ishaq dengan gelar Sultan Abu Bakar Tadjuddin
II. Tanggal 17 Januari 1848 putera sulung dia yang bernama Raden Afifuddin
ditetapkan sebagai putera Mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Afifuddin.
Tahun 1855, Sultan Abubakar Tadjuddin II diasingkan ke Jawa oleh pemerintah
Belanda (kembali ke Sambas tahun 1879).
b. SULTAN
MUHAMMAD SHAFIUDDIN II (PANGERAN ADIPATI) SULTAN SAMBAS KE- 13
Pangeran Adipati adalah
gelar penghormatan untuk Putra Mahkota. Pangeran Adipati yang dimaksud ini
adalah Pangeran Adipati Afifuddin yaitu anak dari Sultan Sambas yang ke-11
yaitu Sultan Abubakar Tajuddin II. Sultan Abubakar Tajuddin Ii ini adalah
Sultan Sambas terkahir yang berdaulat penuh di dalam Negeri Sambas karena pada
masa pemerintahannyalah untuk pertama kalinya Belanda melakukan kudeta
terselebung terhadap pemerintahannya melalui sepupu dari Sultan Abubakar
Tajuddin II ini yang bernama Raden Tokok' yang kemudian menjadi Sultan Sambas
ke-12 dengan gelar Sultan Umar Kamaluddin. Sebelum Sultan Abubakar Tajuddin II
terpaksa turun dari tahta Kesultanan Sambas (tahun 1855)telah ada kesepakatan
antara Sultan Abubakar Tajuddin dengan Raden Tokok' dan Belanda bahwa setelah
Raden Tokok' menjadi Sultan Sambas yang akan menjadi Sultan Sambas berikutnya
adalah anak dari Sultan Abubakar Tajuddin II yaitu Pangeran Adipati Afifuddin
karena dimasa Sultan Abubakar Tajuddin II memerintah, Baginda telah mengangkat
anaknya itu sebagai Putra Mahkota. Sejak kudeta terselubung inilah kekuatan
Belanda mulai berpengaruh di Kesultanan Sambas sedangkan sebelumnya yaitu dari
Sultan Sambas ke-1 (kesatu) (Sultan Muhammad Shafiuddin I) hingga separuh
pemerintahan dari Sultan Sambas ke-11 (kesebelas) (Sultan Abubakar Tajuddin II)
Sultan-Sultan Sambas berdaulat penuh artinya Kesultanan Sambas selama rentang
masa itu tidak ada tunduk ataupun dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan luar
manapun termasuk Belanda. Hindia Belanda mulai membuat perwakilannya di
Kesultanan Sambas pada tahun 1819, namun saat itu Sultan Sambas masih
mengendalikan penuh perwakilan Hindia Belanda itu. Pengaruh Belanda mulai
berpengaruh di pemerintahan Kesultanan Sambas adalah sejak masa Sultan Sambas
ke-12 itu yaitu Raden Tokok' / Sultan Umar Kamaluddin) yang naik tahta
Kesultanan Sambas pada tahun 1855 M setelah dengan dukungan Belanda membuat
kudeta terselebung terhadap Abang Sepupunya yang saat itu menjadi Sultan Sambas
ke-11 (sebelas)yaitu Sultan Abubakar Tajuddin II / Raden Ishaq).
Setelah menyelesaikan pendidikannya pada Sekolah Kebangsawanan
di Batavia pada tahun 1861, Pangeran Adipati Afiffuddin pulang ke Sambas dan
diangkat menjadi Sultan Muda. Baru pada tanggal 16 Agustus 1866 dia diangkat
menjadi Sultan Sambas ke-13 dengan gelar Sultan Muhammad Shafiuddin II. Ia
mempunyai dua orang istri. Dari istri pertama (Ratu Anom Kesumaningrat)
dikaruniai seorang putera bernama Raden Ahmad dan kemudian diangkat sebagai
Putera Mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Achmad. Dari istri kedua (Encik
Nana) dikaruniai juga seorang putera bernama Raden Muhammad Aryadiningrat.
Sebelum sempat menjadi Sultan Sambas, Putera Mahkota yaitu Pangeran Adipati
Ahmad wafat mendahului ayahnya (Sultan Muhammad Shafiuddin II).Setelah Sultan Muhammad
Shafiuddin II telah memerintah selama 56 tahun, Baginda merasa sudah lanjut
usia, pada tahun 1924 Sultan Muhammad Shafiuddin mengundurkan diri dari tahta
Kesultanan Sambas. Pada masa ini kekuasaan Hindia Belanda telah semakin kuat
mengendalikan pemerintahan di Sambas di mana kemudian untuk menggantikan Sultan
Muhammad Shafiuddin II yang mengundurkan diri, Pemerintah Hindia Belanda
kemudian mengangkat anak Sultan Muhammad Shafiuddin II yaitu Raden Muhammad
Aryadiningrat sebagai Sultan Sambas selanjutnya (Sultan Sambas ke-14) dengan
gelar Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II.
Setelah memerintah
selama sekitar 4 tahun, pada tahun 1926, Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II
wafat dan kemudian sebagai penggantinya, setelah sempat terjadi polemik
menentukan sultan selanjutnya sekitar 5 tahun, pada tahun 1931, oleh Pemerintah
Hindia Belanda diangkatlah keponakan Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II (Sultan
Sambas ke-14) itu yang juga adalah cucu dari Sultan Muhammad Shafiuddin II
(Sultan Sambas ke-13) yaitu Raden Muhammad Mulia Ibrahim sebagai Sultan Sambas
ke-15 dengan gelar Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin.
Dari 15 Sultan Sambas, ada 2 Sultan yang diangkat tidak
berdasarkan aturan-temurun, yaitu Sultan Sambas ke-14 (Sultan Muhammad Ali
Shafiuddin II) pada tahun 1924 dan Sultan Sambas ke-15 (Sultan Muhammad Mulia
Ibrahim Shafiuddin) pada tahun 1931 di mana sultan-sultan ini diangkat oleh
Pemerintah Hindia Belanda karena pada masa itu sudah begitu kuatnya pengaruh
Belanda di wilayah Borneo Barat.
Belanda berkuasa sejak
tahun 1930 di wilayah Kalimantan Barat dengan nama Westerafdeling Borneo
beribukota di Pontianak. Sedangkan saat itu di Kesultanan Sambas yang menjadi
Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin. Namun kesultanan dan kerajaan yang
ada di wilayah Borneo Barat masih tetap eksis memerintah wilayah kekuasaannya
masing-masing, namun untuk kebijakan-kebijakan yang bersifat penting misalnya
bidang ekonomi dan luar negeri mesti mendapat persetujuan dari wakil Hindia
Belanda yaitu Residen dan Asisten Residen.
c. Masa
Pendudukn Jepang
Setelah memerintah kira-kira 4 tahun, Sultan
Muhammad Ali Shafiuddin II wafat. Pemerintahan Kesultanan Sambas diserahkan
kepada keponakannya yaitu Raden Muhammad Mulia Ibrahim bin Pangeran Adipati
Achmad bin Sultan Muhammad Shafiuddin II menjadi Sultan Sambas ke-15 dengan
gelar Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin. Pada masa pemerintahan Sultan
Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin inilah, pasukan Jepang masuk ke Sambas.
Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin kemudian menjadi salah seorang korban
keganasan pasukan Jepang, yaitu bersama dengan sebagian besar raja-raja lainnya
yang ada di wilayah Borneo Barat ini dibunuh pasukan Jepang di daerah Mandor.
Setelah
jepang di bom atom oleh Sekutu, Pemerintahan Kesultanan Sambas berdiri kembali
oleh sebuah Majelis Kesultanan Sambas dibawah pimpinan Pangeran Tumenggung Jaya
Kesuma Muchsin Panji Anom, hingga kemudian dengan terbentuknya Republik
Indonesia Serikat, Majelis Kesultanan Sambas kemudian memutuskan untuk
bergabung dalam Republik Indonesia Serikat melalui Daerah Istimewa Kalimantan
Barat (DIKB) pada tahun 1950.
Peristiwa
Mandor adalah peristiwa pembantaian massal yang menurut catatan sejarah terjadi
pada tanggal 28 Juni 1944. Peristiwa Mandor ini sendiri sering dikenang dengan
istilah Tragedi Mandor Berdarah yaitu telah terjadi pembantaian massal tanpa
batas etnis dan ras oleh tentara Jepang.
Lahirnya
Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2007 tentang Peristiwa Mandor pada 28
Juni Sebagai Hari Berkabung Daerah Provinsi Kalimantan Barat melalui paripurna
DPRD Kalimantan Barat merupakan bentuk kepedulian sekaligus apresiasi dari DPRD
terhadap perjuangan pergerakan nasional yang terjadi di Mandor
Menurut
data yang ada, jumlah korban dari peristiwa Mandor tersebut adalah ± 21.037
orang, namun Jepang menolaknya dan menganggap hanya 1.000 korban saja.[3].
Peristiwa mandor terjadi akibat ketidaksukaan penjajah Jepang terhadap para
pemberontak. Karena ketika itu Jepang ingin menguasai seluruh kekayaan yang ada
di Bumi Kalimantan Barat. Sebelum terjadi peristiwa Mandor terdapat peristiwa
cap kapak dimana kala itu pemerintah Jepang mendobrak pintu - pintu rumah
rakyat mereka tidak ingin terjadi pemberontakan di Kalimantan Barat. Meskipun
demikian ternyata menurut sejarah yang dibantai bukan hanya kaum cendekiawan
maupun feodal namun juga rakyat-rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa.
Jepang
memang telah menyusun rencana genosida untuk memberangus semangat perlawanan
rakyat Kalimantan Barat kala itu. Sebuah harian Jepang Borneo Shinbun, koran
yang terbit pada masa itu, mengungkap rencana tentara negeri samurai itu untuk
membungkam kelompok pembangkang kebijakan politik perang Jepang.
d. Peninggalan
Kesultanan Sambas
Peninggalan dari jejak
Kesultanan Sambas yang masih ada hingga saat ini adalah Masjid Jami' Kesultanan
Sambas, Istana Istana Alwatzikhubillah, Makam-makam Sultan Sambas dari Sultan
Sambas pertama hingga Sultan Sambas ke-14, serta sebagian alat-alat kebesaran
kerajaan seperti tempat tidur sultan terakhir, kaca hias, seperangkat alat
untuk makan sirih, pakaian kebesaran sultan, payung ubur-ubur, tombak canggah,
3 buah meriam canon di depan istana dan 2 buah meriam lele, 2 buah tempayan
keramik dari negeri Tiongkok dan 4 buah kaca cermin besar dari Kerajaan
Perancis dan 2 buah kaca cermin besar dari Belanda. Sebagian besar
barang-barang peninggalan Kesultanan Sambas lainnya telah hilang atau terjual
oleh oknum tertentu, namun secara fisik jejak Kesultanan Sambas masih terlihat
jelas dan terasa kuat di Sambas ini. Juga Keturunan dari Sultan-Sultan Sambas
ini bertebaran di wilayah Kalimantan Barat, baik di Sambas, Singkawang, dan
Pontianak yang sebagiannya masih menggunakan gelar Raden.
e. Sultan-Sultan
Sambas
1. Sultan
Muhammad Shafiuddin I bin Sultan Ibrahim Ali Omar Shah (Sultan Tengah)
(1671-1682)
2. Sultan
Muhammad Tajuddin Bin Sultan Muhammad Shafiuddin I (1682-1718)
3. Sultan
Umar Aqamaddin I bin sultan Muhammad Tajuddin (1718-1732)
4. Sultan
Abubakar Kamaluddin bin Sultan Umar aqamaddin I (1732-1762)
5. Sultan
Umr Aqamaddin II bin Sultan Abubakar Kamaluddin (1762-187) dan (1793-1802)
6. Sultan
Achmad Tajuddin bin Sultan Umar Aqamaddin II (1786-1793)
7. Sultan
Abubakar Tajuddin I bin Sultan Umar Aqamaddin II (1802-1815)
8. Sultan
Muhammad Ali Shafiuddin I bin Sultan Umar Aqamaddin II (1815-1828)
9. Sultan
Usman Kamaluddin bin Sultan Umar Aqamaddin II (1828-1832)
10. Sultan
Umar Aqamaddin III bin Sultan Umar Aqamaddin II (1832-1846)
11. Sultan
Abubakar Tajuddin Ii bin Sultan Muhammad Ali Shafiuddin I (1846-1854)
12. Sultan
Umar Kamaluddin bin Sultan Umar Aqamaddin III (1854-1866)
13. Sultan
Muhammad Shafiuddin II bin Sultan Abubakar Tajuddin II (1866-1924)
14. Sultan
Muhammd Ali Shafiuddin II bin Sultan Muhammad Shafiuddin II (!924-1926)
15. Sultan
Muhammad Ibrahim Shafiuddin bin Pangeran Adipati Achmad bin Sultan Muhammad
Shafiuddin II (1931-1944) (Sultan Sambas terakhir)
16. Pangeran
Ratu Muhammad Taufik bin Sultan Muhammad Ibrahim Shafiuddin (1944-1984) (Kepala
Rumah Tangga Istana Kesultanan Sambas)
17. Pangeran
Ratu Winata Kusuma bin Pangeran Ratu Muhammad Taufik (2000-2008) (Kepala Rumah
Tangga Istana Kesultanan Sambas)
18. Pangeran
Ratu Muhammad Tarhan bin Pangeran Ratu Winata Kusuma (2008-sekarang) sebagai
Pewaris Kepala Rumah Tangga Istana Keslutanan Sambas.
Adapun urutan para Kepala Pemerintahan
Kesultanan Sambas yang pernah memerintah dari berdirinya kesultanan Sambas
tahun 1671 hingga berakhirnya pemerintahn Kesultanan Sambas dengan bergabung
kepada RIS pada tahun 1950 adalah sebagai berikut:
Sultan Muhammad Shafiuddin I (Raden
Sulaiman bin Sultan Tengah) Tahun : 1671 - 1682 M
2.
Sultan Muhammad Tajuddin I (Raden Bima bin Sultan Muhammad Shafiuddin I
)Tahun : 1682 - 1718 M
3.
Sultan Umar Aqamaddin I (Raden Mulia / Meliau bin Sultan Muhammad
Tajuddin I) Tahun : 1718 - 1732 M
4.
Sultan Abubakar Kamaluddin (Raden Bungsu bin Sultan Umar Aqamaddin I)
Tahun : 1732 M - 1762 M
4. Sultan
Umar Aqamaddin II (Raden Jamak bin Sultan Abubakar Kamaluddin) Tahun : 1762 -
1786 M & 1793 - 1802 M
5. Sultan
Umar Aqamaddin II (Raden Jamak bin Sultan Abubakar Kamaluddin) ( 1762-1786) dan
!793-1802 M
6. Sultan
Muhammad Tajuddin II (Raden Ahmad atau Gayong bin Sultan Umar Aqamaddin II)
tahun 1786-1793 M
7. Sultan
Abubakar Tajuddin II (Raden Mantri bin Sultan Umar Aqamaddin II) (1802-1815 M)
8. Ultan
Muhammad Ali Shafiuddin I (Raden Anom atau Pasu bin Sultan Umar Aqamaddin II)
tahun 1815-1828 M
9. Sultan
Usman Kamaluddin (Raden sumba b9n Umar Aqamaddin II) 1828-1830 M
10. Sultan
Umar Aqamaddin III (Raden Semar bin Sultan Umar Aqamaddin II) 1830-1846 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
MOHON COMMENT NYA :)
ATAU LIKE NYA (Y) TERIMA KASIH