Let Pelet Bhetteng Madura Teluk Batang
Kabupaten Kayong Utara
photo by : Arsip Budaya Nusantara
Jurusan
Pendidikan Agama Islam, Fakultas
Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Institut Agama Islam Negeri Pontianak, Jalan Letjen
Soeprapto No. 19
Kata kunci:
Tradisi, pelet bhetteng
Abstrak
Pelet
Bhetteng merupakan sebuah tradisi yang ada di kalangan orang Madura, dimana hal
ini dilaksanakan ketika usia kehamilan telah mencapai usia 7 bulan. Pelet
Bhetteng adalah proses pemijatan perut ibu hamil ketika kehamilannya itu
merupakan kehamilan yang pertamadidalam tradisi ini ada beberapa ritual. Ritual
itu di yakini dapat mempengaruhi kelancaran kehamilan wanita tersebut. Dalam
pelaksanaan tradisi ini biasanya terdapat beberapa tahap yaitu pembacaan ayat
Al-qur’an, pemandian sepasan suami istri, dan pembacaan tahlil. Dalam
pelaksanaan Tradisi pelet Bheteng hal pertama kali yang dilakukan adalah
pembacaat surah Yusuf, Maryam dan al-Waqi’ah. Dan dilanjutkan dengan memandikan
pasangan suami istri setelah itu pembacaan do’a atau tahlil yang dipimpin oleh
seorang ustadz. Hal ini dilakukan untuk menghindarkan bayi beserta ibunya dari
hal yang tidak diingkinkan hingga proses kelahiran nanti.
Pendahuluan
Tradisi merupakan kumpulan material dan
gagasan yang diberi makna khusus dari masa lalu serta diwariskan kepada manusia
masa kini dan yang akan datang. Pada umumnya masyarakat Madura merupakan
masyarakat yang suka hidup berkelompok antara suku atau agama yang melekat pada
masyarakat Madura (Hendro suroyo Sudagung; 1992) yang mana karenanya dapat
melahirkan tradisi yang menjadi alat untuk kebersamaan diantara mereka. Salah
satu tradisi yang terdapat di Kecamatan Teluk Batang Kabupaten Kayong Utara
pada masyarakat Madura adalah let pellet betteng.
Pada dasarnya Islam adalah agama,
bukanlah sebuah budaya atau tradisi dimasyarakat. Akan tetapi Islam adalah
agama yang penuh toleransi dimana Islam itu sendiri tidak anti terhadap budaya
dan tradisi mayarakat, selama tradisi dan budaya tersebut tidak bertentangan
dengan nilai keislaman maka Islam sendirilah yang akan melestarikan Budaya dan
tradisi tersebut sebagai alat untuk menyebarluaskan Islam. Namun jika budaya
serta tradisi yang ada dimasyarakat itu bertentangan dengan Islam maka Islam
akan memberikan solusi dengan cara mengislamisasikan atau meminimalisir kadar
kemudorotan dari budaya dan tradisi tersebut karena Islam akan menyikapi hal
tersebut dengan bijaksana, korelatif dan selektif. Hal ini telah jelas didalam
al-Qur’an bahwa tradisi yang baik diperbolehkan dalam Islam sesuai dengan QS.
Al-A’raf 199
Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚÌôãr&ur Ç`tã úüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ
“Jadilah
engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (tradisi yang baik),
serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.”. (QS. al-A’raf : 199).[1]
Dari ayat ini telah jelas bahwa Allah
memerintahkan Rasulullah agar menyuruh umatnya mengerjakan yang ma’ruf. Maksud
dari ‘urf dalam ayat di atas adalah
tradisi yang baik. Al-Imam Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani berkata:
“’Urf
adalah sesuatu yang dikenal oleh masyarakat dan mereka jadikan tradisi dalam
interaksi di antara mereka”. (Al-Sam’ani, Qawathi’ al-Adillah, juz 1
hlm 29).
Maka dari itu, tradisi dan budaya yang
telah dilestarikan oleh masyarakat dan suku Madura khususnya selama ini
tidaklah semua mengandung unsur bid’ah atau kemudharatan, selama didalamnya
terdapat nilai-nilai yang baik serta berkorelasi dengan nilai Islam.
Hal ini mengingat bahwa Negara Indonesia
terdiri dari penduduk yang memiliki berbagai budaya serta terdiri dari
masyarakat yang beragama, sehingga dalam setiap pelaksanaan budaya maupun
tradisi selalu mengandung nilai keagamaan didalamnya. Hal ini sejalan dengan
pendapat yang dikemukakan oleh Mukti Ali dalam Imam Bawani (1993:36) bahwa
pertumbuhan masyarakat dapat mempengaruhi pemikiran keagamaan, dan agama dapat
pula mempengaruhi jalannya tradisi masyarakat.[2]
Dalam pelaksanaanya terdapat pembacaan
solawat, tahlil,dan pada akhir acara juga ada pemberian makanan sebagai suguhan
terhadap tamu yang hadir yang diberikan oleh tuan rumah. Sehingga terdapat
nilai-nilai yang terkandung dalam pelaksanaanya sepertinilai kebersamaan, nilai
sosial, nilai religius dan lain-lain.
Acara tradisi ini dipimpin oleh orang
yang disebut dengan thukon atau dukun
yang akan membantu dalam proses melahirkan, selain dibantu oleh seorang dukun
dalam tradisi ini diakhir acara akan dipandu oleh seorang Kiyai, Ustadz atau
orang yang memiliki kepandaian dalam ilmu agama untuk memimpin do’a demi
keselamatan si bayi serta ibu agar selamat dalam proses persalinan. Dan ini
merupakan bukti bahwa didalam sebuah tradisi juga memiliki unsure religious
yang terkandung didalamnya.
Pelet Bhetteng
Pelet Bhetteng merupakan salah satu
tradisi masyarakat Madura Teluk Batang Kabupaten Kayong Utara yang dilaksanakan
ketika usia kehamilan seorang ibu telah mencapai tujuh bulan, dan pelaksanaan
ini hanya dilakukan ketika ibu tersebut mengandung anak pertamanya saja. Kegiatan
tersebut bertujuan untuk menghindarkan ibu dan bayi dari hal yang tidak
diingkan karena masa kehamilan diyakini sebagai masa yang penuh denga bahaya
sehingga diadakanlah tradisi itu supaya mendapat keselamatan hingga proses
kelahiran.
Keistimewaan Let
pelet Bhetteng
Banyak nilai positif yang diperoleh dari
pelaksanaan tradisi Pelet Bhettang. Khusus bagi masyarakat Teluk Batang,
tradisi ini merupakan salah satu kearifan lokal yang harus dilestarikan. Selain
sebagai sarana untuk memupuk semangat kekeluargaan, tradisi ini juga memilki
berbagai nilai-nilai seperti, ketelitian, kebersamaan, gotong royong, religius
dan keselamatan.
Metode
Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yaitu penelitian non hipotesis yang tertuju
padapemecahan masalah yang ada sekarang. Hal ini sejalan dengan pendapat
Suharsimi Arikunto (1998:245) yang menyatakan bahwa penelitian deskriptif
merupakan penelitian non hipotesis sehingga dalam langkah penelitian tidak
perlu dirumuskan hipotesis.[3]
Menurut Hadari
Nawawi (1985: 63) metode deskriptif adalah pemecahan masalah yang diselidiki
dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat
dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau
sebagaimana adanya.[4]
Data yang telah dikumpulkan
adalah pengertia, tata cara, pandangan Islam tentang tradisi let pelet bhetteng
serta penilaian masyarakat Teluk Batang mengenai tradsi tersebut. Dengan
mengamati dan mengawasi dari awal sampai akhir acara tahunan tersebut.
Hasil dan
Pembahasan
A. Sejarah Teluk
Batang
Daerah
Teluk Batang telah berdiri selama 94 tahun yang didirikan oleh pak Derahim dan
Muhammad Tihi, sejak 20 April 1917 sesuai dengan keputusan desa Teluk Batang
No. 03 tahun 2000 tentang hari jadi desa Teluk Batang.
Nama
Teluk Batang terdiri dari dua kata,yaitu Teluk dan Batang. Adapun asal usul
peberian nama ini karena ketika pak derahim beserta rombogan yag baru datang
dari sungai durian sedang berlabuh di
tepi ada batang yang hanyut dan berputar-putar mengikuti arus cukup yang lama
di dalam teluk. Maka sejak saat itu daerah tersebut di beri nama Teluk Batang. Kemudian
beliau naik ke daratan dan membuka lahan yang dibantu oleh beberapa temannya
yaitu Pak Lasin, Mat Anam dan Bujang Nasir.
Teluk
Batang dengan luas 12.500 Ha yang berbatasan dengan : dibagian utara berbatasan
dengan desa Mas Bangun, dibagian selatan berbatasan dengan desa Sungai Paduan,
dan dibagian Timur berbatasan dengan Hutan Negara dan dibagian Barat bebatasan
dengan sungai. Desa Teluk Batang juga terdiri dari beberapa Dusun yaitu Dusun
Muara Karya (pelabuhan), Dusun Panca Karya (simpang empat), Dusun Karya Makmur
(teluk Nipah), Dusun Karya Baru (suka maju) dan Dusun Karya Maju (Suka Maju).
Pada
tahun 1920 desa Teluk Batang dipimpin oleh kepala kampung. Adapun nama-nama
orang yang pernah menjabat sebagai kepala desa Teluk Batang adalah sebagai
berikut:
1.
Bujang
Nasir (1920-1925)
2.
Bujang
Hasan (1925-1928)
3.
Pak
Long Jali (1928-1934)
4.
Sahla
(1934-1938)
5.
Syahrum
(1938-1951)
6.
Uteh
Bakar (1951-1953)
7.
M.
Tihi (1954-1990)
8.
M.
Daud Ali (1990-1998)
9.
Mawardi
Usman (1998-2008)
10.
Saiful
Bahri (2009-hingga sekarang)
Mengingat
desa teluk batang telah meluas dengan jumlah penduduk 10.842 jiwa kemudian
tahun 2006 dimekarkan menjadi 3 desa yaitu Teluk Batang Selata, Teluk Batang
Utara dan Desa Teluk Batang. Dengan luas 4.540 Ha atau 18 km persegi. Dan menjadi pintu
gerbang dua yaitu kabupaten Kayong Utara dan Kabupaten Ketapang.
B. Pengertian Tradisi dan Pelet Bhetteng
Tradisi merupakan kesamaan benda
material dan gagasan yang berasal dari masa lalu namun masih ada hingga kini
dan belum dihancurkan atau dirusak. Tradisi dapat diartikan sebagai warisan
yang benar atau warisan masa lalu. Namun demikian tradisi yang berulang –ulang
bukanlah dilakukan secara kebetulan atau disengaja.[5]
Menurut C.A. van Peursen tradisi diterjemahkan menjadi sebuah proses pewarisan
atau penerusan norma-norma, adat-istiadat, kaidah-kaidah, harta-harta. Dan
tradisi dirubah, diangkat, ditolak dan dipadukan dengan aneka ragam perbuatan
manusia.[6]
Tradisi jika ditinjau dari bahasa latin
berakar pada kata traditio (diteruskan)
atau kebiasaan. Jika lebih sederhananya adalah sesuatu yang telah dilakukan
sejak lama dan menjaid bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat.
Sedangkan istilah pelet bhetteng ini
berasal dari bahasa Madura, yang terdiri dari kata pelet dan Bheteng. Pelet yang
berarti memijat sedangkan bhetteng yang
berarti bengkak. Jadi pelet bhetteng adalah suatu kegiatan memijat perut yang
sedang bengkak dalam artian wanita yang sedang hamil, yang biasanya lebih
dikenal dengan istilah tujuh bulanan yang hamil anak pertama. Pemijatan
kendungan ini dilakukan untuk mencegah agar bayi yang dikanudng tidak mengalami
masalah ketika dilahirkan. Kerena masa-masa ini merupakan masa yang dianggap
penuh ancaman dan bahaya sehingga dilaksanakalah kegiatan ini sebagai usaha
untuk mentralkannya hal tersebut.
Seluruh rentetan acara ini dilakukan
pada sebelum tanggal ke 15 penanggalan Jawa, hal ini dikarenakan keyakinan
mereka jika pelaksanaannya di tanggal 15 dikhawatirkan akan terjadi gerhana
bulan sehingga anak yang akan dilahirkan nanti akan hitam sebelah seperti
kadaan gerhana bulan. Alat yang diperluka dalam proses ini adalah:
1.
kain
putih sepanjang 1½ meter yang nantinya akan digunakan sebagai penutup badan perempuan
yang akan diupacarai pada saat dimandikan dan akan digunakan sebagai kain
ayunan bayi ketika naik tojang nanti.
2.
Air
komkoman dan bunga tujuh jenis
3.
Ayam
dan telur ayam kampung
4.
Kelapa
setengah tua
Adapun tata cara
atau tahap pelaksanaannya terdapat tiga bagian yaitu pembacaan ayat Al-Qur’an,
pemandian dan pembacaan tahlil.
1.
Pembacaan
Al-Qur’an
Dalam proses ini
ayat Al-Qur’an yang akan di baca memang sudah di tentukan dari dulu
diantaranya: al-Waqi’ah, Yusuf dan Maryam. Dari kegiatan pemvbacaan surah ini
terdapat keyakinan bahwa ketika dalam elaksanaan prosesi ini di bacakan surah
tersebut maka anak yang akan dilahirkan nanti harapannya akan sama dengan
kehidupan serta akhlak dari kedua surah tersebut. Dimana dalam pembacaan surah
surah yusuf diharapkan anak yang akan lahir nantinya memiliki ketampanan, serta
keimanan seperti nabi Yusuf. Dan kisah dari Maryam ibunda Isa yang memiliki
ketakwaan yang uar biasa serta tidak pernah di jamah oleh laki-laki di harapkan
akan dimiliki juga oleh bayi terseut. Sedangkan pembacaan surah al-Waqi’ah
diyakini dapat memberikan kmudahan dalam proses kelahiran. Sembari ustadz dan para tamu membaca surah
yang telah ditentukan ibu hamil pun sedang melaksanakan proses pemijatan yang
dilakukan oleh dukun bayi yang dilaksanakan di kamar ibu hamil.
Ritual ini
biasanya dilaksanakan pagi hari sekitar jam 7 pagi tepatnya pada tanggal ke 15
penanggalan jawa. Dalam prosesi terdapat beberapa hal yang harus ada yaitu
bubur selamat dan air komkoman. Bubur selamat tersebut dibacakan doa oleh
seorang ustadz dan setelah itu diberikan kepada pasangan suami istri yang
diharapkan nantinya akan membawa keselamatan bagi keduanya dan bagi siapa pun
yang memakan bubur tersebut.
Sedangkan air
komkoman itu merupakan air yang diberi wewangian dan bunga tujuah warna atau
tujuh jenis bunga, yang direndam dan nantinya akan dicampurkan dengan air
pemandian dan sebagian yang lain akan di pakai unuk membasuh muka bahkan ada
sebagian lagi yang diminum.
2.
Pemandian
Setelah proses
pembacaan al-qur’an maka dilanjutkan dengan pemandian pasangan suami tersebut
yang dipimpin oleh seorang tukhon pejhik atau
dukun bayi yang nantinya akan membantu proses kelahiran. Didalam tahap ini air yang telah dicampur
dengan air komkoman tadi dimandikan kepada pasanagan suami istri tersebut. Di
tahap ini terdapat barang yang disediakan seperti kelapa kunig, parang, ayam kampung
dan telur ayam. Kelapa kuning yang telah bertuliskan lafadz Allah dan Muhammad
yang nantinya salah satu dari kelapa tersebut akan dibelah dengan sekali
pukulan, dan yang satunya lagi akan disimpan dibawah tempat tidur ibu hamil.
Fungsi ayam tersebut dalam tradisi ini sebagai pengeras yang nantinya akan
diberikan kepada dukon bayi. Sedangkan telur ayam akan diinjak oleh pasang
suami istri dengan cara rebutan, jika yang menginjak telur terlebih dahulu
adalah sang suami maka diyakini anak yang akan dilahirkan akan berjenis kelamin
perempuan begitupun sebaliknya.
Selama proses
pemandian yang memandikan atau menyiramkan air ke ibu hamil dan suami adalah
orang tua, kerabat keluarga dan tamu yang hadir. Pada saat penyiraman air
kepala ibu hamil diketok dengan ujung dayaung sambil menyiramkan air, hal ini
dilakukan supaya anak yang lahir tidak tuli.
3.
Pembacaan
Tahlil
Setelah dua
tahap diatas telah selesai dilanjutkan dengan pembacaan tahlil bersama tamu dan
masyarakat setempat yang dipimpin oleh seorang ustadz. Acara tahlil dilaksanakan
di ruang tamu dan dipimpin oleh seorang ustadz atau ulama setempat. Adapun
pihak-pihak yang terlibat dalam upacara pelet betteng adalah ayah, ibu serta
sanak kerabat dari perempuan yang hamil itu maupun orang tua dan sanak kerabat
dari pihak suaminya serta tamu yang hadir.
C.
Nilai-nilai yang
Terkandung dalam Tradisi Pelet Bhetteng
Terdapat
beberapa nilai-nilai yang terdapat dalam pelaksanaan tradisi ini diantaranya: nilai
kebersamaan, ketelitian, gotong royong, religius, dan keselamatan. Nilai
kebersamaan tercermin ketika sanak keuluarga berkumpul ketika acara tersebut.
Nilai keselamatan tercermin ketika prosesi doa diisepanjang kegiatan dimana
hajat dari dari pelaksanaan tradisi ini tidak lain untuk mengharap keselamatan
bagi ibu dan bayi yang seang dikandung hingga prosesi kelahiran.
Nilai ketelitian
tercermin dari proses upacara itu sendiri. Sebagai suatu proses, upacara
memerlukan persiapan, baik sebelum upacara, pada saat prosesi, maupun
sesudahnya. Persiapan-persiapan itu, tidak hanya menyangkut peralatan upacara,
tetapi juga tempat, waktu, pemimpin, dan peserta. Semuanya itu harus
dipersiapkan dengan baik dan seksama, sehingga upacara dapat berjalan dengan
lancar. Untuk itu, dibutuhkan ketelitian.
Nilai gotong
royong tercermin pada saat keterlibatan banyak orang termasuk keluarga ketika
sebelum acara tersebut diadakan. Mereka saling membantu untuk terlaksananya
kegiatan ini, bagi yang laki-laki membantu membangun tetarok atau tenda sedangkan yang perempuan membantu menyiapakan
makanan untuk acara nanti.
Nilai
keselamatan tercermin dalam adanya kepercayaan bahwa peralihan kehidupan
seorang individu dari satu masa ke masa yang lain penuh dengan ancaman (bahaya)
dan tantangan. Untuk mengatasi krisis dalam daur kehidupan seorang manusia itu,
maka perlu diadakan suatu upacara atau tradisi.
Nilai religius
tercermin dalam doa bersama yang dipimpin oleh ustadz atau ulama setempat, pada
acara orasol yang merupakan salah satu bagian dari serentetan tahapan dalam
upacara pelet kandhung. Tujuannya adalah agar sang bayi mendapatkan
perlindungan dari Tuhan
Selain
melahirkan nilai-nilai tradisi juga melahirkan kebudayaan masyarakat yang dapat
diketahui dari wujud tradisi itu sendiri. Menurut Koentjaraningrat kebudayaan
ini paling tidaknya memiliki tiga wujud, yaitu:
1.
Wujud
Kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasangagasan, nilai-nilai,
norma-norma, peraturan, dan sebagainya.
2.
Wujud
kebudayaan sebagai kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam
masyarakat
3.
Wujud
kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia[7]
D.
Pandangan Islam
tentang Pelet Bhettengan
Jika ditanyakan
adakah Rasulullah menganjurkan tentang tradisi pelet bhetteng ini, maka tidak
diragukan lagi dengan tegas semua orang akan mengatakan bahwa hal itu tidak
pernah berdalil atau berdasar. Mengapa demikian karena memang Islam tidak
pernah mengajarkan hal semacam itu ketika zaman Nabi bahkan hingga zaman para
sahabat.
Akan tetapi
tidak ada salahnya mengadakan sesuatu yang didalamnya masih terdapat nilai
keislaman karena salah satu tujuan dari tradisi ini selain untuk keselamatan
bayi juga untuk pendidikan bagi bayi tersebut. Mengapa demikian karena sebuah
riset membuktikan ahwa bayi yang belum dilahirkan sudah bisa mendengar.
Merasakan peristiwa yang ada disekitarnya, sehingga ketika pembacaan ayat
al-Qur’an akan memberikan sumbangan akhlak kepada sang bayi yang sedang
dikandung. Hal ini juga selaras dengan pernyataan imam Al- Ghazali
تَرْ بِيَّةُ اْلاَوْلَدِ
قَبْلَ الْوِلَدَة وَتَرْ بِيَّةُ اْلاَوْلَدِ بَعْدَاْلوِ لَدَة
“Didikan
anak sebelum lahir dan didikan anak setelah lahir”
Didikan
anak sebelum lahir, anak dididik melalaui lantunan ayat suci Al-Qur’an yang ada
didalam Ritual Pelet Betteng / tujuh bulanan, yang diyakini akan mensugesti
anak yang ada didalam kandungan ibunya dan dididikan anak setelah lahir yaitu
dengan menyekolahkannya, memondokan dan lain-lain.
Islam
merupaka agama yang sempurna dimana segala sesuatu yang ada di bumi dan dilangit
tersimpul rapi dalam aturan yang aktual kebenarannya. Selain itu Islam juga
agama yang toleran terhadap apa-apa yang mungkin tidak terdapat di dalam aturan
bahkan tidak dianjurkan dalam syari’atnya. Namun selama hal itu tidak
menyekutukan allah dan tidak terdapat kemudharatan didalamnya serta tidak
menentang syari’at Islam maka hal itu boleh-boleh saja dilakukan.
Seperti
halnya tradisi yang ada dikalangan masyarakat Indonesia khususnya di Teluk
Batang dimana sebelum Islam masuk ke wilayah Indonesia, tradisi memang sudah
mendarah daging dikalangan masyarakat sehingga ketika Islam masuk tentu tidak
akan lepas dari budaya. Pertemuan antara keduanya itu menimbulkan hal baru yang
unik dimana yang awalnya dalam pelaksanaan budaya atau tradisi dari setiap suku
tidak pernah terdapat nilai keislaman didalamnya namun ketika Islam menyentuh
budaya tersebut maka terbungkuslah budaya itu dalam tatanan keislaman.
Hal
ini merupakan bukti bahwa Islam merupakan sebuah ajaran yang sangat menjunjung
nilai toleransi selama hal itu tidak bertentangan dengan syari’at.
E.
Pandangan
Masyarakat terhadap Tradisi Pelet Bhetteng
Menurut Paransi
dalam Mariza[8]
(2005;10) tradisi berasal dari kata traditum,
yang berarti segala sesuatu yang ditransmisikan, diwariskan oleh masa lalu
ke masa sekarang. Sedangkan menurut Parsudi Suparlan dalam Jalaluddin
(1998;170) tradisi merupakan unsur sosial budaya yang telah mengakar dalam
kehidupan masyarakat dan sulit berubah.
Masyarakat
merupakan sekelompok orang yang memiliki kesamaan budaya, wilayah identitas,
dan berinteraksi dalam suatu hubungan sosial yang terstruktur. Masyarakat
mewariskan masa lalunya melalui:
1.
Tradisi
dan adat istiadat (nilai, norma yang mengatur perilaku dan hubungan antar
individu dalam kelompok). Adat istiadat yang berkembang di suatu masyarakat
harus dipatuhi oleh anggota masyarakat di daerah tersebut. Adat istiadat
sebagai sarana mewariskan masa lalu terkadang yang disampaikan tidak sama persis
dengan yang terjadi di masa lalu tetapi mengalami berbagai perubahan sesuai
perkembangan zaman. Masa lalu sebagai dasar untuk terus dikembangkan dan diperbaharui
2.
Nasehat
dari para leluhur, dilestarikan dengan cara menjaga nasehat tersebut melalui
ingatan kolektif anggota masyarakat dan kemudian disampaikan secara lisan turun
temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
3.
Peranan
orang yang dituakan (pemimpin kelompok yang memiliki kemampuan lebih dalam
menaklukkan alam) dalam masyarakat Contoh: Adanya keyakinan bahwa roh-roh yang
telah meninggal (kerabat) akan ikut serta hadir dalam prosesi tradisi. Pemimpin
kelompok menyampaikan secara lisan sebuah ajaran yang harus ditaati oleh
anggota kelompoknya.
4.
Kepercayaan
terhadap roh-roh serta arwah nenek moyang dapat termasuk sejarah lisan sebab
meninggalkan bukti sejarah berupa benda-benda dan bangunan yang mereka buat.
5.
Membuat
suatu peringgatan kepada semua anggota kelompok masyarakat berupa lukisan serta
perkakas sebagai alat bantu hidup serta bangunan tugu atau makam
Masyarakat Teluk
Batang merupakan masyarakat yang majemuk, berbagai macam suku dan etnis agama
pun terdapat di daerah itu. Kemajemukan itu terdiri dari suku Madura, Jawa,
Sunda, Bugis, Dayak, Sambas dan Cina. Berbagai macam budaya terlahir dari
setiap suku yang berbeda termasuklah pelet Bhetteng, dimana pelet Bhetteng ini
tidak hanya dilakukan oleh suku Madura saja melainkan suku Melayu, Sambas,
Jawa, Sunda, bahkan Bugis. Hanya saja ada beberapa tahap serta alat dan bahan
yang digunakan dalam pelaksanaannya yang berbeda.
Masyarakat di
daerah Teluk Batang sangat berpegag teguh pada tradisi mereka masing-masing,
bagi mereka tradisi yang diturunkan oleh nenek moyang merupakan sebuah
keharusan yang tetap dilestarikan guna memberikan kenyaman dan keselamatan
hidup. Keyakinan akan tradisi inilah yang akan menimbulkan silang pendapat di
berbagai suku yang berbeda dimana mereka menanggap tradisi yang mereka miliki
merupakan tradisi yang paling baik dan kadang sulit untuk menerima perbedaan
walaupun sebenarnya mereka berada dibawah tujuan yang sama.
Namun hebatnya
persilangan ini tidak membuat silaturahim diantara mereka merenggang seperti
kebanyakan orang, hal ini mungkin dikarenakan kebersamaan dan gotong royong
yang kuat ketika persiapan setiap acara yang ada di daerah tersebut. Sehinngga
segala perbedaan dapat memudar dengan sendirinya. Begitulah fungsi tradisi yang dirasakan oleh
sebagian orang karena pentingnya tradisi yang mendarah daging membuat mereka
terus berusaha untuk melestarikannya.
Kesimpulan
Tradisi merupakan sebuah proses
pewarisan atau penerusan norma-norma, adat-istiadat, kaidah-kaidah,
harta-harta. Dan tradisi dirubah, diangkat, ditolak dan dipadukan dengan aneka
ragam perbuatan manusia. pelet bhetteng adalah suatu kegiatan memijat perut
yang sedang bengkak dalam artian wanita yang sedang hamil, yang biasanya lebih
dikenal dengan istilah tujuh bulanan yang hamil anak pertama. Pemijatan
kendungan ini dilakukan untuk mencegah agar bayi yang dikanudng tidak mengalami
masalah ketika dilahirkan. Kerena masa-masa ini merupakan masa yang dianggap
penuh ancaman dan bahaya sehingga dilaksanakalah kegiatan ini sebagai usaha
untuk mentralkannya hal tersebut.
Tatacara pelaksanaan dari tradisi ini
terdiri dari pembacaan surah al Waqi’ah, Yusuf, Maryam, pemandian pasangan
suami istri, dan pembacaan tahlil. Tradisi pelet bhetteng ini merupakan tradisi
yang tidak ada anjurannya dalam al-Qur’an sehingga banyak dari berbagai
kalangan menganggap hal ini tidak baik jika dilaksanakan. Namun pada dasarnya
dari pelaksanannya terdappat banyak sekali nilai-nilai positif diantaranya
nilai religius, kebersamaan, gotong royong, ketelitian dan keselamatan. Selain
itu juga Islam merupakan agama yang toleran sehingga walaupun tidak menggunakan
landasan dalam pelaksanaannya selama dalam kegiatan tersebut terdapat hal yang
baik dan tidak menentang syari’at maka hal itu boleh dilaksanakan.
Islam merupaka agama yang sempurna
dimana segala sesuatu yang ada di bumi dan dilangit tersimpul rapi dalam aturan
yang aktual kebenarannya. Selain itu Islam juga agama yang toleran terhadap
apa-apa yang mungkin tidak terdapat di dalam aturan bahkan tidak dianjurkan
dalam syari’atnya. Namun selama hal itu tidak menyekutukan allah dan tidak
terdapat kemudharatan didalamnya serta tidak menentang syari’at Islam maka hal
itu boleh-boleh saja dilakukan.
Seperti halnya tradisi yang ada
dikalangan masyarakat Indonesia khususnya di Teluk Batang dimana sebelum Islam
masuk ke wilayah Indonesia, tradisi memang sudah mendarah daging dikalangan
masyarakat sehingga ketika Islam masuk tentu tidak akan lepas dari budaya.
Pertemuan antara keduanya itu menimbulkan hal baru yang unik dimana yang
awalnya dalam pelaksanaan budaya atau tradisi dari setiap suku tidak pernah
terdapat nilai keislaman didalamnya namun ketika Islam menyentuh budaya
tersebut maka terbungkuslah budaya itu dalam tatanan keislaman.
Selain melahirkan nilai-nilai tradisi
juga melahirkan kebudayaan masyarakat yang dapat diketahui dari wujud tradisi
itu sendiri. Menurut Koentjaraningrat kebudayaan ini paling tidaknya memiliki
tiga wujud, yaitu: Wujud Kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya.Wujud kebudayaan sebagai
kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud
kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia
Daftar Pustaka
C.A.
van Peursen. 1998. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta:
Kanisius.
Hadari
Nawawi. 1985. Metodelogi Penelitian
Bidang Sosial. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.
Suharsimi
Arikunto. 1998. Prosedur Penelitian;
Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta. Bina Aksara
Piort
Sztompka. 2007. Sosiologi Perubahan
Sosial. Jakarta: Prenada Media Grup.
Pelet Kandhung, Upacara Adat Kehamilan Masyarakat Madura » Lontar
Madura
http://lontarmadura.com/pelet-kandhung-upacara-adat-kehamilan-masyarakatmadura/#ixzz27ahBLnVo
http://lontarmadura.com/pelet-kandhung-upacara-adat-kehamilan-masyarakatmadura/#ixzz27ahBLnVo
Mattulada, 1997. Kebudayaan Kemanusiaan Dan Lingkungan Hidup.
Hasanuddin University
Press
Press
Imam
Bawani. 1993, Tradisionalisme dalam
Pendidikan Islam. Surabaya Al-Ikhlas.
Mariza.
2005, Tradisi Naikkan Tulang Bumbungan di
Desa Pangkalan Kongsi II. Skripsi tidak dipublikasikan. STAIN Pontianak.
[1]
Al-qur’an
dan Terjemahannya,1984. Departemen Kementerian Agama Republik Indonesia. Proyek
Penggandaan Kitab Suci Al-Qur’an. Jakarta
[2]
Imam
Bawani. Tradisionalisme dalam Pendidikan
Islam. Surabaya Al-Ikhlas. 1993:36
[3]
Suharsimi
Arikunto. Prosedur Penelitian; Suatu
Pendekatan Praktik. Jakarta. Bina Aksara. 1998:245
[4]
Hadari
Nawawi. Metodelogi Penelitian Bidang
Sosial. Yogyakarta. Gajah Mada University Press. 1985:63
[6] C.A. van
Peursen. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta:
Kanisius. 1998:11
[8] Mariza. 2005, Tradisi
Naikkan Tulang Bumbungan di Desa Pangkalan Kongsi II. Skripsi tidak
dipublikasikan. STAIN Pontianak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
MOHON COMMENT NYA :)
ATAU LIKE NYA (Y) TERIMA KASIH