ILMU KALAM
Disusun Untuk Memenuhi Matakuliah
Ikmu kalam
Dosen pengampu :Ismail, S,Pdi,M.Pd.I
Disusun Oleh :
Nyemas umi kasmayanti (11910058)
2B
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PONTIANAK
2020
HALAMAN NO JAWABAN
1. pengertian ilmu kalam secara termonologi
Pengertian ilmu kalam secara etimologi
1. pengertian ilmu kalam secara termonologi
Ilmu kalam secara termonologi merupakan suatu ilmu yang membahas berbagai masalah ketuhann dengan menggunakan argumentasi logika dan filsafat. Selain itu definisi ilmu kalam juga mempunyai banyak pendapat para ahli
a. Pengertian ilmu kalam menurut ibnu khaldun
Ibnu khaldun berpendapat bahwa pengertian ilmu kalam adalah displin ilmu yang mengandung berbagai argumentasi tentang akidah iman yang diperkuat dalil-dalil rasional.
b. Pengertian ilmu kalam menurut musthafa abdul raziq
Ia berpendapat bahwa ilmu kalam adalah ilmu bersandar kepada argumentasi-argumentasi rasional yang berkaitan dengan akidah imaniah, atau sebuah kajian tentang akidah islamiyah yang bersandar kepada nalar.
c. Pengertian ilmu kalam menurut imam abu hanifah fiqh al-akbar.
Menurut persepsinya, hukum islam yang dikenal dengan istilah fiqh al-akbar, membahas keyakinan atau pokok-pokok agama atau ilmu tauhid. Kedua , fiqh al-ashgfar, membahas muamalah, bukan pokok-pokok agama, tetapi hanya cabang saja.
Pengertian ilmu kalam secara etimologi
Pengertian ilmu kalam secara etomologi adalah pengertian yang dilihat dari bahasa. Secara harifah kata kalam berarti pembicaraan. Dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dan menggunakan logika. Maka ciri utama ilmu kalam adalah rasionalistis dan logis. Sehingga ilmu sangat erat hubungannya dengan ilmu mantiq/logika. Istilah teologi islam, yang di ambil dari bahasa inggris, theology. Dapat disimpulkan bahwa ilmu kalam secara etimilogi adalah ilmu yang membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan –kepercayaan keagamaan. Dengan bukti-bukti yang yakin.
Ada beberapa alasan kenapa ilmu kalam ini dinamai dengan ilmu kalam, diantaranya.
-. Sebagian para ulama ketika menjelaskan berbagai persoalan dalam hal-hal akidah islam itu, yang biasa digunakan oleh para filosof. Para ulam menyebut metodenya itu dengan sebutan al-kalam, sehingga mereka disebut ahlul kalam, sedang para filosof dapat disebut ahlil mantiq.
-. Pada abad kedua hijriah ada persoalan yang menggoncangkan umat islam ada persoalan yang menggoncang kalamullah. Apakah kalamullah itu diciptakan atau bukan, baru (hadist) atau terdahulu (gadim).
Sumber buku:Rosihan. 2007. Dasar- dasar ilmu kalam. Bandung :Pustaka Setia
Khawarij adalah suatu nama yang mungkin diberikan oleh kalangan lapangan disana tidak mau menerima arbitrase dalam pertempuran siffin yang terjadi antara ali dan mu’awiyah dalam upaya penyelesaian persengketaan antara keduannya tentang masalah khalifah
Khawarij berasal dari kata kharaj, artinya ialah keluar, dan dimaksudkan disini ialah mereka yang mereka yang keluar dari barisan ali sebagai orang berpendapat bahwa nama itu diberikan kepada mereka, karena mereka keluar dari rumah-rumah mereka dengan maksud berijitihad di jalan Allah. Hal ini didasarkan pada Qs An-Nisa 100. Berdasarkan ayat tersebut, maka kaum khawarij memandang kaum khawarij memandang diri mereka sebagai orang yang meningalkan rumah atau kampung halamanya untuk berjihad.
Bila masa rasulullah kafir hanya untuk mereka yang tidak memeluk islam tapi kaum khawarij memperluas pengertian dengan memasukkan orang yang telah masuk islam. Yakni orang islam yang bila ia menghukum maka yang digunakan bukanlah hukum Allah.
Ajaran khawarij bermula dari masalah pandangan mereka tentang kufur, bila pada masa rasulullah termasuk kafir hanya dipakai untuk mereka yang belum memeluk islam, kaum khawarij memperluas makna kafir dengan memasukkan orang yang telah beragama islam ke dalamnya. Yakni orang islam yang bila ia menghukum, maka yang digunakannya bukanlah hukum Allah.
Secara umum, konsep mereka tentang iman bukan pembenaran dalam hati semata-mata. Pembenaran hati (al-tasdiq bi al-qabl) menurut mereka, mestilah disempurnakan dengan menjalankan perintah agama. Seseorang yang telah mempercayai bahwa tiada tuhan melainkan Allah dan muhammad itu utusan Allah, tapi ia tidak melakukan kewajiban agama, berarti imannya tidak benar maka ia akan menjadi kafir.
Pengikut khawarij terdiri dari suku arab yang masih sederhana cara berpikirnya. Jadi sikap keagamaan mereka sangat ekstrem dan sulit menerima perbedaan pendapat. Mereka menanggap orang yang berada di luar kelompoknya adalah kafir dan halal dibunuh. Sikap picik dan ekstrem ini pula yang membuat mereka terpecah menjadi beberapa sekte.
Doktrin-doktrin
-. Khalifah harus dipilih bebas seluruh umat islam.
-. Khalifah tidak harus berasal dari keturunan arab.
-. Dapat dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syariat islam. Ia dijatuhkan bahkan dibunuh apabila melakukan kedzaliman.
-. Khalifah sebelum ali adalah sah, tetapi setelah tahun ke tujuh utsman dianggap menyeleweng dan khalifah ali adalah sah tetapi setelah terjadi arbitarase ia dianggap menyeleweng.
-. Muawiyah adan amar bin ash serta abu musa al-asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir
-. Pasukan jamal yang melawan ali kafir.
-.setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka.
-.seseorang harus menghindar dari pemimpin yang menyeleweng
-.orang yang baik harus masuk surga dan orang yang jahat masuk ke neraka.
-. Qur’an adalah makhluk
-. Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari tuhan.
Tokoh-tokohnya
a) Urwah bin hudair
b) Mustarid bin sa’ad
c) Hausarah al- asadi
d) Quraib bin maruah
e) Nafi bin al-azraq
f) Abdullah bin basyir
Aliran mutazilah adalah aliran pikiran islam terbesar dan tertua yang memainkan peranan yang sangat penting. Orang yang hendak mengetahui filsafat islam yang sesungguhnya dan yang berhubungan dengan agamadan sejarah pemikiran islam haruslah menggali buku-buku yang dikarang orang-orang mutazilah bukan yang dikarang oleh orang-orang lazim disebut filosofi-filosofi islam. Seperti ibnu sina dan lain-lain. Aliran mutazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad ke II hijriyah di kota basrah, pusat ilmu dan pertemuan bermacam-macam.
Nama mutazilah berasal dari kata i’tazala dengan makna (naha an) yang berarti menjauhkan atau memisahkan diri dari sesuatu. Kata ini menjadi suatu aliran dalam ilmu kalam yang umumnya para sarjana menyebutnya sebagai mutazilah berdasarkan peristiwa yang terjadi antara whasil bin atha( 80 H /699 M-131 H /748) dan amr bin ubaid dengan al hasan al-basri berpikir, washil berkata bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada diantara dua posisi tersebut yang istilahnya al-manzilah bain al-manzilahtain.
Sejak islam meluas, banyaklah bangsa-bangsa yang masuk islam dibawah naunangnya. Akan tetapi tidak semuanya memeluk islam dengan segala keikhlasan ketidak ikhlasan ini terutama dimulai sejak zaman muawiyah , karena mereka ialah memonopoli segala kekuasaan pada bangsa arab dan keinginan menghancurkan islam dari dalam, sumber keagungan dan sumber kekuatan mereka. Diantara musuh-musuh islam dari dalam ialah golongan rafidah, yaitu golongan syiah ekstrim yang mempunyai banyak unsur –unsur kepercayaan yang jauh sekali dari ajaran islam.
Dalam keadaan demikian itu munculah golongan mu’tazilah yang berkembang dengan pesatnya sehingga mempunyai sistem/metode pendapat sendiri. Meskipun banyak golongan-golongan yang ditentang mutazilah namun mereka sendiri sering terpengaruh oleh golongan-golongan tersebut, karena pendapat dan pokoran selalu bekerja, baik terhadap lawan maupun kawan, baik menemani atau membantah bahkan sering-sering masuk kepada lawanya tanpa dikhendaki aliran mutazilah antara lain orang-orang yahudi.
Kaum mutazilah ini sempat menjadi sorotan dunia islam selama 300 tahun pada abad-abad permulaan islam. Kaum mutazilah ini pernah dalam sejarahnya membunuh ribuan umat islam, di antaranya ulama islam yang terkenal syeikh buawaithi, iman pengganti imam syafi’i dalam suatu peristiwa yang dinamai “peristiwa Qur’an makhluk”. Faham ini telah tersebar dan berkuasa pada masa-masa khalifah ma’mun bin harun rasyid. Khalifah al mutashim bin harun rasyid dan khalifah al-watsiq bin al-mutashim sekitar abad ke – III, ke-IV, dan ke – V hijriyah. Faham mutazilah sampai sekarang (tahun 1378/1967) masih menyusup ke dalam masyarakat ummat islam di barat dan di timur bahkan sampai ke indonesia.
Tokoh-tokohnya
a. Washil bin atha’ al- ghazzal (80-131)
b. Abul al-huzail al-allaf (135-226 H/753 -840 M)
c. Ibrahim bin syyar an-nazzam (wafat 231 H/845 M)
d. Abu ali muhammad ibn aki al-jubbai (135-267 H)
e. Bisyir Ibn Al-Mu’tamir (wafat 226 H/840 M )
f. Jarullah abdul qasim muhammad bin umar (467-538 H/1075 -1144 M )
g. Abdul hasan abdul jabbar ibn ahmad ibn abdullah Al-hamazani al- asadi (325-425 H)
Doktrin-doktrin
a. Tauhid
b. Al-adl
c. Al-wa’d wal wa’id
d. Al- manzilah bain al-manzilahtain
e. Al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy’ an munkar
Sumber buku:Rosihan. 2007. Dasar- dasar ilmu kalam. Bandung :Pustaka Setia
3. A. Khawarij
memberikan justifikasi teologis secara tegas bahwa orang Muslim pelaku dosa besar (murtakib al-kaba’ir), di luar dosa menyekutukan Tuhan, dengan status hukum kafir. Menurut Harun Nasution,32 konsepsi justifikatif kafir atau takfir Khawarij (dan menjadi doktrin sentral mereka) ini semula diarahkan kepada Khalifah Utsman bin Affan (karena perilaku ketidakadilannya berupa kebijakan politik “nepotisme”), Ali bin Abi Thalib (karena kesediaannya menerima ajakan tahkim atau arbritasi dalam penyelesaian perang Shiffin), Muawiyah bin Abu Sufyan (karena memberontak terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib sebagai penguasa yang sah waktu itu, sebelum tahkim) dan dua orang utusan dari kedua belah pihak dalam peristiwa tahkim atau arbritasi perang Shiffin-yakni, ‘Amr bin ‘Ash (utusan dari pihak Mu’awiyah) dan Abu Musa alAsy’ari (utusan dari pihak Ali)
tetap memandang setiap Muslim pendosa besar sebagai mukmin karena secara konseptual mereka tidak menempatkan amal perbuatan (‘amal bi arkan) sebagai unsur esensial (al-ashl, pokok dan primer) dari bangunan iman. Dalam kaitannya dengan apa saja unsur-unsur esensial dari suatu bangunan iman, Harun Nasution membagi kaum Murji’ah menjadi dua golongan besar yakni Murji’ah ekstrim dan Murji’ah modera.
Pandangan Mu’tazilah tentang sifat-sifat Tuhan berpusat pada konsepsinya tentang peniadaan sifat Tuhan (nafy al-shifat). Yang Mu’tazilah maksudkan dengan peniadaan sifat adalah peniadaan sifat-sifat Tuhan dalam arti sebagai wujud berdiri sendiri atau hipotastis, yakni berbeda dengan zat atau esensi Tuhan.53 Karena pengakuan adanya sifat hipotastis berakibat pengakuan adanya unsur jamak pada Tuhan, yakni zat yang disifati dan sifat pada zat. Hal yang demikian ini berakibat terjadinya ta’addud al-qudama’ (yang qadim banyak) yang berujung pada kemusyrikan, karena yang qadim itu adalah hanya Tuhan. Selanjutnya, Mu’tazilah mengatakan bahwa apa yang disebut sebagai sifat Tuhan itu adalah zat atau esensi-Nya, sehingga Tuhan mesti dinyatakan mengetahui, misalnya, dengan esensi atau zat-Nya, bukan dengan pengetahuan (‘ilm) hipotastis.
Menurut aliran Asy'ariyah, tuhan memiliki sifat karena perbuatan-perbuatannya. Mereka juga mengatakan bahwa tuhan mengetahui, berkuasa, menghendaki dan sebagainya serta memiliki pengetahuan, kemauan dan daya. Asy'ariyah berpendapat bahwa sifat-sifat tuhan itu tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia. Pendapat Asy'ariyah ini berlawanan dengan paham mu’tazilah yang menyatakan bahwatuhan tidak memiliki sifat. sy'ariyah memberi daya yang kecil pada akal dan menolak paham tuhan memiliki sifat-sifat jasmani, jika sifat jasmani dianggap sama dengan sifat manusia. Ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan tuhan memiliki sifat jasmani, tidak boleh ditakwilkan tetapi harus diterima sebagaimana makna harfiahnya. Oleh sebab itu, tuhan dalam pandangan Asy'ariyah mempunyai mata, wajah, tangan serta bersemayam di singgasana. Tetapi, semua dikatakan la yukayyaf wa la yuhadd (tanpa diketahui bagaimana cara dan batasnya).
Pendapat aliran Maturidiyah mengenai sifat tuhan sama dengan pendapat Asy'ariyah yang menyatakan bahwa tuhan memiliki sifat. Maturidiyah berpendapat bahwa sifatsifat tuhan itu mulazamah (ada bersama; inhern) zat tanpa terpisah (innaha lam takun ain al-zat wa la hiya ghairuhu). Maturidiyah menetapkan sifat bagi Allah Swt tidak harus membawa kepada pengertian anthropomorphisme, karena sifat tidak berwujud yang terpisah dari zat, sehingga berbilang sifat tidak akan membawa pada berbilangnya yang qadim (taaddud al-qudama). Tampaknya paham Maturidiyah tentang makna sifat tuhan cenderung mendekati paham mu’tazilah. Perbedaannya, al-Maturidi mengakui adanya sifat-sifat tuhan, sedangkan mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat tuhan.
Sumber buku:Rosihan. 2007. Dasar- dasar ilmu kalam. Bandung :Pustaka Setia
Mu’tazilah merupakan gerakan rasionalis pada masa Dinasti Umayyah, pola pikir ini berlangsung lama yang mempengaruhi dunia Islam, terutama pada masa Bani Abbasyiah dan sesudahnya.
Menurut Harun Berkenaan dengan kehendak Tuhan, kaum Mu’tazilah berkeyakinan bahwa Tuhan telah memberikan kemerdekaan dan kebebasan bagi manusia dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Oleh karena itu Tuhan bagi mereka tidak lagi bersifat absolut kehendaknya .
Kebebasan mutlak Tuhan dibatasi oleh kebebasan yang menurut Mu’tazilah telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatannya Seterusnya kekuasaan mutlak itu dibatasi oleh sifat keadilan Tuhan. tidak lagi berbuat sekehendaknya, Tuhan telah terikat pada norma - norma keadilan yang kalau dilanggar membuat Tuhan tidak adil bahkan zalim, sifat serupa ini tidak dapat diberikan kepada Tuhan, selanjutnya kekuasaan dan kehendakan mutlak Tuhan dibatasi oleh kewajiban - kewajiban Tuhan terhadap manusia, 3 seperti kewajiban - kewajiban Tuhan terhadap manusia, kewajiban Tuhan memberikan rezeki kepada manusia, dan sebagainya. .. lebih lanjut kehendak Tuhan juga dibatasi oleh hukum alam (Sunnah) yang tidak mengalami perubahan. Allah berfirman dalam surat al-ahzab ayat 62 :
Mu’tazilah memang menganut faham bahwa tiap - tiap benda mempunyai aturan atau hukum alam sendiri, sebagaimana pendapat seorang pemimpin Mu’tazilah Mu’mar bin Abbad bahwa yang diciptakan Tuhan hanyalah benda - benda materi adapun al-A’rad atau Accidentas adalah reaksi benda - benda materi itu sendiri dalam bentuk natur seperti pembakaran api dan pemanasan oleh matahari atau dalam dalam bentuk pilihan ( ikhtiar ) seperti antara gerakdan diam, berkumpul dan berpisah dilakukan oleh binatang demikian diungkapkan Muhammad Ibnu Abdul Karim
Demikian juga syahrastani mengatakan bahwa tiap – tiap benda mempunyai natur sendiri yang menimbulkan efek tertentu menurut natur masing-masing. Dari tulisan - tulisan diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Mu’tazilah percaya kepada hukum alam sunnatullah yang mengatur perjalanan kosmos. Sunnatullah tersebut tidak berubah, semua uraian tersebut diatas menunjukkan bahwa dalam faham Mu’tazilah Tuhan mempunyai batasan- batasan .
Kaum Mu’tazilah karena percaya pada kekuasaan akal dan kemerdekaan serta kebebasan manusia mempunyai tendensi untuk melihat wujud ini dari sudut rasio dan kepentingan manusia. Memang dalam Mu’tazilah wujud ini dari sudut - sudut rasio dan kepentingan manusia. Memang dalam Mu’tazilah semua makhluk lainnya diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia. Mereka selanjutnya berpendapat bahwa manusia yang berakal sempurna kalau berbuat sesuatu pasti mempunyai tujuan, baik untuk kepentingan sendiri atau kepentingan orang lain, Tuhan juga mempunyai tujuan dalam perbuatannya, tetapi karena Tuhan Maha suci dari sifat berbuat untuk kepentingan diri sendiri, perbuatan Tuhan adalah kepentingan maujud selain Tuhan
Berdasarkan tendensi diatas, soal keadilan Tuhan, mereka tinjau dari sudut pandang manusia, bagi mereka sebagai yang diterangkan , keadilan erat hubungannya dengan hak dan keadilan yang diartikan memberi seseorang akan haknya.
Kata “ Tuhan adil “ berarti semua perbuatan Tuhan itu bersifat baik dia tidak pernah berbuat buruk, tidak pula akan kewajibannya. Menurut Abdul Jabbar Setiap perbuatan Tuhan itu pasti mempunyai fungsi dan tujuan, tidak ada yang sia – sia 7. Dari sini berkembang bahwa karena Tuhan itu baik, maka tidak mungkin berbuat yang negatif dan pasti akan berbuat yang baik, bahkan yang terbaik bagi makhluknya. Keadilan Tuhan itu nampak jelas ada pembenahan
tanggungjawab manusia terhadap tindakan dan perbuatannya dihadapan Tuhan karena adanya kebebasan memilih dan kebebasan bertindak yang pada manusia telah dibekali akan kemampuan oleh Tuhan. Dari sini Mu’tazilah dikenal dengan ahli Adil.
Jelas kiranya, bahwa faham keadilan bagi kaum Mu’tazilah mengandung arti keajaiban – keajaiban yang harus dihormati Tuhan. Keadilan bukanlah hanya berati memberi upah kepada yang berbuat baik dan memberi hukuman kepada berbuat salah. menurut Harun keadilan Tuhan mengandung arti yang luas sekali, seperti tidak memberi beban yang terlalu berat bagi manusia , pengiriman rasul - rasul dan nabi - nabi, memberi manusia daya untuk melaksanakan kewajiban - kewajiban dan sebagainya .
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa keyakinan pada kesanggupan akal dan kebebasan manusia mempunyai pengaruh terhadap konsep kehendak, jika keyakinan pada kebebasan dan kesanggupan manusia kepada ketidak absolutan kehendak Tuhan, keyakinan pada ketergantungan manusia sepenuhya keadaan Tuhan membawa keyakinan akan kemutlakan kehendak Tuhan .
Dalam pemikiran kaum Asyariyah mereka yakin akan ketergantungan manusia pada Tuhan, Tuhan mempunyai kehendak mutlak, karena kuat mempertahankan hukum alam atau sunnatullah akhirnya tidak mendapat tempat dalam aliran Asy’ariyah.
Selanjutnya ia manfaatkan bahwa Tuhan pemilik terhadap semua ciptaannya .ia berbuat sekehendaknya, sehingga kalau ia memasukkan seluruh manusia kedalam surga bukanlah ia bersifat tidak adil dan kalau ia memasukkan seluruh manusia kedalam neraka ia tidaklah bersifat zalim. Menurut Syahrastani semua ini menggambarkan bahwa Tuhan mempunyai kehendak mutlak.
Bertalian dengan kehendak mutlak ini, Asy’ariyah berpendapat bahwa Tuhan menghendaki apa yang ada dan tidak menghendaki apa yang tidak ada. Dengan perkataan lain apa yang ada artinya dikehendaki dan apa yang tidak ada artinya tidak dikehendaki, maka berarti Tuhan menghendakinya. Tuhan menghendaki kekafiran bagi manusia yang sesat dan menghendaki kekafiran bagi manusia yang sesat dan menghendaki iman bagi orang yang mendapat petunjuk
Dari uraian diatas, nampak jelas bahwa kehendak Tuhan menurut faham Asy’ariyah bertolak belakang dengan faham Mu’tazilah, kelau Mu’tazilah kehendak Tuhan mempunyai kehendak mutlak semutlak - mutlaknya. Kaum Asy’ariyah karena percaya pada mutlaknya kekuasaan , mempunyai tendensi untuk meninjau wujud dari kekuasaan dan kehedak mutlak Tuhan mempunyai tujuan dalam arti sebab yang mendorong Tuhan mempunyai tujuan dalam arti sebab yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu Tuhan berbuat semata- mata karena kekuasaan dan kehendak mutlaknya dan bukan karena kepentingan manusia dan kehendak mutlaknya dan bukan karena kepentingan manusia atau karena tujuan lainnya.
Sesuai dengan tendensi Asy’ariyah diatas, mereka “ memberikan interpretasi yang diberikan oleh Mu’tazilah. Keadilan mereka artikan menempatkan sesuatu pada prosesnya “ yaitu mempunyai kekuasaan mutlak. Terhadap harta yang dimiliki serta di pergunakan sesuai dengan kehendak dan pengetahuan pemilik.
Dengan demikian menurut AL-karim Tuhan bersifat adil dalam perbuatannya, dengan pengertian bahwa Tuhan bebas bertindak dalam kerajaan dan milikNya. Segala sesuatu yang menjadi milikNya sesuai dengan kehendaknya dan ilmuNya Adil lawannya zalim yang pengertiannya adalah bertindak terhadap sesuatu bukan pada proporsinya. Dengan pengertian demikian, tidak tergambar bahwa Tuhan berlaku tidak adil atau zalim terhadap hamba maka kalau Tuhan memasukkan semua makhluk kedalam surga ataupun ke dalam neraka, tidaklah Tuhan dikatakan zalim, karena Tuhan adalah pemilikmutlak tehadap segala sesuatu, maka Tuhan bebas bertindak apa saja terhadap milik-nya.
Golongan ini terbagi menjadi dua , yaitu Maturidiah Samarkand yang dipimpin oleh AL- Maturidi sendiri, dan Maturidiyah Bukhara yang dipelopori AL- Bazdawi.
Berbagai pengikut Abu Hanifah yang banyak memakai ratio dalam perbandingan keagamaannya, al- Maturidi banyak memakai akal dalam sistem Theologi, oleh karena itu antara theologi dan theologinya yang ditimbulkan oleh Al- Asy’ariyah terdapat perbedaan, sesungguhnya keduanya timbul sebagai reaksi terhadap aliran Mu’tazilah
Al- Maturidy, sebagai pemimpin Maturidiyah Samarkand , sefaham dengan Mu’tazilah dalam menegaskan bahwa manusialah yang mewujudkan Perbuatan - perbuatannya. Sebagai pengikut Imam Abu Hanifah, Al-Maturidiyah membagi perbuatan itu kepada dua, yaitu perbuatan Tuhan yang mengambil bentuk penciptaan daya dalam diri manusia dan perbuatan manusia yang mengambil bentuk pemakaian daya itu berdasarkan pilihan dan kebebasan manusia.
Al-Maturidi juga sependapat dengan Mu’tazilah bahwa Tuhan mempunyai kewajiban – kewajiban tertentu bahwa janji dan ancaman - ancaman Tuhan mesti terjadi kelak.
Beberapa pendapat Al-Maturidy diatas memberi gambaran Tuhan sebenarnya tidak mempunyai kekuasaan dan kehendak mutlak lagi, karena telah dibatasi oleh kebebasan manusia dalam berkehendak dan bertindak , dibatasi oleh kewajiban - kewajiban yang harus dilaksanakan dan dibatasi oleh janji - janji yang harus dipenuhinya.Lebih tegas bahwa menurut golongan Maturidiyah Samarkand , kekuasaan dan kehendak Mutlak Tuhan telah dibatasi oleh :
a. Kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan yang menurut pendapat mereka ada pada manusia.
b. Keadaan Tuhan menjatuhkan hukuman bukan sewenang - wenang, tetapi berdasarkan atas kemerdekaan manusia dalam mempergunakan daya yang diciptakan Tuhan dalam dirinya untuk berbuat jahat.
c. Keadaan hukuman - hukuman Tuhan sebagai kata Al - Bayadi, tak boleh tidak mesti terjadi.
Al-Maturidy berpendapat bahwa Tuhan Maha Suci dari berbuat sia-sia, Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui oleh karena itu perbuatan - perbuatan- Nya didasarkan pada hikmah tertentu. Al-Maturidy tidak sependapat dengan Asy”ari tentang tidak mestinya Tuhan memberi beban yang tidak dapat dipikul sebagaimana Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat : 233:
Selanjutnya diketahui bahwa kaum Maturidiyah Samarkand sebagai faham Mu’tazilah mengandung kewajiban yang harus dihormati Tuhan, karena kalau dilanggar berarti Tuhan tidak adil. Hal ini yang tak mungkin bagi Tuhan.
Al - Bazdawi, salah satu pengikut penting dari AL - Maturidy dan sekaligus merupakan tokoh Maturidiyah dan sekaligus merupakan tokoh Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak memang berbuat apa saja yang dikehendaki dan menentukan segala - galanya menurut kehendaknya, tidak ada yang dapat menentang atau memaksa Tuhan, dan tidak ada larangan - larangan terhadap Tuhan, kendatipun demikian kehendak dan kekuasaan Tuhan dalam faham AL-Bazdawi tidak mutlak dalam faham Asy’ariyah. karena munurut AL-Bazdawi tidak mungkin Tuhan melanggar janji- janji - Nya untuk memberi upah kepada orang berbuat baik.
Pendapat Al-Bazdawi tentang kehendak Tuhan diatas mempenguruhi pendapanya tentang keadilan Tuhan. Hal ini tercermin dalam pendapatnya tentang keadilan Tuhan membatalkan ancaman untuk memberikan hukuman kepada orang lain yang berbuat jahat. Tuhan jika menghendaki memberi ampun kepada orang
yang berdosa, tentu akan memasukkannya bukan kedalam neraka, tetapi kedalam surga, dan jika menghendaki untuk hukuman kepadanya tentu akan memasukkannya kedalam neraka untuk sementara atau untuk selama - lamanya. Tidak mustahil bahwa Tuhan memberi ampun kepada seseorang tapi tidak memberi ampun kepada yang lain kendati dasarnya sama. Hal ini menunjukkan bahwa pendapat al-Bazdawi tentang kehendak mutlak dan keadilan Tuhan lebih dekat kepada Asy’ariyah dari pada Mu’tazilah.
Sumber buku:Rosihan. 2007. Dasar- dasar ilmu kalam. Bandung :Pustaka Setia
sebahagian kalangan Khawarij berpendapat bahwa kepemimpinan dapat dipegang oleh setiap suku manusia. Hanya saja kepemimpinan tersebut untuk kemaslahatan yang dapat memperbaiki penegakan pemerintahan. Oleh karena itu, mereka berbai’at kepada Nafi’ ibn al-Arzaq, Qatari Ibn al- Fuja’ah, Najdah dan ‘Atiyah yang bukan keturunan Quraisy sebagai imam mereka. Pandangan yang hampir sama dengan Khawarij, kalangan Al- Dirariyah berpendapat bahwa kepemimpin boleh dipegang oleh yang bukan dari Quraisy, meskipun ada golongan Quraisy yang pantas untuk itu.
Sebahagian kalangan Khawarij lainnya, lebih ekstrim, menyatakan pemimpin wajib berasal bukan dari suku Quraisy. Dasar pandangan mereka adalah bahwa pemimpin (al-imam) kadang-kadang ia berbuat zalim dan tidak melarang perbuatan maksiat, sehingga membutuhkan kepada pengasingan nya. Jika ia berasal dari suku Quraisy, tidak memungkinkan untuk menjatuhkannya sehinga mengakibatkan terjadinya kerusakan di permukaan bumi. Dengan demikian, orang yang bukan dari Quraisy wajib menjadi pemimpin sehingga memungkin kan untuk penjatuhannya.
Menurut aliran Mu’tazilah, sebagaimana di kemukakan Al-Jabbar, ada lima pokok pembahasan dalam membicarakan persoalan imamah tersebut. Pertama, hakekat imamah. Kedua, untuk apakah kebutuhan terhadapnya. Ketiga, sifat-sifat atau syaratnya. Keempat, cara dan jalan menuju imamah, dan Kelima, penentuan imamah.
Dalam persoalan pertama, yakni hakekat imam, secara bahasa al- imam adalah orang yang berada di depan (al- muqaddam), baik ia berhak untuk berada di depan, maupun ia tidak mempunyai hak untuk itu. Adapun secara terminologi syariat, ia merupakan sebuah nama bagi orang yang mempunyai kekuasaan terhadap umat dan bekerja untuk kepentingan mereka dalam berbagai bentuk, yang tidak ada kekuasaan seorangpun berada di atas kekuasaannya.
Berkaitan dengan persoalan kedua, kebutuhan terhadap imam, sebagian ada yang berpendapat bahwa dalam keadaan dan di manapun, setiap pemerintahan mesti ada pemimpin (imam). Dan sebagian lagi berpendapat bahwa seorang pemimpin tidak dibutuhkan bila manusia telah bebas dari tindakan dan kondisi kezaliman.
Perbedaan pandangan timbul dalam kewajiban (mendirikan) pemerintahan (al-imamah) dan kewajiban mencari seorang pemimpin (imam) dalamnya. Menurut al- Bağdadi tokoh al- Asy’ariah, seperti pendapat kalangan Syiah dan Khawarij dan sebagian besar ulama Mu’tazilah, melihat kewajiban membentuk pemerintahan, dan dengan demikian menimbulkan kewajiban bagi kaum Muslimin menentukan seorang imam (pemimpin) untuk menjalankan hukum dan hudd, memimpin tentara dalam peperangan serta menjalankan roda pemerintahan. kalangan Mu’tazilah lainnya, melihat kewajiban adanya pemerintahan tersebut sebagai kebutuhan untuk menegakkan hukum- hukum syariat, seperti pandangan yang diberikan al- Jabbar. Ia menyatakan bahwa kewajiban dan kebutuhan terhadap imam adalah untuk menjalankan hukum- hukum syariat, seperti menegakkan hudd Islam, menjaga dan memelihara kesucian negeri Islam. Persoalan ini tidak dapat dijalankan kecuali dengan adanya imam- imam dengan dalil ijma’ ahl al- bait.31 Sedangkan bagi al-Asy’ariah, sebagai mana dikemukakan al- Asy’ari sendiri, melihatnya bahwa sesungguhnya pemerintahan (al-imamah) tersebut merupakan salah satu dari bermacam-macam syariat yang dapat diketahui kebutuhan terhadapnya melalui akal rasio dan dapat pula diketahui kewajibannya melalui al- sam’ (wahyu).
Dan lebih ekstrim lagi, kalangan Zaidiyah - sekte Syi’ah Rawafidah - berkeyakinan bahwa hak kepemimpinan, bukan saja berada pada suku Quraisy, tapi lebih dikhususkan lagi hak tersebut untuk anak cucu Ali ibn Abi Talib.
Adapun dalam persolan keempat, yakni jalan (pengangkatan) menuju imamah. Termasuk dalam pembahasan ini adalah persoalan apakah imam tersebut berdasarkan kepada na¡ atau berdasarkan kepada pemilihan (ikhtiyar). Dalam jalan menuju imamah, ada yang berpandangan bahwa tidak terjadi suatu imamah kecuali melalui adanya na¡ dari Allah. Dan dengan demikian, setiap imam dapat
menunjuk (yunashu) imam setelahnya yang ia merupakan nash dari Allah juga. Dan sebagian lagi ada yang berpandangan bahwa jalan menuju imamah dapat saja terjadi tanpa adanya nash, tetapi mesti ada aqd dari ahl al-‘aqd.
Menurut al-Jabbar (1965: 754) dari aliran Mu’tazilah, jalan menuju imamah adalah dengan al- aqd (sumpah) dan pemilihan (al-ikhtiyar). Dan bagi al- Jahis, sesungguhnya jalan untuk menuju imamah tersebut adalah dengan banyak pengabdian (katsirah al-a’mal), dan seseorang diangkat untuk itu sebagai balasan jasa (al-jaza’) atas pengabdian tersebut. Adapun bagi kalangan Khawarij, jalan tersebut adalah memenangkan pemilihan dengan mengantongi nilai terbanyak (al- galabah). Bagi kalangan al-‘Abasiyah, jalan nya adalah warisan (al-irs), sedangkan kalangan al-imamiyah dan al-bakriyah adalah dengan jalan penunjukan (al- nash).
Berkenaan dengan pemimpin setelah Rasulullah, ada tiga pendapat aliran. Pertama, Sebahagian ada yang berpendapat bahwa Abu Bakr lah yang mendapat penunjukan (nash) pemimpin setelah Rasulullah. Kedua, Sebahagian lain melihat Ali-lah yang mendapatkan hak kepemimpinan, dan ketiga, sebahagian lagi melihat al-Abbas-lah yang memimpin setelah Rasulullah. Bagi yang berpandangan kepada Abu Bakr yang menjadi pemimpin setelah Rasululah berdasarkan kepada ijma’ umat Islam dan kesaksian (syahadah) kepadanya, dan di dalamnya termasuk Ali ibn Abi Talib dan al- ‘Abbas yang telah memberikan bay’at mereka kepadanya.
Nabi tidak menunjuk (nash) seseorang untuk menjadi pemimpin setelah dirinya, menurut Ibn Yusuf, karena jika hal tersebut dilakukannya, maka telah jelas dan berkembang siapa yang menjadi pemimpin. Dan bila ditetapkan bahwa kepemimpinan (al-imamah) tidak ditentukan dengan nash bagi seseorang, menunjukkan bahwa ia ditentukan dengan jalan pemilihan (ikhtiyar). Hal ini terlihat kaum Muslimin sepakat dengan ijma dan membai’at atas kepemimpinan Abu Bakr tanpa ada perbedaan pandangan. Hal ini terus berlangsung pada masa Umar, Usman dan Ali Ibn Abi Talib.
Adapun dasar kepemimpinan seorang imam dengan nash atau ikhtiyar, menurut al-Baghdadi, sama seperti yang dianut oleh kalangan Mu’tazilah, Khawarij dan Najjariyah. Ia berkata bahwa jalan untuk menetapkannya didasarkan kepada pemilihan (ikhtiyar) oleh umat dengan disertai ijtihad ahl al-ijtihad dan kelompok terakhir ini memilih satu di antara mereka siapa yang pantas dan boleh memegang kepemimpinan tersebut. Dan boleh saja penetapan tersebut berdasarkan na¡, namun juga sesungguhnya nash tidak mengemukakan jenis (ain) pemimpin di
dalamnya, sehingga umat dalam hal ini juga menuju kepada sistem pemilihan (ikhtiyar).
Adapun menurut kalangan Maturidiah Bukhara bahwa kewajiban manusia memilih seorang pemimpin dalam pemerintahan, seperti dikemukakan al-Bazdawi adalah kewajiban kifayah ( ﻛﻔﺎﯾﺔ ﻓﺮض ). Pendapat kalangan terakhir ini didasarkan kepada sebahagian Sahabat Nabi yang menyibukkan diri dalam menentukan seorang pemimpin setelah Rasulullah wafat dan menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan salah satu dari berbagai kewajiban, seperti kewajiban memerangi orang kafir dan mencari rezeki.33
Namun demikian, terdapat pula perbedaan pandangan dari pandangan yang dikemukakan di atas. Pandangan yang dimaksud diberikan oleh Abu Bakr al-Ajam, salah seorang tokoh Mu’tazilah, dan Hisyam al- Faw’iy yang berketetapan bahwa bila manusia telah bebas dari kezaliman dan kekacauan, maka pemimpin tidak dibutuhkan lagi keberadaannya.
Adapun persoalan ketiga, yakni sifat atau syarat yang dimiliki seseorang sehingga ia layak menjadi pemimpin (imam).35 Menurut al-Jabbar dari kalangan Mu’tazilah, adalah (1) mempunyai nasab khusus dengan dasar Ijma’. Sesungguhnya Abu Bakr, ketika menyampaikan di hadapan umat bahwa pemimpin-pemimpin itu berasal dari nasab Quraisy, tidak ada seorang pun yang membantahnya; (2) ia seorang yang alim (mengetahui). Dengan dasar ini dan sesuai dengan kedudukan Imam, memungkinkannya untuk menegakkan hukum- hukum syariat; (3) pemaaf dan wara’; dan (4) Pemberani dan mempunyai kemantapan hati.
Sumber buku :Rusli,risan.2015. kajian doktrin syiah dan perdebadan pemikiran islam klasik. Bandung :pustaka setia